KLEPTOKRASI DAN KORUPSI POLITIK

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 8 Juni 2011) Satu persoalan mendasar negeri ini yang hingga...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 8 Juni 2011)
Satu persoalan mendasar negeri ini yang hingga kini belum teratasi adalah praktik korupsi. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berklindan dengan kekuasaan di legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau meminjam istilah Jurgen Habermas menjadi bentuk kehidupan (lebensform).
Obstruction of Justice
Ironis memang, Indonesia kikinian adalah entitas negara yang tersandra oleh prilaku korup. Indeks persepsi korupsi tahun 2010 yang dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII) stagnan diangka 2,8 atau diposisi 110 dari 178 negara. Kondisi ini tak berubah jika dibandingkan tahun 2009. Indonesia sekelas dengan negara Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands sama-sama di skor 2,8 dan peringkat 110. Kalah kelas dengan negara tetangga sekalipun seperti Singapura (9,3), Brunei (5,5), Malaysia (4,4) dan Thailand (3,5). Meski cukup unggul dari Vietnam (2,7), Filipina (2,4), Kamboja (2.1), Laos (2,1) dan Myanmar (1,4).
Ini tentu menyedihkan, mengingat Indonesia telah menyia-nyiakan kesempatan good and clean governance pasca reformasi bergulir 13 tahun lalu. Tumbangnya otoritarianisme Orde Baru sukses melahirkan sejumlah perangkat hukum guna meminimalisir tindakan korupsi. Perang melawan korupsi seolah membara saat reformasi sukses memasukan pembrantasan korupsi ke dalam TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Secara legal formalistik Indonesia turut menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No 7 Tahun 2006 dan menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Sebelum itu, karena praktik korupsi yang merajalela, Indonesia juga dengan gagah berani melahirkan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tentu kelahiran KPK bukan karena alasan biasa, lembaga ini diharapkan mampu melakukan cara-cara luar biasa untuk membatasi pergerakan, modus, jaringan dan lain-lain dari sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang dianggap sudah meluas dan sistematis. Sehingga diperlukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan yang juga luar biasa.
Kini KPK, Mahkamah Agung (MA), kejaksaan maupun kepolisian pun nampak terjebak ke dalam sebuah pola Obstruction of Justice atau pengadilan dan pertanggunganjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang yang korup tetapi tak berkuasa. Sementara mereka para Al Capone yang memiliki kuasa atau pengaruh atas kekuasaan politik dan hukum tetap tak tersentuh meski sejumlah data telah menunjuk hidung mereka sebagai God Father atau cukong tindakan korupsi.
Kleptokrasi
Kekhawatiran kita kian menjadi-jadi karena para elit yang menggenggam kuasa atas legislatif, eksekutif maupun yudikatif berjamaah melakukan korupsi. Sebagai contoh, gerombolan anggota Komisi IX DPR RI periode 1999-2004 lintas partai menjadi tersangka kasus cek pelawat yang diduga sebagai suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Korupsi berjamaah juga dilakukan anggota DPRD di berbagai daerah. Yang teraktual, misalnya 11 angota DPRD Kota Madiun divonis penjara (31/05/2011). Mereka terbukti melakukan korupsi anggaran operasional dewan hingga merugikan negara 1,012 miliar.
Modus persekongkolan korupsi juga terjadi antara politisi di DPR dengan pejabat pemerintahan. Contoh aktualnya adalah suap dalam pembangunan wisma atlet yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora). Aroma kebusukan suap Sesmenporan pun telah menyeret politisi Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Sementara di yudikatif pun kejahatan korupsi tak kalah merajalela. Terbaru, seorang hakim pengawas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berinisial S yang diduga menerima suap atas kasus kapailitan. Hakim nakal ini telah ditangkap tangan KPK 1 Juni 2011. Tentu dia merupakan satu diantara gerombolan penegak hukum yang menjerembabkan diri ke dalam kubangan kejahatan.
Berbagai contoh tadi, menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan kini merajalela. Bahkan ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Secara etimologi, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Kita tentu ingat sebuah nasehat populer dari ekonom dan pemikir Prancis, Frederic Bastiat yang mengatakan bahwa jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi.
Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor tentu hanya akan berjalan menuju titik nadir.
Pintu Masuk
Kleptokrasi sangat erat hubungannya dengan korupsi politik bahkan tak bisa dipisahkan. Dalam press release KPK (27/05/2011) eksplisit dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan korupsi politik adalah penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi. Lingkup korupsi politik sendiri mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Aktor dari korupsi politik bisa saja badan hukum partai poltik (parpol), pengurus dan kader parpol, anggota legislatif, calon/kandidat legislatif dan eksekutif yang diusung parpol, dan pelaku bisnis/swasta.
Korupsi politik akan menjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik. Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka. Akan lebih parah jika korupsi politik ini dilakukan pemimpin negara atau pemerintahan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia pada 17 September 2007 menyebut sejumlah nama kepala negara dan pemerintahan yang melakukan korupsi politik. Di antara nama-nama tersebut adalah Soeharto, Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko, Sani Abacha, Slobodan Melosevic, Jean Claude Duvalier, Alberto Fujimori, Pavlo Larazenko, Arnoldo Aleman, Joseph Estrada. Penyebutan nama mereka berbarengan dengan peluncuran program Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Ini seolah mempertegas bahwa kejahatan korupsi politik harus menjadi perhatian seluruh warga dunia.
Saat ini, korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuataan politik di era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik minat para koruptor.
Pertama, sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat. Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Bank Indonesia dan sejumlah aset negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh para koruptor.
Kedua, dalam penyusunan, pengalokasian dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran.
Ketiga, korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan sejumlah kebijakan publik lainnya. Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak asing maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi.
Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus tersandra oleh tindakan korupsi politik. Jika korupsi politik tak bisa dibatasi dan dikendalikan secara efektif, maka seluruh energi bangsa ini akan terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal. ***
Sumber gambar:
www.inilah.com

Related

Opinion 5772498550099298427

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item