BELAJAR DARI KASUS NAZAR

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 16/08/2011) Melihat prosesi penangkapan Nazaruddin di Cartagena, Kol...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 16/08/2011)
Melihat prosesi penangkapan Nazaruddin di Cartagena, Kolombia yang terpapar di berbagai media, menyisakan pelajaran berharga bagi kita semua. Selalu ada potrem buram di balik kejahatan yang dilakukan para politisi partai politik, para diktator, para mafia dan penjahat kerah putih lainnya. Skandal yang direncanakan secara sistematis, rapih dan terorganisir pada akhirnya terkuak dan menjadi bom yang memporakporandakan seluruh karir dan kehormatan pelakunya. Benang merahnya sama, politik yang berklindan dengan kejahatan yang dikendalikan para penguasa ‘kegelapan’ hanya akan berujung pada kehancuran aktor pelakunya, sistem yang dikelola serta khalayak yang beririsan dengan kuasa yang pernah digengam mereka.
Potrem Buram
Kejahatan para politisi seolah tak ada habisnya. Sejarah pahit di ujung kehidupan para pelaku seolah kerap dilupakan. Seharusnya kita bisa mengambil pelajaran, betapa tragisnya nasib Mantan Presiden Mesir Husni Mubarok yang harus diterbangkan dengan helikopter dari rumah sakit di kawasan wisata Sharm el-Sheikh untuk diadili di Kairo, Rabu (3/8). Sang diktator kini lemah tanpa daya, menjadi pesakitan di atas tempat tidur sambil diteriakin kata-kata kotor menyakitkan dari rakyat yang dulu dipimpinnya.
Rezim Ferdinand Marcos yang memerintah Filipina sejak sejak 1965, jatuh pada bulan Februari 1986. Sejak itu dia bersama istrinya kabur ke pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Filipina, Clark, untuk kemudian diasingkan ke Hawaii. Sejak itu, dia harus merelakan dicaci-maki dan dipisahkan dari segala kuasa yang dulu disembahnya. Zine al-Abidine Ben Ali, yang memerintah Tunisia selama 23 tahun, dipaksa turun oleh aksi rakyat. Sejak 14 Januari 2011, Ben Ali yang sudah berusia 74 tahun melarikan diri ke Arab Saudi. Kini, dia sakit-sakitan dan sempat koma karena terkena stroke.
Elegi para diktator juga lekat dengan cerita hidup Soeharto, Mobutu Sese Seko, Sani Abacha, Slobodan Melosevic, Jean Claude Duvalier, Alberto Fujimori, Pavlo Larazenko, Arnoldo Aleman, Joseph Estrada dan lain-lain. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia pada 17 September 2007 menyebut nama mereka berbarengan dengan peluncuran program Stolen Asset Recovery atau StAR Initiative. Kekuasaan yang direguk habis-habisan telah menina-bobokan nurani dan kesadaran mereka hingga terjebak pada animal instinct mereka sendiri. Dengan demikian, pernyataan terkenal Baron Acton dalam suratnya kepada Uskup Mandell Creighton tahun 1887 Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely terkonfirmasi secara sempurna.
Para politisi tanah air pun tak pernah serius mengambil pelajaran. Sejumlah anggota atau mantan anggota DPR, DPRD, mantan mentri, Duta Besar, pejabat kepolisian, jaksa, hingga hakim yang asalnya menyandang status pejabat terhormat, berubah menjadi pesakitan yang diganjar hukum dan sumpah serapah masyarakat. Ibarat pepatah hilang satu tumbuh seribu, koruptor tak ada hentinya bermunculan di negeri ini. Kejahatan korupsi politik tak hanya dilakukan sendirian melainkan berjamaah, sehingga ketika satu kasus terkuak maka satu ‘kompi’ penjahat didapat. Hanya saja, biasanya pengungkapan kasus korupsi politik seperti itu sangat jarang sampai pada Godfather-nya.
Narasi Nazar
Nazaruddin adalah contoh aktual potrem buram politisi muda tanah air. Sekarang usianya baru 33 tahun dengan karir politik prestisius yang secepat kilat direngkuhnya. Kita bisa membayangkan selepas lulus kuliah S-1 di tahun 2004, dia tak butuh waktu lama mengembangkan jejaring politiknya untuk masuk ke Senayan di Pemilu 2009. Jalan mulus melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan seolah tak menemui hambatan saat dia didaulat masuk jajaran teras kabinet Anas di Partai Demokrat. Tak mengherankan jika semuanya dia dapat, karena sepak terjangnya menginvestasikan gelontoran uang hasil kerja main proyek dengan memanfaatkan akses politik yang digenggamnya.
Kasus proyek wisma atlet menjadi titik balik perjalanan seorang Nazar. Dari orang penting di Senayan menjadi buronan. Dari pemegang akses logistik di berbagai pos proyek APBN menjadi daftar orang dicari interpol. Dia harus pecah kongsi dengan Anas Urbaningrum yang dulu mati-matian dibelanya. Persahabatan mereka berubah total dari saling mendukung menjadi saling menelikung. Semua sahabat yang dulu menyemut karena dia punya gula-gula uang dan tempat menambang uang, satu persatu meninggalkannya. Nazar yang sekarang adalah Nazar sang pesakitan. Dia tersangka dan dihadirkan secara paksa setelah diburu di berbagai negara. Wajahnya menjadi “most wanted” masyarakat, persis para penjahat kelas kakap. Inilah drama penuh ironi yang ditonton dan dibaca rakyat Indonesia berbulan-bulan.
Yang penulis khawatirkan, terpaparnya alur cerita kejahatan Nazar dengan segala bumbunya justru melahirkan disinhibitory effect. Menurut Bandura (2008), ini merupakan efek yang menyebabkan orang tidak malu untuk mengulang hal serupa. Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi (2001) menggarisbawahi ada kemungkinan prilaku imitasi itu muncul melalui matched-dependent behavior. Artinya, individu belajar untuk menyamai tindakan orang lain melalui proses instrumental conditioning. Ulasan media yang berlebihan, stimulus berita soal kekayaan yang didapat seorang koruptor dalam waktu sekejap, kemudahan Nazar membalikan keadaan di media dari label penjahat menjadi pion yang dikorbankan, merupakan contoh-contoh pengondisian instrumental. Dampaknya, akan selalu ada khalayak yang terinspirasi melakukan kejahatan serupa di masa depan dengan pola dan modus hampir serupa tetapi dengan strategi yang lebih sempurna.
Kini, Nazar tak semata aktor melainkan sudah menjadi narasi. Oleh karenanya perlu kehati-hatian semua pihak terutama aparat penegak hukum dan media untuk tak menempatkan Nazar dalam posisi sebagai stimulan praktik korupsi politik di masa mendatang. Jika penegak hukum lalai menegakkan keadilan dan kewibawaan dalam pemberantasan korupsi artinya sama dengan memupuk para calon koruptor hebat di kemudian hari. Demikian pula, jika media menempatkan Nazar bak selebritas, tak menutup kemungkinan banyak orang belajar agar esok atau lusa bisa seperti Nazar. ***

Related

Opinion 9102203918567400634

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item