BEBAN DEMOKRASI ELEKTORAL

Oleh: Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 27 Mei 2011 ) Banyak yang menyimpulkan demokrasi Indone...


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, 27 Mei 2011)

Banyak yang menyimpulkan demokrasi Indonesia tak pernah beranjak dari fase transisi. Setelah 13 tahun peristiwa reformasi,kita melewati tiga kali pemilihan umum (pemilu). Kekuasaan pun banyak diisi orang-orang baru meski banyak juga orang lama yang tetap melanggengkan dinasti politik mereka baik di pusat maupun di daerah.
Muncul beragam sumbatan dalam proses konsolidasi politik hingga kita tak pernah sampai pada demokrasi substansial yang diidealkan. Bahkan muncul kecenderungan kita terjebak dan berputar-putar dalam demokrasi elektoral yang kapitalistik.
Sejarah mencatat katalisator utama perubahan politik 1998 yang kita kenang sebagai peristiwa reformasi karena ada musuh bersama (common enemy) yakni Soeharto. Kekuasaan bercirikan bureaucratic polity yang diusung Soeharto telah menyebabkan pengerdilan kekuatan civil societydi Indonesia.
Dalam tulisan Karl D Jakson, Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia (1978), ciri dominan bureaucratic polity adalah mengisolir keputusan-keputusan penting hanya di lingkaran elite tertentu. Inilah zaman kegelapan demokrasi Indonesia karena semua kekuasaan tersentral pada sosok Soeharto. Setelah fase transisi itu lewat seharusnya kita memasuki babak baru yakni konsolidasi dan pelembagaan politik. Namun, hal ini tak mudah direalisasikan.Terlalu banyak hal pragmatis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam politik rendahan.
Beban Politik
Kini, gaung reformasi telah menepi,bahkan muncul kecenderungan mati suri.Tragisnya lagi, reformasi mulai dianggap gagal! Masyarakat tak merasakan ada perbaikan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan, dan perekonomian. Meminjam data hasil survei nasional Indo Barometer April–Mei 2011 membuat kita semakin miris. Sebanyak 55,4% masyarakat tidak merasakan ada perubahan kondisi bangsa sebelum dan sesudah reformasi. Hanya 31% yang menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. Survei terhadap 1.200 responden di 33 provinsi ini mencatat 55% di antaranya tak puas dengan reformasi,dan hanya 29,7% yang menyatakan puas.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah munculnya kecenderungan di masyarakat yang menganggap bahwa kehidupan di era Orde Baru lebih baik dari era pascareformasi. Terlepas dari kritik banyak pihak terhadap metodologi yang tidak mengomparasikan secara apple to apple Era Reformasi dengan Orde Baru, survei Indo Barometer itu bisa menjadi semacam warning bahwa reformasi memang di titik nadir persepsi masyarakat.
Salah satu sumbatan nyata proses konsolidasi dan pelembagaan politik adalah dominannya demokrasi elektoral (electoral democracy) yang kapitalistik dalam sistem politik kita. Hal ini ditandai dengan pemilu reguler dan kompetisi antarparpol guna memperebutkan pemilih melalui basis transaksional. Pemilu menjadi pasar lelang suara sehingga ongkos untuk penguasaan pemilih menjadi sangat mahal. Dana internal parpol sangat tak memadai untuk membiayai pertarungan sehingga dibutuhkan dukungan dari pihak eksternal antara lain donatur dan para investor politik. Praktik ini melahirkan perselingkuhan abadi penguasapengusaha yang kerap mereduksi kesejatian demokrasi.
Hal tersebut juga sering menjadi pembenar bagi praktik kumulasi ekonomi para politisi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki. Dalam konteks inilah, kita sering melihat peran parpol sebagai bunker bagi para koruptor. Sudah bukan rahasia bahwa BUMN, proyek-proyek kementerian, pemda-pemda, sirkulasi jabatan, dan sejumlah kerja sama dengan pihak swasta kerapkali menjadi pintu masuk tindakan korupsi para politisi maupun para broker yang berafiliasi ke parpol tertentu. Beban demokrasi elektoral kita saat ini adalah politik tersandera oleh mekanisme transaksional. Para politisi mengidentikkan politik sebagai komoditi yang punya nilai pertukaran (exchange value) dan pasar (market).
Tak heran jika sirkulasi jabatan, pemilihan kepala daerah (pilkada), pembuatan kebijakan publik,hingga anggaran menjadi produk politik yang memiliki nilai transaksional. Konsekuensi dari cara pandang politik sebagai komoditi ini melahirkan korupsi, suap, dan penyalahgunaan jabatan untuk kumulasi ekonomi yang bersifat personal maupun organisasional. Politik tak bisa melepaskan diri dari rumusan money-commodity- more money (MCM) layaknya di produk komersial. Praktik ini tak hanya menerpa parpol penguasa, tapi juga mereka yang di luar kekuasaan.
Energi bangsa ini lebih banyak tersedot ke dalam rivalitas perebutan kekuasaan dan sirkulasi jabatan, tetapi lupa bagaimana mengoptimalkan kekuasaan tersebut bagi kesejahteraan rakyat. Para elite lebih memilih ‘ko-opsi’ dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair.Anatomi kekuasaan tetap mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati.
Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Dalam memaknai demokrasi, kita kerap terjebak dalam logosentrisme. Menurut pemikir beraliran postmodernisme, Jacques Derrida, paham logosentrisme sering terdampar pada aspek fonosentrisme yang mendewakan kata.Kendati penafsiran tak akan lepas dari kata, makna demokrasi lebih dari sekadar kata-kata.
Tak cukup hanya membangun reformasi melalui kata-kata dan citra, melainkan juga harus hadir dalam realita yang sesungguhnya.
Ke depan, kita tentu tak ingin demokrasi terus-menerus tersandera oleh libido kekuasaan kaum elite. Demokrasi elektoral harus memiliki sumbangsih nyata bagi perbaikan bangsa ini, bukan semata perhelatan demokrasi lima tahunan yang miskin perubahan.●
Tulisan ini bisa diakses di web SINDO
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/401771/
Sumber ilustrasi gambar:
www.inilah.com

Related

Opinion 6738705024984477404

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item