MEMPERKUAT POLITIK WARGANEGARA

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 21 Oktober 2011) Salah satu eposide politik nasional yang m...


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 21 Oktober 2011)

Salah satu eposide politik nasional yang menyedot perhatian khalayak sudah dilewati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Selasa (19/10) telah mengumumkan kabinet baru hasil perombakan. Tentu tidak ada perubahan yang menyenangkan semua pihak dan dalam setiap perubahan, logika kekuasaan dengan logika orang awam kerapkali tidak mudah dipersatukan. Rentang waktu polemik seputar reshuffle sangat panjang, dan prosesinya telah menurunkan fokus bangsa ini atas sejumlah persoalan yang semestinya mendapatkan perhatian seimbang.
Tak bisa kita nafikan, wajah penuh bopeng praktik berpolitik para politisi negeri ini semakin membuat banyak pihak nyinyir dan penuh prasangka buruk terhadap apapun yang dilakukan atas nama politik. Kemanakah politik sehat itu? Konstruksi berpikir politik bangsa yang sesungguhnya penuh keadaban ini, seolah terjerembab ke dalam kubangan ritus jahat segelintir elit yang sibuk saling menyandra pihak lain. Sayangnya, segelintir elit ini punya ruang teramat besar dalam bingkai berita media, sehingga seolah-olah menjadi representasi politik Indonesia kekinian.
Literasi Politik
Tentu, bangsa ini tak ingin terus menerus larut dalam konflik elit yang tak berujung. Isu reshuffle kabinet, konflik Badan Anggaran (Banggar) DPR versus KPK, mafia pajak, mafia Pemilu, kasus Century dan lain-lain seolah menjadi ‘mainan’ yang untouchable dari politik warganegara. Semua kasus-kasus tersebut memiliki resonansi luar biasa bahkan sukses menyedot hampir seluruh energi kreatif bangsa ini, sehingga kehilangan fokus pada pengembangan dan penguatan diri maupun komunitas di tengah warga dunia. Hubungan mondial ditaklukan oleh hebohnya seribu satu isu lokal yang senantiasa mendapatkan tempat terhormat dalam media dan perbincangan publik.
Sudah saatnya kita menyalakan lagi semangat berpolitik sehat sebagai wujud politik warganegara. Tentu tidak mudah, butuh pengarusutamaan (mainstreaming) literasi politik yang tidak semata normatif melainkan bisa diimplementasikan dalam jejaring politik warganegara. Literasi politik menurut Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000: 61) merupakan upaya memahami seputar isu utama politik. Singkatnya, literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ini merupakan cara membuat seorang warganegara menjadi efektif dalam kehidupan publik dan mendorong mereka agar aktif-partisipatif dalam melaksanakan hak serta kewajibanya baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.
Sementara dalam pandangan Catherine Macrae dkk., dalam Political Literacy Resource Pack (2006) literasi adalah bauran kompleks dari praktik-praktik sosial yang memungkinkan orang untuk menjadi warga negara yang aktif dan efektif. Mereka punya kemampuan dalam politik lokal, nasional maupun internasional. Membangun budaya politik sehat tak bisa dikerjakan dalam setahun dua tahun, butuh puluhan bahkan ratusan tahun karena menyangkut kesadaran yang tidak bisa dibuat instan. Jika demokrasi berjalan baik, maka kita selalu punya kesempatan untuk membangun politik sehat setiap saat.
Strategi Gerakan
Kini, saatnya literasi politik fokus pada tindakan. Hal ini dapat dilakukan melalui empat pendekatan. Pertama, warga didorong untuk bersama-sama memiliki kemampuan mendefinisikan kebutuhan informasi politik mereka. Hal ini, terkait dengan cara merumuskan definisi operasional tentang informasi apa yang sebenarnya dibutuhkan. Misalnya, saat elit mengampanyekan dirinya dalam pemilu atau pun pilkada, tak ada salahnya jika ada gerakan independen yang kritis memublikasikan rekam jejak seluruh kandidat sehingga publik memiliki pengayaan informasi yang sifatnya komparatif.

Kedua, menetapkan strategi pencarian. Ini merupakan strategi investigasi terhadap seluruh proses politik. Misalnya, dari mana sumber pendanaan partai, apakah ada pelanggaran-pelanggaran prosedur dalam penetapan anggaran. Dengan banyaknya organisasi independen melakukan hal ini, maka pelangaran seperti kasus korupsi di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga di Kementrian Pemuda dan Olahraga sejak dini akan terdeteksi lebih dini. Proses seperti ini, tidak semata-mata bergantung ke KPK atau lembaga penegak hukum lainnya melainkan juga pada pasrtisipasi masyarakat.
Ketiga, gerakan mengomunikasikan informasi. Pendekatan ini sangat terkait dengan peran media dalam proses publikasi fakta dan isu. Ada baiknya media menciptakan satu asosiasi yang kuat semacam jaringan pers untuk mengawasi sekaligus menjadi kekuatan arus utama penyeimbang. Misalnya saja, media massa mampu menelisik berbagai kejahatan baik perorangan, korporasi maupun kejahatan kerah putih yang dilakukan para pemilik akses kekuasaan. Sehingga dapat mejadi informasi publik yang otentik.
Keempat, mengevaluasi produk dari proses akhir politik. Konteks pendekatan ini, terkait dengan evaluasi menyeluruh di setiap tingkatan dan kritis pada setiap ujung dari peristiwa politik. Misalnya, dalam proses lahirnya kebijakan publik baik dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dll. Tentu produk akhir politik ini pada fase berikutnya akan sangat mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Politik sehat yang dilakukan warganegara, belum tentu terakomodasi dalam kebijakan dan implementasi kewenangan elit. Maklum warganegara bukanlah elit yang memerintah (governing elite). Semakin banyak warganegara yang tercerahkan maka akan semakin memperbesar rasio publik berperhatian (attentive public). Jumlah publik berperhatian di sebuah negara jarang melampaui angka 15 persen. Meski demikian, kelompok ini biasanya turut menentukan nasib bangsanya. Melalui literasi politik, semoga praktik politik sehat perlahan tapi pasti bisa diwujudkan meski tidak atau belum di lingkup kaum elit.
Nalar elit biasanya berada dalam dua orientasi yakni mengubah atau mempertahankan kekuasaan. Sangat sedikit waktu yang tersedia dalam melakukan pemberdayaan kapasitas politik masyarakat. Jika performa menjadi ukuran sukses tidaknya seorang elit, biasanya mereka lebih banyak mendahulukan citra dibanding kinerja. Tentu saja hal ini tidak sehat karena politik menjadi sangat artifisial dan tidak meraba degub jantung masyarakat. Akankah politik sehat menjadi utopia? Tentu sangat bergantung pada kedewasaan kita berdemokrasi.
Sumber gambar:
www.edgewoodjoppalive.com

Related

Opinion 799903151704102003

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item