MENATA ULANG PRESIDENSIALISME

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 26/11/2010) Pasca-Orde Baru, sudah tiga kali Pemi...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 26/11/2010)
Pasca-Orde Baru, sudah tiga kali Pemilu kita lalui dengan beragam regulasi. Liberalisasi politik yang menguat, menjadikan atmosfir demokrasi di Indonesia gegap gempita.
Hampir setiap pemilu, kita merevisi paket UU Politik, namun selalu tak tuntas karena fragmentasi kekuatan yang sangat beragam dan dinamika kepentingan partai politik yang terlampau kuat. Terbentuknya pemerintahan SBY yang kedua pasca Pemilu 2009 pun kembali membuktikan betapa kuatnya beban kompromi politik yang harus ditanggung presiden terpilih, karena formula bersandingnya presidensialisme dengan multipartai ekstrem dalam fakta politik di Indonesia. Mitra koalisi dari beragam partai, kerap tak mencerminkan sikap politik partai pendukung pemerintah, melainkan senantiasa “main mata”, seraya menunggu momentum untuk mengartikulasikan kekuatan mereka, sekalipun tak sejalan dengan presiden yang mereka dukung.
Pilihan Desain
Kini, UU Paket Politik kembali menjadi topik utama bahasan DPR, bahkan menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010. Artinya, kembali ada momentum bagi para anggota DPR dari lintas fraksi untuk membahas ulang desain penguatan sekaligus pemapanan sistem demokrasi di Indonesia. Meski, banyak pihak skeptis, apa yang dirumuskan di DPR akan bermuara pada cita-cita perbaikan tatakelola politik yang lebih baik.
Kecurigaan itu wajar, mengingat di banyak kesempatan, DPR periode ini seperti halnya DPR sebelumnya kerap tak merepresentasikan idealitas lembaga perwakilan rakyat melainkan lebih menunjukkan wajah agresivitas politik parpol dan individu para politisi.
Tak dimungkiri, bahwa satu fenomena demokrasi paling menarik di Indonesia kontemporer adalah suasana demokrasi yang kian bergairah. Tentu saja hal ini memiliki plus minus. Kelebihannya, Indonesia kian tumbuh menjadi negara demokrasi besar yang sedang menunjukkan praktik politik prosedural yang bebas dan kian kompetitif. Kelemahannya, sangat sulit merawat momentum kebabasan untuk diakselerasikan ke dalam proses pemapanan politik yang sistemik.
Kerap terjadi paradoks di level elit, terutama dalam relasi eksekutif-legislatif dan partai politik di sisi lain. Salah satu paradoks yang mencolok adalah implementasi sistem presidensialisme yang mirip benang kusut, tak pernah terurai dan tak mampu menghasilkan sistem politik yang mapan.Sebagaimana diketahui, bahwa Indonesia sudah memilih desain institusional serta tipe kakuasaan eksekutif berdasarkan pada presidensialisme. Pilihan ini bukan persoalan benar atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia.
Dari sudut karakteristik, sistem parlementer yang pernah dianut di Indonesia dinilai kurang cocok karena lebih menunjukkan spirit demokrasi barat yang menekankan pada individualisme dalam pengambilan keputusan, padahal akar musyawarah dan mufakat telah lama menjadi ciri dominan bangsa Indonesia. Sementara fakta dan dinamika politik juga menunjukkan, praktik parlementer dengan ciri dominan sistem multi partai tak sukses menjadikan Indonesia lebih baik.
Sejak Indonesia merdeka, kita telah menjalankan sistem multipartai. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta nomor X/1949 merupakan titik awal implementasi sistem multipartai di Indonesia.
Keputusan Wapres ini merupakan salah satu penyiapan penyelenggaraan pemilu pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%). Terjadi ketidaksetabilan pemerintahan yang berlangsung antara tahun 1950an-1960an. Multipartai juga mengawali pemilu pertama di masa Orde Baru. Tahun 1971, diikuti oleh 10 partai politik, termasuk Golkar yang saat itu menjadi kekuatan politik pemerintah.
Soeharto lantas memaksakan penyederhaan parpol melalui kebijakan fusi. NU, Parmusi, PSII dan Perti direstrukturasi ke PPP. PNI, IPKI, Parkindo, Katolik direstrukturasi menjadi PDI sementara Golkar adalah parpol dominan yang menjadi sayap utama politik pemerintah. Meski dari sudut jumlah, menunjukkan masih multipartai sederhana dalam faktanya bisa dikatakan kita memasuki fase partai dominan untuk menghaluskan istilah partai tunggal, yakni Golkar sebagai satu-satunya kekuataan penguasa, meski jenis kelamin Golkar sebagai parti belum jelas. Jalur ABRI-Golkar-Birokrasi (ABG) menjadi penanda koorporatisme politik yang menempatkan Soeharto di puncak hirarki kekuasaan selama 32 tahun.
Reformasi politik pada tahun 1998, melahirkan kembali liberalisasi politik. Kurang lebih 200 parpol tumbuh, dan hanya 48 parpol yang bisa mengikuti Pemilu 1999. PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, dan PAN menempati 5 suara terbanyak. Pada pemilu 2004, hanya setengah dari jumlah parpol peserta pemilu 1999 yang bisa ikut. Hal ini terkait dengan UU No 3/1999 tentang electoral threshold. Partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Pemilu 2004 diikuti 24 parpol dan kembali membengkak menjadi 34 parpol di Pemilu 2009. Hasil Pemilu 2009, hanya ada 9 parpol yang lolos parliamentary threshold (PT) 2,5 persen sebagaimana disyaratkan dan menjadi kekuatan utama di DPR sekarang.
Dinamika multipartai di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme. Sebelumnya, ada baiknya kita kembali mengingat beberapa perbedaan mendasar antara parlementarisme dengan presidensialisme. Mengutip tulisan Mahfud MD dalam Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (2000:74), parlementarisme memiliki empat ciri utama. kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa). Kedua, pemerintah diselenggarakan melalui sebuah kabinet yang dipimpin seorang PM. Ketiga, kebinet bertanggung jawab kepada parlemen, dan kabinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi. Keempat, kedudukan eksekutif lebih rendah dari perlemen dan bergantung pada parlemen.
Sementara dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari perlemen. Kekuasaan pemerintahan tidak terbagi antara kedudukan presiden sebagai kepala negara (head of the state) dan sebagai kepala pemerintahan (head of government). Jabatan Presiden dan wakil presiden merupakan instituasi tunggal sehingga menjadi satu paket dalam Pemilu. Presiden memiliki hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden pemimpin tertinggi eksekutif yang independen dan mandiri dari parlemen.
Rekomendasi
Problem mendasar kita saat ini adalah praktik presidensialisme banyak tereduksi oleh sistem multi partai ekstrem. Misalnya dalam membentuk pemerintahan, SBY-Boediono harus mengakomodasi begitu banyak kepentingan parpol sehingga zaken kabinet yang seharusnya bisa dilakukan presiden dan wakil presiden yang memenangi pemilu dengan meyakinkan, akhirnya tak terwujud.
Postur birokrasi kembali mengalami obesitas akibat politik representasi. SBY-Boediono kerap harus melakukan power sharing dengan para elit di Setgab, sehingga menambah rumit akselerasi pemerintahan. Salahkah multi partai kita? Sekali lagi ini bukan soal salah benar. Melainkan lebih pada cocok tidaknya persandingan antara presidensialisme dengan multipartai ektrem. Koalisi parpol tak terikat secara permanen, sementara fragmentasi dari mereka yang berkoalisi pun sangat beragam dengan kepentingannya sendiri-sendiri.Tentu, kita punya kesempatan memperbaiki titik lemah presidensialisme ini di Pemilu 2014. Tak ada pilihan lain selain kita menyederhanakan parpol.
Bukan dengan cara direstrukturisasi secara paksa oleh penguasa seperti di era Orde Baru, melainkan melalui regulasi yang jelas di revisi paket UU politik yang saat ini dibahas di DPR. Tentu, juga dimasukan exit strategy bagi parpol yang berpeluang tak terakomodasi dalam postur kekuasaan legislatif pasca Pemilu mendatang. Sejumlah tawaran agregasi politik di antara berbagai kekuatan politik yang ada sekarang baik dengan pendekatan formal kelembagaan maupun kultural, layak dipertimbangkan.
Hal ini, bukan soal keadilan yang dikotomis bagi parpol besar atau kecil, melainkan lebih pada pertimbangan parpol ke depan harus semakin mencerminkan dukungan yang besar dan jelas dari pemilih sehingga jumlahnya tak perlu terlalu banyak.***
Tulisan ini bisa diakses di web Sindo:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/366451/

Related

Opinion 4087534617430416163

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item