MEMANDU DIALOG ISLAM-BARAT DARI LICHTENBERG

Oleh: Gun Gun Heryanto* (Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 12/12/2010) Peradaban senatiasa berjalan dinamis. Banyak hal ba...


Oleh: Gun Gun Heryanto*
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 12/12/2010)

Peradaban senatiasa berjalan dinamis. Banyak hal baru yang muncul menyempurnakan atau menguatkan yang lama kerap kali juga menyediakan antitesis atas berbagai hal yang pernah ada sebelumnya. Peradaban yang akan bertahan ke depan bukan lagi dimiliki egosime sebuah negara-bangsa (nation-state), rezim kekuasaan politik dan ekonomi, atau hanya berporos pada romantisme kejayaan masa lalu.
Peradaban modern dibangun di atas kerja-kerja kreatif, inovatif, dan terbuka membangun dialog dengan warga dunia yang kian terhubung melintasi batas-batas teritorial, ras, etnis, serta agama.
Atmosfer spirit dialog seperti itu yang dapat kita rasakan saat memasuki gedung The Lichtenberg-Kolleg yang terletak di Geismar Lanstrase 11, Gottingen, Jerman. Nama lembaga ini didedikasikan untuk mengenang Georg Christoph Lichtenberg (1742-1799), seorang ilmuwan dan filosof yang dikenal memiliki pemikiran independen dan ide-ide transformatif.
Saat ini, lembaga yang populer tersebut dipimpin Prof Dr Dagmar Coester-Waltjen seorang akademisi dari University of Michigan. Konsep unik lembaga ini, mulai dari pejabat hingga para peneliti, diisi dari berbagai ilmuan mancanegara yang berafiliasi ke berbagai universitas dari berbagai belahan dunia.
Islam dan dinamika dunia Islam mendapatkan tempat yang istimewa dalam kajian dan dialog-dialog di Lichtenberg. Sepanjang November saja kurang lebih ada dua seminar bertema soal Islam. Pertama, berkenaan dengan hukum Islam antara teori dan praktis pada 10 November 2010. Lichterberg menghadirkan Prof Dr Shaheen Sardar Ali, ilmuwan perempuan asal Pakistan yang kini mengajar di Marwick School of Law.
Shaheen mempresentasikan makalah berjudul "Influence of International Human Rights Law on Domestic Legislative Inisiatives in Pakistan: Some Reflections and Perspectives". Dalam konteks ini, Shaheen menggarisbawahi hubungan erat antara dinamika implementasi hak-hak asasi manusia di dunia terhadap proses perumusan dan pengesahan produk legislasi di Pakistan.
Dia banyak memberi perspektif kepada para ilmuan Barat bahwa doktrin dan praktik Islam dalam konteks Pakistan tidaklah menegasikan hak asasi manusia. Justru dia melihat substansi Islam yang memperkuat hak-hak perempuan, hak kebebasan berpendapat, perlindungan hukum, dan lain-lain. Dengan pendekatan historis dan sosiologi hukum, Shaheen memosisikan wajah Islam yang modern dan adaptif dengan perubahan. Intinya, Islam mampu menjadi agama dialogis jika tak dipolitisasi oleh orang atau kelompok yang hanya menghendaki pencapaian atau pemapanan kekuasaan dengan menjadikan agama sebagai sumber legitimasi hasrat politik mereka semata.
Selain Shaheen, juga ada presentasi cukup kontroversial dari Prof Dr Ralph Grillo, akademisi dari School of Global Studies, University of Sussex, Inggris, yang membawakan makalah hasil riset soal perjuangan komunitas Muslim Inggris memasukkan syariah dalam hukum resmi di Inggris.
Makalahnya berjudul "Making Space for Islam in the Legal Sphere in Europe, with Special Reference to the UK". Perdebatan menghangat saat Grillo menghadirkan bingkai yang kurang berimbang soal perjuangan komunitas Muslim di Inggris berkenaan dengan syariah.
Kedua, seminar soal pendidikan Islam di Indonesia yang menghadirkan Prof Dr Nur Kholish Setiawan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 24 November 2010. Nur Kholis banyak memberikan gambaran bagaimana tradisi pendidikan Islam di pesantren tradisional dan modern.
Selain itu, juga memberi gambaran bagaimana pendidikan yang dikelola oleh pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional serta pendidikan Islam yang dikelola oleh organisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Perspektif yang dibangun adalah bagaimana komunitas Muslim memberi kontribusi dan mewarnai dinamika sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan di Indonesia.
Islam di Indonesia merupakan Islam yang dialogis, toleran, moderat, dan bisa menjadi satu contoh bagaimana Islam bisa berdampingan dan bersinergi dalam sebuah masyarakat multikultural. Dalam konteks inilah, Islam bisa menjadi spirit moral sekaligus pendorong perubahan dengan mengedepankan ciri Islam dialogis, termasuk dengan peradaban Barat.
Tentu, ada sejumlah dialog-dialog lain soal Islam dalam hubungannya dengan demokrasi, politik, sosial, budaya, dan hukum yang difasilitasi oleh Lichtenberg-Kolleg baik yang sudah maupun akan diselenggarakan. Tentu, berbagai riset soal Islam dan dunia Islam juga banyak dilakukan oleh lembaga ini tak hanya di Jerman dan Eropa, tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Web Republika:
http://koran.republika.co.id/koran/153/124945/Wajah_Islam_di_Gottingen

Related

Opinion 8028843126564393848

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item