ZONA PERANG INFORMASI GLOBAL

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Jum'at 08/04/2011) Laporan utama harian Seput...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Jum'at 08/04/2011)
Laporan utama harian Seputar Indonesia, Kamis (7/4), mengulas secara khusus opini negatif yang belakangan kembali marak menyerang Indonesia.
Tulisan “Indonesia Diserang Opini Negatif” seolah mengingatkan pembaca akan sebuah konstelasi perang global yang kerap luput dari perhatian khalayak, yakni perang informasi. Relasi kuasa antarnegara serta antarblok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zona of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Media menjadi alat pengendalian isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi”yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.
Strategi Perang
Perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui tiga strategi. Pertama, strategi pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolaholah “kepribadian” masingmasing media.Fenomena inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.
Dalam konteks ini, sangatlah wajar jika muncul pembacaan ulang, bahwa apa yang diberitakan The Age, Sydney Morning Herald (SMH), Times, The Wall Street Journal terkait juga dengan upaya menjadikan Indonesia dalam zona perang informasi. Pada 11 Maret 2011, The Age dan SMH yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media secara berbarengan memublikasikan informasi yang mendiskreditkan SBY.Judul besar The Age misalnya, Yudhoyono ‘Abused Power’, menjadi headline dan didedah dengan bahasa yang provokatif yang bersumber dari bocoran WikiLeaks. Terlepas dari benar tidaknya substansi pemberitaan tersebut, ada garis merah penyetingan agenda terkait dengan momentum ledakan informasi tersebut.
Isu itu dicuatkan bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Berita negatif soal Indonesia juga dipaparkan dalam tulisan Kelley Currie di harian The Wall Street Journal yang berjudul Indonesia’s Seven-Year Itch.Kemasan artikel opini yang dimuat 30 Maret 2011 ini pun langsung menusuk kredibilitas SBY yang dianggap gagal mengelola sistem politik,hukum,dan HAM. Berita terkini yang sama negatifnya soal Indonesia adalah berita Majalah TimeHolidays in Hell: Bali’s Ongoing” yang ditulis oleh Andrew Marshall yang menulis secara provokatif soal Bali.
Marshall sengaja menggunakan istilah neraka untuk menggambarkan Bali yang penuh sampah, limbah industri, dan kemacetan lalu lintas yang akut.Secara faktual laporan Marshall tersebut memang banyak benarnya.Hanya pengemasan kata-kata yang sangat provokatif dan sinis membuat kita seolah sedang membaca media kuning bukan majalah bereputasi baik di dunia Internasional. Menurut Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media (1972) dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.Sangat mungkin media massa dijadikan instrumen dalam perang informasi di era modern seperti sekarang.
Strategi kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negaranegara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. Sebanyak 60–70% berita media di antero dunia bersumber dari AP (Associated Press), UPI (United Press International), Reuters, dan AFP (Agence France Presse). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini.
Strategi ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games.Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan.Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm.
Pola Implementasi
Dalam praktik perang informasi melalui media massa,ada beberapa pola yang biasanya bisa kita baca. Pertama,memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang simetris. Hal ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name calling atau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Contohnya pemberian label “neraka”, abuse of power,pemimpin gagal,pelanggar HAM, gang of nih, Nine Dragon, dan lain-lain.
Kedua, biasanya perang dihembuskan oleh komunikator dalam hal ini penulis dan media yang memiliki reputasi, sehingga diharapkan memberi impresi sekaligus gaung yang kuat pada khalayak yang dituju. The Wall Street Journal yang terbit di New York misalnya, merupakan koran sangat berpengaruh di AS.Koran ini bertiras 1,8 juta eksemplar. Pernah nomor satu di AS dengan tiras 2,6 juta eksemplar, meski sekarang menjadi nomor dua setelah USA Today.Begitu pun Time,The Age dan SMH merupakan media-media yang berpengaruh. Para penulisnya seperti Kelley Currie yang menulis di The Wall Street Journal merupakan peneliti senior Project 2049 Institute,sebuah lembaga think-tank di Washington. Philip Dorling yang menulis di The Age dan SMH, adalah sejarawan alumni program doktor dari Flinders University yang saat ini tercatat sebagai visiting fellow pada Australian Defence Force Academy yang berafiliasi pada University of New South Wales, Australia.
Perpaduan antara reputasi media dan penulisnya ini dalam perang informasi menjadi modal penting terutama untuk peneguhan pengaruh saat informasi didistribusikan ke khalayak internasional. Zona perang informasi global memang nyata ada di hampir seluruh negara di dunia, oleh karenanya Indonesia harus terus mencermati pergerakannya sehingga tak sekadar menjadi korban atau pelengkap penderita.●
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391695/
Sumber gambar:
www.arrahmah.com

Related

Opinion 6512374180754359919

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item