KEBIJAKAN 'SOFT POWER' OBAMA

Oleh : Gun Gun Heryanto (Telah Dipublikasikan di Harian Merdeka, Jum'at 14 November 2008) Kemenangan Obama pada Pemilu Amerika 4 Nov...


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Merdeka, Jum'at 14 November 2008)

Kemenangan Obama pada Pemilu Amerika 4 November lalu tak hanya menyihir warga Amerika tapi juga warga dunia. Mantra “Yes we can!” yang selalu diteriakan Obama selama kampanye menuju Amerika-1, tak hanya sakti membangkitkan optimisme yang melimpah di Amerika, tetapi juga menjadi inspirasi sangat kuat bagi penduduk dunia. Di berbagai belahan penjuru dunia baik Barat maupun pun Timur, di negara-negara muslim, komunis atau liberal-sekuler muncul gejala obamamania, obama effect atau obamanomic. Gejala yang melawati batas-batas teritorial sebuah negara-bangsa ini, tidak serta merta ada dan menasbihkan Obama sebagai icon global tanpa pribadi inspiratif yang memancar dari aura kepribadian “The Hotest Global Idol” ini. Kini Obama sedang sibuk menyiapkan sebuah tim bernama “Proyek Transisi Obama-Biden” guna menyiapkan diri untuk mengendalikan Gedung Putih. Selain juga menyiapkan prosesi hari pelantikan 20 Januari 2009 yang diberi tema sarat nilai filosofis “A New Birth of Freedom”.

Kemenangan Multikultural

Mengapa kemenangan Obama disebut-sebut sebagai fenomena sejarah luar biasa dan inspiratif dalam politik Amerika dan juga dunia? Salah satu jawabannya tentu saja adalah Obama menandai sebuah babak baru politik Amerika berwajah multikultural. “Change we need” slogan kampanye Obama seolah menjadi penegas bahwa Amerika butuh perubahan. Sebuah perubahan dari Amerika yang arogan, bergaya cowboy ala George W Bush menjadi Amerika yang santun, menekankan pada keutuhan dan harmoni tidak saja di dalam negeri Amerika yang sedang mengalami sunami ekonomi, melainkan juga dengan negara-negara lain.
Mimpi Amerika untuk menghargai keberbedaan (unity in diversity) terpatri dalam prosesi kemanangan Obama. Informasi terkahir menunjukkan, warga kulit putih yang berjumlah 74 persen dari total pemilih, 43 persen diantaranya mendukung Obama. Warga kulit hitam yang berjumlah 13 persen dari pemilih, 95 persen mendukung Obama. Warga Hispanik yang berjumlah 9 persen dari pemilih, 67 persen mendukung Obama. Begitu pun dengan warga Amerika keturunan Asia yang mencapai 3 persen dari total pemilih, 62 persen dari mereka mendukung Obama.
Obama didukung oleh kurang lebih 56 persen perempuan AS sementara McCain 43 persen. Dukungan pemilih di bawah usia 30 tahun, 66 persen mendukung Obama 32 persen dukung McCain, dan 68 persen pemilih pemula memilih Obama sementara McCain hanya 31 persen. Informasi terakhir dari The Associated Press dan Edison Media Research, Rabu (5/11), Obama telah malampaui ketentuan minimum suara electoral college yang ditentukan yakni 270 suara, dengan mengumpulkan 349 suara dan kemungkinan masih bisa bertambah dari suara di Missouri dan North Carolina.
Dengan demikian pemilih kulit hitam, putih maupun kuning; warga pribumi maupun pendatang atau imigran, pemilih tua maupun muda dimenangi obama secara telak. Sebuah kemenangan yang menjadi pesan kuat bahwa Amerika telah memandatkan harapan akan perubahan meski sosok yang diberi mandat secara ras, etnis, warna kulit maupun usia jelas-jelas berbeda.

Soft Power Vs Warmongering

Babak pencitraan tentu saja akan segera berlalu dan akan berganti babak realitas politik yang sarat dengan masalah terutama berbagai krisis yang diwariskan dari dua periode pemerintahan Bush.
Satu diantara harapan besar yang digantungkan pada Obama adalah kebijakan menyangkut posisi Amerika di tengah bangsa lain di dunia. Sejumlah investasi masalah terutama menyangkut kebijakan unilateralisme Bush telah membuat citra Amerika terpuruk. Amerika di bawah kendali Bush sangat diwarnai semangat warmongering. Dalam komunikasi politik, istilah ini memiliki makna teror berbentuk propaganda yang menghembus-hembuskan perang. Ciri dominan yang dilakukan dalam propaganda ini, Bush sebagai propagandis kerapkali menggunakan sebutan-sebutan buruk pada lawan yang dituju untuk tujuan menjatuhkan. Kosakata “teroris” “evil” “penjahat demokrasi” mengalir deras dari berbagai kalimat Bush terutama setelah peristiwa WTC.
Disadari atau tidak Bush telah membangun relasi antagonistik antara Amerika dan kelompok-kelompok radikal seperti radikal Islam. Bush mengumandangkan semangat “suci” perang melawan terorisme dengan menegaskan Amerika sebagai kelompok putih penganut demokrasi, sementara kelompok radikal yang membencinya sebagai kelompok hitam, penganut anti demokrasi yang tidak perlu ditoleransi.
Warmongering ini dalam praktik Bush memang didominasi oleh teknik name calling. Yakni propaganda dengan memberikan ide atau label buruk. Tujuannya agar masyarakat internasional menolak atau meragukan kelompok dan negara yang diberi label tersebut. Bush misalnya melabeli Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “poros kejahatan”. Tentu tujuannya untuk membatasi sekaligus menjatuhkan kredibilitas ketiga negara yang terkenal sebagai pembangkang kebijakan Bush.
Perang terhadap terorisme telah menempatkan Bush sebagai Cowboy dunia. Menyerang Irak, menguasai Afghanistan, memenjarakan orang-orang yang dianggapnya berbahaya di penjaran-penjara “siluman” serta merongrong dan menekan habis-habisan Iran. Pemerintahan Bush pernah mempopulerkan kebijakan carrot and stick. Memberi bantuan negara-negara yang mendukung Amerika, sekaligus memukul negara-negara yang tidak taat. Banyak negara yang dibuat ketakutan untuk ikut serta dalam proyek perang terhadap terorisme ala Bush ini. Sehingga, selama tongkat komando di pegang cowboy texas ini, angin perang berhembus kencang dan menciptakan kegelisahan warga dunia.
Kini, Obama menggenggam kekuasaan yang sah (legitimate power) hasil dari pemandatan yang dramatis. Saatnya obama membuktikan janji pendekatan Soft power yang selama ini membuat warga dunia memalingkan perhatian dan takzub kepadanya. Pendekatan soft power merupakan cara mendahulukan dialog, duduk bersama atau diplomasi untuk mengurai berbagai relasi antagonistik dengan pendekatan-pendekatan damai. Mengurangi cara-cara peragaan kekuasaan dan ancaman (coercion) serta menghindari penggunaan tekanan fisik (force).
Saat kampanye, Obama berjanji akan mengakhiri konflik di Irak dan Afghanistan, dengan cara menarik secara bertahap pasukan Amerika dari kedua negara tersebut. Janji lain, Obama akan mengembangkan dialog dengan Iran khususnya dan negara-negara Timur Tengah lainnya untuk mencari solusi dari berbagai persoalan yang mencuat di kawasan tersebut.
Pendekatan soft power yang nampak kuat tercermin dalam sosok dan pemikiran Obama telah menghantarkan Obama menjadi Idola baru dunia. Terlebih, jika Obama mampu mengimplementasikan kebijakan soft power-nya itu, maka tidak mustahil dia akan selalu dikenang sebagai sosok pahlawan multikultural, simbol pemersatu dunia sepanjang masa.

Related

Opinion 7348492338568070760

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item