WIKILEAKS DAN CYBER DEMOCRACY

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 16/12/2010) Julian Assange dengan Wikileaks sepertin...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 16/12/2010)
Julian Assange dengan Wikileaks sepertinya layak menjadi man of the year 2010 sebagai news maker paling kontroversial. Hingga sekarang, gelombang deras infromasi berkenaan dengan berbagai rilis dokumen-dokumen sangat rahasiah versi Wikileaks, masih menjadi perbincangan masyarakat internasional. Bak bola api, informasi dari para pendukung wikileaks terus membesar, kian panas dan liar. Fenomena ini, menghadirkan perang yang tak sekedar di dunia cyber melainkan terkoneksi langsung ke berbagai basis strategis pertahanan dan praktik demokrasi pemerintahan di berbagai negara.
Multitafsir
Sosok Julian Assange yang lahir di Townsville-Queensland, Australia memang multitafsir. Tafsir pertama, Assange merupakan sosok pejuang demokrasi radikal yang memanfaatkan kekuatan teknologi cyber sebagai basis memerangi praktik superioritas rezim pemerintahan di berbagai negara terutama Amerika dan korporasi multinasional.
Sejak tahun 2006 Assange memulai Wikileaks bersama sekumpulan aktivis yang memiliki pemikiran sama yakni membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Dalam konteks inilah, Assange kerap dilabeli sebagai pejuang transparansi radikal. Melalui cara-cara radikal, dia menohok langsung otoritas formal berbagai negara yang dianggapnya tak sejalan dengan asas-asas demokrasi yang selama ini kerap diklaim telah dipraktikkan oleh negara-negara yang bersangkutan. Tentu, AS yang rajin melakukan propaganda sebagai negara demokrasi paling sukses harus menerima tamparan keras Assange dan Wikileaks.
Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo, rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelejen tentang konflik di Afghanistan. Pada November 2010, Wikileaks merilis 250 kawat diplomatik rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di sejumlah negara yang sontak telah membuat tensi berbagai pihak memanas. Perang belum berakhir, meski Assange telah ditahan di london atas tuduhan pelecahan seksual, namun rilis berbagai informasi sensitif terus gencar dilakukan, bak air bah yang tak bisa dicegah.
Tafsir kedua, Assange dan Wikileaks dianggap sebagai progandis yang machiavelist. Bagi pedmberi tafsir ini, atas nama transfaransi Assange membuat ketidakmenentuan batas jelas antara informasi yang akuntabel, verifikatif dan murni dengan informasi yang berbasis politik kekuasaan. Mereka yang skeptis atas kerja-kerja Assange lantas mempertanyakan kekuatan siapa yang berada di belakang Wikileaks? Saat CNN dan YouTube mempublikasikan markas Wikileaks yang terkesan serba canggih di dalam bungker di pegunungan dekat Stockholm, Swedia, lantas masyarakat dunia disodorkan argumen hal yang mustahil Wikileaks bisa bekerja tanpa sokongan kekuatan finansial yang memadai.
Payback Operation!
Yang menarik kita amati dari situasi terkini seputar Wikileaks adalah munculnya perang terbuka yang dikobarkan para pendukung Assange dan Wikileaks. Kelompok tersebut menamai diri mereka “anonymous” yang terdiri dari para peretas atau hack-aktivist yang tak rela perjuangan Wikileaks berakhir begitu saja. Penangkapan Assange seolah menjadi katalisator kohesivitas para peretas untuk kian mengobarkan perang data yang mereka sebut sebagai Payback Operation (operasi balas dendam).
Sejumlah situs yang ditengarai memiliki andil pada pemberangusan wikileaks satu per satu diserang. Di antara situs-situs yang diserang tersebut adalah www.visaeurope.com, situs resmi pemerintah Swedia (www.regeringen.se), blog layanan keuangan ThePayPalBlog.com, situs politisi AS penentang Wikileaks seperti Sarah Palin dan Senator Joe Liberman pun menjadi sasaran. Sejumlah situs kartu kredit seperti MasterCard dan Visa pun menjadi sasaran. Para penyerang juga mencoba menggempur situs Amazon.com yang dianggap telah mendepak Wikileaks dari server mereka, setelah situs bentukan Assange ini juga diusir dari server aslinya EveryDNS.
Bagi kelompok hack-activist pendukung wikileaks, apa yang mereka lakukan merupakan pelajaran bahwa pemutusan hubungan dengan Wikileaks tak lantas bisa “mengubur” apa yang sedang diperjuangkan Wikileaks. Protes dari para aktivis, jurnalis di berbagai negara bahkan ilmuan kritis sekaliber Noam Comsky pun turut menyuarakan dukungan mereka atas kerja-kerja progresif dan radikal yang telah dilakukan Assange dan Wikileaks-nya.
Cyberdemocracy?
Satu catatan menarik bagi penulis dalam konteks kasus Wikileaks adalah dinamika cyberdemocracy dalam perspektif komunikasi politik. Satu dekade yang lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication menyadari suatu era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga dimana media cetak dan penyiaran akan kehilangan tempatnya sebagai saluran utama komunikasi politik pada era baru melimpahnya informasi. Ide, informasi dan berita politik dapat disebarkan melalui internet. Media online ini telah menjadi ruang publik virtual dimana orang-orang dapat menggunakannya untuk membaca dan mengekspresikan berbagai opini dan sikap politik mereka.
Sebagaimana kita ketahui, ada tiga bentuk pengembangan dari internet yakni World Wide Web yang dikembangkan pada tahun 1990, oleh para ahli di Switzerland. Mereka menciptakan rangkaian komputer yang saling terhubung dengan internet dengan menggunakan program komunikasi yang sama. Pengembangan kedua, memudahkan penggunanya untuk menemukan apa yang mereka cari di web. Hal ini terjadi pada tahun 1993 dengan diciptakannya browser. Lima tahun kemudian, Microsoft memperkenalkan browser mereka yang dinamakan internet eksplorer. Perkembangan ketiga, yakni search engine yang paling dikenal pengguna adalah Google dan Yahoo!.
Inovasi dalam dunia web semakin hari semakin mengalami perkembangan yang berarti, ini dibuktikan dengan adanya transformasi dari teknologi web 1.0 yang hanya menempatkan user sebagai konsumen konten internet ke web 2.0 hingga dan web 3.0. Internet generasi kedua dan ketiga ini, telah memungkinkan penggunanya berinteraksi dengan yang lain dan memungkinkan terbentuknya suatu hubungan, sharing bahkan tak jarang membentuk konvergensi simbolik dan komunitas virtual aktif.Saat internet berjalan dinamis dan menjadi tempat diskusi, maka dengan sendirinya telah membentuk virtual public sphere, yang sama pentingnya dengan public sphere di kehidupan yang fisik.
Bahkan, bisa jadi melahirkan fenomena modern yang lebih dahsyat, mengingat internet memiliki karakteristik multimedia dan interaktivitas serta mampu melampaui batas-batas geografis, teritorial dan hambatan-hamabatan fisik lainnya. Ruang publik virtual ini menjadi sebuah keniscayaan dari produk modernitas yang tak bisa lagi diberangus baik oleh pemerintahan sebuah negara maupun oleh korporasi raksasa di dunia.
Kembali ke kasus Wikileaks, terlepas dari apakah Assange itu pejuang demokrasi radikal berbasis perjuangan transfaransi atau sebaliknya mungkin propagandis dari sebuah kekuatan politik tertentu, hal yang harus diwaspadai jangan sampai kasus Wikileaks ini menuntun berbagai negara kembali ke rezim ketertutupan. Perang informasi akan menjadi fenomena yang lumrah dalam rangkaian proses cyberdemocracy yang sedang mencari bentuk, terutama dalam menafsirkan makna kebebasan informasi dalam tradisi liberalisme barat. Tentu paradoks atas kebebasan dalam demokrasi akan muncul bahkan kerap mengangkut residu politik yang tak selamanya menyehatkan.
Namun, ancaman dan peringatan seperti saat ini dilakukan badan-badan pemerintahan federal AS bukanlah contoh yang baik dalam penyelsaian masalah. Membaca, menyebarkan atau sekedar mengomentari dokumen-dokumen Wikileaks, kini dianggap sebagai pelanggaran atas Executive Order 13526 tentang Informasi Keamanan Nasional Rahasia. Demokrasi di dunia cyber tentu tak bisa diberangus, melainkan harus dimanfaatkan dengan hati-hati dan penuh kearifan.**
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=152706&pagecomment=1

Related

Opinion 325332176170884404

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item