PANGGUNG MAFIA PEMILU

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, Sabtu 2 Juli 2011) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali ...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Seputar Indonesia, Sabtu 2 Juli 2011)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memiliki panggung pertunjukkan yang menyedot perhatian publik terutama media massa. Label yang disematkan oleh para politisi Senayan terutama yang berada di Komisi II garang dan menyeramkan! Mereka membentuk Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilihan Umum Legislatif tahun 2009 yang kemudian populer dengan sebutan Panja Mafia Pemilu.
Metode pertunjukkan hampir serupa dengan realitas simbolik yang dikonstruksi saat Panitia Khusus (Pansus) Century. Sama-sama menimbulkan kegaduhan publik, penuh kejutan, menebar bola liar isu, dan sangat impresif bagi media yang selalu memajang bad news is good news. Satu demi satu drama mengemuka dari paparan Mahfud MD (Ketua MK) dan Djanedjri M Gaffar (Sekjen MK) serta kian mengharu-biru saat Arsyad Sanusi (Mantan Hakim MK) dan Neshawati juga diberi panggung serupa. Inilah relasi antagonis yang mau tidak mau, suka tidak suka menjadi tontonan khalayak atas nama demokrasi.
Pemburu Mafia?
Mendengar istilah mafia yang dijadikan label Panja, merangsang kita untuk menerawang ke dunia kelam para kriminal. Di banyak literatur, kata mafia diartikan sebagai a crime syndicate atau semacam perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Konon awalnya, kata mafia merupakan istilah yang digunakan orang Sicilia untuk segala organisasi rahasia yang mengendalikan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Biasanya mereka menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuannya.
Penggambaran sistem kehidupan para mafia, secara menarik bisa kita baca di novel yang melegenda, The Godfather karya Mario Puzo (1969). Cerita mengenai para mafia Sicilia ini pun lantas dijadikan film yang sangat laris dan disutradarai oleh Francis Ford Coppola dengan judul yang sama dengan novelnya. Tokoh-tokoh Don Vito Corleone (Marlon Brando), Michael Corleone (Al Pacino) dan Santino ‘Sonny’ Corleone (James Caan) seolah menjadi icon peran para mafia.
Lalu, mampukah kira-kira tim pemburu para mafia ini memenuhi harapan publik agar sesuai dengan namanya yang sangar tadi? Di sinilah letak skeptisme muncul dan merebak di benak khalayak. Kita tentu ingat, DPR pada tahun 2009 pernah membentuk panitia angket tentang pelanggaran hak konstitusional warganegara untuk memilih yang kemudian lazim dikenal sebagai Panitia Angket Daftar Pemilih tetap (DPT) berdasarkan SK DPR No. 15/DPR RI/IV2008-2009. Panitia Angket ini diketuai oleh Gayus Lumbuun (PDIP).
Ada tiga hal yang dilakukan panitia angket tersebut. Pertama, menyelidiki akar permasalahan dan penyebab kekisruhan DPT yang menyebabkan sebagian warganegara kehilangan haknya untuk memilih. Kedua, mencari pihak yang paling bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut. Ketiga, memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dalam penyusunan daftar pemilih. Pada 29 September 2009 Panitia Angket membuat rekomendasi yang diantaranya menyatakan bahwa KPU diminta agar mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pemutakhiran data pemilih, penyusunan DPS dan DPT. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya, direkomendasikan pemberhentian seluruh anggota KPU termasuk komisionernya dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Waktu pun berlalu tanpa kejelasan. Gegap-gempita kerja Panitia Angket DPT ibarat gelembung yang besar, rapuh dan cepat hilang sesuai dengan perubahan peta politik yang berlangsung di Senayan dan di lingkar kekuasaan. Hal serupa, juga terjadi saat Hak Angket Century. Seluruh energi bangsa ini masuk ke dalam pusaran kasus Century. Peristiwa itu, menjadi panggung kolosal bagi para politisi-selebriti dari Senayan, karena hampir setiap saat komentar mereka menjadi konsumsi media. Rekomendasi hanya drama yang berujung pada kesepakatan-kesepakatan politik sesama mereka.
Resiko Politisasi
Kita tentu patut mengapresiasi langkah Ketua MK Mahfud MD yang telah membuka kasus pemalsuan surat MK terkait penetapan kursi DPR untuk Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I ke publik dan melaporkan tindakan pidana umum ini ke Polisi. Laporan Mahfud MD, sudah tepat untuk menjadi pintu masuk bagi pengungkapan ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Kepolisian pun menduga, bahwa pemalsuan surat keputusan MK dilakukan secara berkelompok. Tentu, dengan membuka kasus surat palsu MK tertanggal 14 Agustus 2009 yang substansinya berbeda dengan surat asli tertanggal 17 Agustus 2009 ini, sesungguhnya sudah menyediakan koridor yang tepat untuk membongkar siapa dan berbuat apa, mereka menggunakan surat palsu untuk apa, serta siapa aktor utama yang menyuruh pemalsuan surat tersebut. Tentu, kasus Dewi Yasin Limpo ini bisa menjadi kotak pandora untuk menyingkap tabir para mafia pemilu yang nyaris tak tersentuh selama ini.
Hanya saja, semua proses itu menjadi tidak sesederhana yang dipikirkan karena di saat bersamaan muncul resiko politisasi terutama setelah panggung politik bernama Panja Mafia Pemilu digelar di DPR. Menurut para politisi Senayan pembentukan Panja Mafia Pemilu menjadi keharusan. Pertama, dalam rangka pengawasan terhadap kinerja penyelenggara pemilu. Kedua, dalam rangka penyempurnaan UU No.22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Mungkinkah fokus tersebut tidak akan melebar kemana-mana ? Di posisi inilah penulis meragukan panja buatan DPR tersebut.
Kekhawatiran itu kian menguat dalam 2 dinamika yang berlangsung di panja DPR. Pertama, muncul konstruksi opini yang melebar pada perang pribadi antara Mahfud MD versus Arsyad Sanusi. Kalimat verbal yang terucap sudah menyasar karakter personal dan melebar pada pembunuhan karakter masing-masing pihak yang bersetru. Layakah konflik personal itu mengemuka secara gamblang di media pada jam tayang yang bisa diakses semua usia. Resikonya, martabat dan kredibilitas MK sebagai institusi tentu juga akan tercederai, selain juga memberi pendidikan hukum dan politik yang keliru bagi masyarakat. Tidakah lebih tepat jika buka-bukaan itu fokus pada fakta hukum dan dipaparkan di pengadilan?
Kedua, dinamika panja juga menimbulkan kegaduhan politik nasional yang berpotensi memengaruhi fokus kepolisian dalam mengungkap kasus ini. Sekali lagi, kegaduhan publik dalam jejak rekamnya DPR lebih banyak menciptakan bubble politic dibanding penyelsaian akhir yang memuaskan rakyat. Prosesi mirip pansus Century berpotensi terulang, dan goreng-menggoreng isu pun sangat mungkin terjadi. Tak berlebihan, jika advokat senior Adnan Buyung Nasution menilai pembentukan Panja Mafia Pemilu sebagai langkah kegenitan ! Rakyat tak menginginkan lagi panggung sandiwara, tetapi butuh pengungkapan fakta hingga kita tahu siapa saja para mafia pemilu itu. ***
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/409835/

Related

Opinion 1617236881287928677

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item