POLEMIK CAPRES INDEPENDEN

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 30 April 2011) Akhir-akhir ini pro kontra seputar wacana calon pr...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 30 April 2011)
Akhir-akhir ini pro kontra seputar wacana calon presiden (capres) independen kembali mengemuka. Polemik tentang hal ini sesungguhnya telah mengemuka sejak Pemilu 2009 lalu. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/02/2009) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Fadjroel Rahman, Mariana, dan Bob Ferdian.
Kini, seiring dengan rampungnya naskah amendemen kelima UUD 1945 yang dibuat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), isu ini pun kembali menjadi salah satu topik utama yang menarik perhatian. Salah satu bahasan dalam naskah itu adalah usulan agar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari unsur perseorangan diakomodasi.
Konteks gagasan
Menarik untuk membaca konteks mengapa polemik ini menjadi penting dan memberi tawaran menggiurkan bagi reformulasi sistem pemilihan presiden di Indonesia. Pertama, konteks legal formalistik yang tertuang dalam konstitusi kita. Ada upaya untuk pemberian tafsir ulang atas hak-hak politik warga negara terkait dengan capres dan cawapres.
UUD 1945 pada Pasal 6A ayat 2, secara eksplisit menyatakan pasangan capres/cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan partai politik. Dasar inilah yang dijadikan rujukan MK saat memutus permohonan Fadjroel Rahman. Saat itu, Fadjroel dkk memohonkan pengujian pasal-pasal dalam UU Pilpres yang hanya memberikan kesempatan kepada parpol atau gabungan parpol dan menutup hak konstitusional calon independen dalam pilpres. Pasal-pasal tersebut adalah pasal 1 ayat 4, pasal 8, pasal 9, dan seluruh muatan pasal 13 ayat 1. MK pun berpendapat, ketentuan pasal-pasal yang diuji materi dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi.
Bagi kelompok yang menginginkan diakomodasinya capres independen, termasuk yang dilakukan DPD saat ini, mencoba melihat sisi lain dari konstitusi. Misalnya, yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yakni setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden, asalkan memenuhi persyaratan. Dua sisi yang seolah paradoks inilah yang dianggap membutuhkan kejelasan sehingga memerlukan langkah amendemen.
Kedua, konteks politik terkait dengan fenomena disonansi kognitif yang dialami pemilih atas tawaran parpol yang berkutat di elite yang itu-itu saja. Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan dari apa yang dipikirkan dengan realitas yang didapatkan para pemilih. Parpol di Indonesia hingga sekarang tidak memberi impresi yang memadai. Bahkan, ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsionalisasi parpol.
Apatisme publik terhadap eksistensi parpol ini semakin menjadi di saat parpol ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan. Sejak reformasi hingga sekarang, DPR sebagai representasi kiprah partai politik dalam sistem demokrasi perwakilan, ternyata gagal memberi keyakinan kepada publik. Bahkan, cenderung semakin menguatkan gejala delegitimasi simbol wakil rakyat. Begitu pun kiprah parpol dalam sirkulasi elite.
Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Plato dalam mahakaryanya, Republic, pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elite. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.
Para politikus partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru melalui partai-partai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistik. Kejenuhan dalam merespons calon-calon presiden parpol itulah, yang menjadi konteks mengapa gagasan capres independen yang bergulir saat ini mendapat respons positif dari berbagai kalangan.
Skeptisme parpol
Saat gagasan capres independen ini bergulir, respons para politikus parpol kebanyakan skeptis, bahkan menunjukkan gejala tidak bisa menerima, padahal mereka belum membangun argumentasi yang komprehensif terkait plus minus gagasan ini. Parpol sesungguhnnya tidak perlu khawatir, jika mereka menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik dan menghidupkan mekanisme kompetisi serta sirkulasi elite yang benar, maka capres independen itu biasanya tak memiliki dukungan yang signifikan saat pemilu. Pengalaman di Amerika, kandidat presiden dari parpolah yang diminati dibanding kandidat independen.
Misalnya di pemilu Amerika pada 2008 lalu, kandidat presiden Partai Demokrat Barack Obama dan kandidat presiden Partai Republik Jhon McCain, jauh lebih diminati dibanding calon-calon independen yang beredar sebelum fase pemilu nasional. Misalnya, nama Ralp Nader yang berpasangan dengan Matt Gonzalez sebagai calon independen, ternyata tak menarik minat warga AS.
Para capres independen tersebut tak laku jual karena warga Amerika cenderung lebih memercayai kandidat yang berasal dari parpol. Satu mekanisme yang membuat kandidat parpol itu menarik minat pemilih adalah mekanisme konvensi.
Jalan terjal akan mengadang realisasi gagasan capres independen ini. Pertama, amendemen UUD 1945 agar bisa mengakomodasi calon nonparpol. Kedua, hal ini juga harus masuk dalam perubahan UU Pilpres. Idealnya para politikus parpol tidak menjegal gagasan ini di tengah jalan, sehingga bisa menjadi pemacu kiprah optimal parpol saat ini dan ke depan.
Tulisan ini bisa diakses di web Republika:
http://koran.republika.co.id/koran/24/134137/Polemik_Capres_Independen
Sumber gambar:
www.matanews.com

Related

Opinion 745548535106894608

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item