QUO VADIS REFORMASI?

Oleh: Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 23 Mei 2011 ) Bulan Mei diidentikkan dengan reformasi, tong...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 23 Mei 2011)
Bulan Mei diidentikkan dengan reformasi, tonggak perubahan yang meruntuhkan kekuasaan Soeharto. Gerakan massa waktu itu ibarat air bah yang tak terbendung rezim tiran Soeharto.
Itulah sejarah yang melahirkan euforia kebebasan. Sekarang, justru kita gelagapan menghadapi realitas reformasi yang dianggap gagal. Bangsa ini tentu kaget bukan kepalang saat Indo Barometer memublikasikan hasil survei nasional sepanjang 25 April-4 Mei, yang menyatakan 40,9 persen responden mempersepsikan Orde Baru lebih baik dari Orde Lama dan reformasi. Hanya 22,8 persen yang memilih era Reformasi sebagai yang terbaik.
Kegagalan Reformasi
Kekagetan kita tak cukup berhenti di situ. Dari 1.200 responden di 33 provinsi yang menyatakan tidak merasakan adanya perubahan kondisi sebelum dan sesudah reformasi berjumlah 55,4 persen, hanya 31 persen masyarakat yang menganggap kondisi bangsa setelah Reformasi jauh lebih baik. Survei ini juga mencatat 55 persen di antaranya tak puas dengan reformasi, hanya 29,7 persen saja yang menyatakan puas.
Tentu, hasil survei itu menjadi polemik. Mereka yang melihat dari cara pandang skeptis akan memunculkan pertanyaan: benarkah hasil survei itu merefleksikan pandangan umum masyarakat Indonesia?
Memang pada dasarnya studi kuantitatif itu bisa menjadi refleksi, hanya saja tak ada salahnya menggali lebih dalam metodologi yang digunakan pihak Indo Barometer. Apakah mereka sudah mengomparasikan secara apple-to-apple antara Orde Baru dengan era Reformasi. Cara pandang seperti itu sah-sah saja dilontarkan sebagai sebuah kritik metodologis.
Tetapi bagi penulis, persoalannya bukan pada debat metodologis dalam survei, melainkan pada hal yang lebih substansial, yakni menguatnya gejala kekecewaan masyarakat terhadap kaum elite, baik di kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Sebenarnya tanpa survei ilmiah pun gejala kekecewaan atas jalannya reformasi bisa kita raba mulai dari diskusi di kampus-kampus, hingga warung kopi. Bedanya, riset ilmiah meyakinkan kita dengan data dari sejumlah sampel, sehingga asumsi terverifikasi di lapangan.
Elite berkuasa tetap konservatif dalam pola-pola lama seperti dipraktikkan Orde Baru. Pola lama tersebut antara lain penguasaan akses dengan cara merestriksi berbagai peluang kuatnya check and balance dalam kekuasaan. Hal ini tergambar jelas dalam pembentukan pemerintahan yang tetap mengacu pada pola korporatisme atau pembonsaian politik.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengantongi suara signifikan dalam Pemilu, tetap melanggengkan praktik koalisi besar. Akibatnya, muncul gejala obesitas kekuasaan yang membuat pemerintah tak leluasa bergerak melakukan banyak hal untuk rakyat.
Cara kerja pemerintah lebih berorientasi ke dalam atau fokus mengelola risiko konflik dengan mitra koalisi dibanding orientasi ke luar guna menyejahterakan rakyat. Pola korporatisme ini juga telah dipraktikkan Orde Baru, hanya posisi Soeharto sangat kuat karena mengendalikan tiga kekuatan utama Orde Baru hasil fusi yang dipaksakan, sementara SBY harus berkompromi dengan multipartai ekstrem. Kesamaannya adalah pada pola pengendalian kekuatan penyeimbang. SBY dan Soeharto sama-sama piawai membuat stabilitas politik dengan mengontrol kekuatan potensial.
Tentu tantangan bagi SBY lebih besar, karena terlalu banyaknya teman yang diangkut ke dalam gerbong Kabinet Indonesia Bersatu II dan kerap kali mitranya tersebut berperan ganda, yakni sebagai kawan seperjalanan sekaligus lawan yang siap menerkam. Hal ini sudah terlihat dalam kasus Hak Angket Century dan rencana Hak Angket Perpajakan. Mitra koalisi bercita rasa oposisi ini bukan tak mungkin melakukan manuver serupa di masa mendatang.
Hal lain yang membuat reformasi kita berjalan di tempat adalah politisasi hukum. Proses penegakan hukum menjadi lamban, bahkan terkadang keluar jalur dan masuk di ranah politik. Misalnya, rakyat mungkin sudah bosan melihat berbagai kasus hukum yang menguap tanpa alasan jelas. Tindakan korupsi yang dilakukan sejumlah politikus dan pejabat sangat kental dengan ciri permainan politik ketimbang penegakan hukum. Beragam kasus hukum didorong ke permukaan untuk menjadi pembuka sejumlah negosiasi dengan kekuatan lain.
Kita sudah bisa memastikan jika sebuah kasus dipetieskan, sudah barang tentu ada “zone of possible agreement” yang telah disepakati di antara sejumlah elite. Misalnya gegap gempita kasus korupsi Century, juga kasus Gayus yang hanya menyeret para “kroco”. Hukum menjadi komoditas politik yang memiliki pertukaran nilai (exchange values) dan pertukaran pasar (exchange market) bak produk komersial di pasar lelang.
Korupsi menjadi momok lain bagi jalannya agenda reformasi. Saat ini ada kecenderungan parpol tergerus habis oleh pusaran korupsi para elite yang ada di dalamnya. Budaya korupsi ini kian melembaga karena parpol harus bertarung di pemilu dan pilkada yang sangat mahal.
Ongkos demokrasi elektoral sangat tinggi akibat politik yang tak berbasis kinerja, melainkan hanya berupa transaksi menjelang pemilu. Konsekuensinya, politikus dan parpol harus bergerilya, bahkan kerap menjadi “drakula” untuk megisap banyak sumber finansial, agar bisa bertahan di medan pertempuran yang panjang dan melelahkan.
Arah ke Depan
Dalam tulisan RA Dahl, Dilemas of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) disebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel, yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya sangat penting dalam menentukan proses demokrasi Indonesia ke depan. Kita tak cukup lagi mengklaim sebagai negara demokrasi karena sukses menggelar pemilu secara reguler. Apatisme masyarakat akan semakin membesar jika para elite masih terbiasa melakukan korupsi dan abuse of power.
Mampukah para politikus dan parpol mentradisikan politik sehat? Politik berbasis rasionalitas bernilai yang punya perhatian pada pemberdayaan kapasitas hak-hak sipil politik masyarakat. Selain itu, ke depan kita juga perlu melakukan konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kuat. Hal itu mestinya tercermin dalam regulasi seperti dalam paket UU Politik dan pengelolaan negara, yang merujuk pada kesejahteraan rakyat. Selain juga literasi politik yang lebih baik.
Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:
http://www.sinarharapan.co.id/content/read/quo-vadis-reformasi/

Related

Opinion 944165380270463761

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item