AUDIT KINERJA MENTERI

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 29/10/2011) Sisa tiga tahun masa pemerintahan Presiden Susilo...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 29/10/2011)
Sisa tiga tahun masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan pertaruhan besar dalam sejarah kepemimpinannya. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sudah dirombak sesuai keinginan, skala prioritas, dan pertimbangan realitas politik yang dihadapi SBY.
Hampir mustahil membuat perombakan yang memuaskan semua kalangan. Oleh karenanya, bukan waktunya lagi kita berpolemik perihal tepat tidaknya formasi yang dibentuk SBY karena bagaimana pun kapal KIB II akan tetap melaju hingga berlabuh di 2014.
Fase Turbulensi
Tiga tahun ke depan bukanlah waktu yang ideal bagi SBY. Serangkaian proses politik menjelang Pemilu 2014 segara dimulai. Akhir 2012 misalnya, sejumlah partai politik sudah menyiapkan diri untuk melakukan rekrutmen internal calon-calon anggota legislatif. Pada 2013 akan semakin banyak uji coba politik sebagai strategi memanaskan mesin partai sekaligus memetakan kekuatan lawan dan kawan.
Memasuki 2014, kita akan memasuki fase turbulensi karena tak dimungkiri pertarungan kian eskalatif dan lebih terbuka dibanding Pemilu 2004. Alasannya, pertama kekuatan figur-figur kandidat calon presiden (capres) lebih beragam dan relatif memiliki peluang yang sama.
Hal ini berbeda dengan pemilu 2004, di mana posisi SBY yang menjadi incumbent dan memiliki elektabilitas di atas rata-rata kandidat lain. Pemilu mendatang, SBY tak akan mencalonkan diri lagi sehingga peluang semakin terbuka. Wajar jika uji coba pemasaran (marketing) politik kandidat diprediksi lebih gegap gempita.
Kedua, pertarungan antarpartai terutama yang masuk the big five saat ini juga akan berjalan sangat ketat dan diprediksi semakin terbuka di penghujung 2013. Hampir seluruh partai memiliki sejumlah strategi terbuka untuk menggarap segmen pemilih yang diprediksi lebih cair karena hampir seluruh partai tersandera oleh banyak kasus.
Untuk itu, pencitraan melalui publisitas dan lobi melalui simpul-simpul jaringan pemilih hingga ke akar rumput akan semakin masif, keras, dan memakan banyak biaya.
Dampak kondisi ini bagi eksistensi kabinet minimal ada tiga. Pertama, sangat mungkin para menteri yang masih dominan diisi para politisi partai koalisi kinerjanya terganggu karena konsentrasi mereka yang harus terbagi antara optimalisasi peran sebagai menteri KIB II dan kerja-kerja partai.
Terlebih, beberapa menteri juga memiliki posisi penting bahkan orang nomor satu di partainya. Kerja kabinet dan kerja partai politik menuju pemilu 2014 sangat mungkin beririsan di waktu bersamaan.
Kedua, akan selalu muncul godaan untuk menjadikan kementerian sebagai basis logistik partai. Bukan rahasia bahwa biaya demokrasi elektoral itu sangat mahal. Terlebih di era pasar bebas partai politik seperti sekarang. Kekuatan hadiah (reward power) seolah menjadi "mahar" yang wajib diberikan partai kepada konstituen.
Sementara itu, sumber finansial partai saat ini tidak jelas sehingga memungkinkan praktik korupsi politik berupa penerimaan suap, gratifikasi, pemufakatan jahat, serta penyalahgunaan pengaruh atau wewenang.
Ketiga, bagi para menteri yang bukan orang nomor satu atau bukan pengurus elite partai sangat mungkin tergoda untuk memiliki loyalitas ganda saat bertugas. Loyalitas utama sang menteri kepada elite partai, sementara loyalitas kepada presiden menjadi nomor dua. Hal ini sangat mungkin terjadi terutama jika sistem kontrol tidak jelas, ambigu, dan tidak terarah.
Mekanisme Kontrol
SBY tentu tak menginginkan perombakan kabinet yang telah dilakukan kemarin berakhir sia-sia. Ada sembilan agenda utama KIB II mulai dari penggunaan uang negara (APBN dan APBD) yang tepat sasaran, transparan dan akuntabel, pemberantasan korupsi, pengurangan angka pengangguran, ketahanan pangan, peningkatan ketahanan energi (listrik, migas, panas bumi), peningkatan kinerja BUMN, pengelolaan TKI, penanganan kekerasan horizontal serta peningkatan integritas dan disiplin pejabat.
Oleh karenanya, butuh sejumlah sistem kontrol untuk bisa menutup potensi rembesan atau kebocoran di tubuh KIB II sehingga performa kabinet berjalan baik.
Pertama, sebaiknya SBY menerapkan audit kerja kabinet untuk menilai produktivitas kerja para menterinya dalam rentang waktu tiga bulanan. Saat ini, untuk mengevaluasi kerja para menteri, presiden mendapatkan masukan dari Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Evaluasinya sendiri bersifat tahunan. Misalnya laporan UKP4 pada 2011 menyebutkan kurang dari 50 persen instruksi presiden yang dijalankan. Padahal, instruksi itu bukan hanya sebatas lisan, melainkan sudah dituangkan ke dalam produk hukum instruksi presiden. Waktu yang dimiliki SBY saat ini terbatas, oleh karenanya butuh sistem kontrol dengan rentang waktu yang lebih ketat. Evaluasi tiga bulanan diharapkan bisa berpengaruh pada akselerasi kerja kabinet.
Sebaiknya, UKP4 setelah melaporkan temuannya ke presiden juga memublikasikan ke media agar masyarakat mengetahui prioritas apa saja yang belum tercapai dan kementerian mana yang prestasinya buruk. Jika dilakukan secara transparan seperti itu, tentu tak ada pilihan lain bagi para menteri selain giat bekerja karena performanya akan menjadi sorotan banyak pihak.
Kedua, ada pengetatan pakta integritas. Menteri-menteri yang sekarang menjabat di KIB II harus dikontrak ekslusif sebagai pembantu presiden. Konsekuensinya, loyalitas dia pada presiden untuk menyukseskan program pemerintahan yang memiliki dampak positif bagi masyarakat harus lebih diutamakan alih-alih loyalitasnya pada elite partai.
Jika ada manuver menteri yang lebih mendahulukan diri pribadi atau pun partainya, maka harus ada ketegasan sikap SBY untuk memberi sanksi para pembantunya.
Ketiga, adanya kejelasan kewenangan untuk 19 orang wakil menteri (wamen). Jangan sampai masing-masing kementerian memiliki tafsir berbeda-beda terkait dengan posisi para wamen ini. Pakem awalnya, para wamen ini bukan anggota kabinet tetapi diharapkan bisa mendukung kebijakan dan program-program yang menjadi prioritas kementerian.
Jika dari awal tidak ada kerangka kerja dan tafsir kewenangan yang jelas, tentu akan selalu muncul potensi kekisruhan birokrasi terutama dalam fungsi koordinasi menteri, wakil menteri, dan pejabat eselon satu lainnya di kementerian. Keberhasilan SBY menjadi nakhoda KIB II tak akan terwujud tanpa adanya tanggung jawab seluruh menteri.***
Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/74815
sumber gambar:
www.waspada.co.id

Related

Opinion 46964355903736628

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item