MENANTI KABINET TAMBAL SULAM

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 4/10/2011) Memasuki Oktober, isu reshuffle kabinet kian menggema. Me...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 4/10/2011)
Memasuki Oktober, isu reshuffle kabinet kian menggema. Meski hanya Tuhan dan SBY sendiri yang tahu kapan dan siapa saja yang akan dirombak, banyak yang setuju jika saat ini menjadi momentum paling tepat untuk memperbaiki perahu retak Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Tentu, ini bisa menjadi fase paling dilematis bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena terlalu banyaknya para pemilik ‘saham’ politik yang harus diperhatikan. Rumusan lama dalam politik “tak ada perubahan yang menyenangkan semua orang” sudah pasti sangat disadari SBY. Bisa dimengerti jika kalkulasi politik dalam kocok ulang kabinet, membuat langkah SBY menjadi lamban karena desakan tak semata datang dari kelempok penekan (pressure group) dan kelompok kepentingan (interest group) di luar Istana, melainkan juga dari lingkar dalam penyokong kekuasaan.
Sandra Politik
Bangunan kekuasaan SBY dilandasi investasi politik dari sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi 60,85 persen suara mengalahkan JK-Wiranto 12,59 persen, dan Megawati-Prabowo 26,56 persen, SBY tetaplah presiden yang tersandra politik representasi yang membuatnya gagal membentuk zaken kabinet. Meski hak prerogatif berada dalam genggaman SBY, susungguhnya kekuasaan dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai.
Sejumlah kasus hukum dan pengambilan kebijakan menjadi penanda nyata, bahwa masing-masing pihak yang menjadi investor politik dalam kekuasaan KIB II bukan fokus pada optimalisasi peran menyukseskan pemerintahan, melainkan pada tawar-menawar posisi dalam kekuasaan. Sejak KIB II bergulir 22 Oktober 2009, sesungguhnya sudah diprediksi laju pemerintahan SBY tak akan lebih baik dari periode pertamanya. Bukan karena kurangnya modal politik SBY, tetapi lebih pada distribusi dan alokasi kekuasaan yang tak mendukung efektivitas kinerja. Mitra koalisi setengah hati yang merasa berjasa dan menjadi investor politik justru menjadi pangkal utama persoalan. Relasi kuasa SBY dengan para mitra koalisi berjalan liar, keras, menyandra performa sekaligus menggerus produktivitas kabinet.
Tantangan terbesar bagi SBY dalam reshuffle kali ini adalah mampukah dia keluar dari sandra politik representasi? Jika SBY tetap mendahulukan keterwakilan politik daripada produktivitas kerja kabinet, seribu kali reshuffle dilakukan pun tetap tak akan mengubah keadaan. Pergantian orang bisa saja menjadi perubahan simbolik, tetapi substansi reshuffle sesungguhnya ada pada kontinum sirkulasi elit berbasis kredibilitas dan akuntabilitas sosok yang menggantikan. Dengan demikian, orientasi reshuffle seharusnya merujuk pada indikator-indikator kinerja mereka bukan semata-mata tambal sulam kekuasaan.
Kita mencatat, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pernah membuat laporan, kurang dari 50 persen instruksi Presiden selama 2011 yang dijalankan. Padahal, instruksi itu bukan hanya sebatas lisan, melainkan sudah dituangkan ke dalam produk hukum instruksi presiden. Bahkan secara gamblang diinformasikan, jika ukurannya kinerja menurut UKP4 sebagaimana disampaikan Kuntoro Mangkusubroto, hampir separuh kementerian mendapat nilai merah dalam penilaian kinerja triwulan kedua 2011 (Seputar Indonesia, 29/09).
Sejak dilantik hingga sekarang pemerintahan SBY nyaris berjalan tanpa impresi. Meski sejumlah kerja telah dilakukan di hal-hal mikro dan sektoral, citra dan kinerja pemerintahan SBY secara umum mengecewakan. Simpul kekecewaan itu adalah lemahnya good and clean governance dalam praktik keseharian pemerintahan. Hal ini, menjadi parasit karena dilakukan oleh orang-orang yang dekat dan memiliki akses kekuasaan, misalnya dalam kasus Kementrian Pemuda dan Olahraga juga Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Reshuffle saat ini mutlak dilakukan! Sinyal SBY pun kian terang bahwa tak ada pilihan lain selain perombakan. Tapi, beranikah SBY keluar dari sandra politik representasi untuk mengefektifkan kebinet? Rasanya ini yang lebih menarik untuk kita simak dalam beberapa hari ke depan.
Sirkulasi Elite
Beragam respon para menteri saat dikonfirmasi wartawan soal rencana reshuffle. Ada yang cool ada juga yang verbal agresif seperti membawa-bawa nama partainya dan asal daerah seolah memberi pesan tegas kepada SBY bahwa dirinya tak mungkin diganti. Tentu saja sikap seperti ini harus dibaca secara kritis, yakni disaat kinerja dan integritas sang mentri sudah diragukan publik dan terpojok, maka dia mempertahankan diri dengan mengirim pesan tegas kepada pemilik hak prerogatif. Tentu tak mudah bagi SBY mengurusi sirkulasi elit yang memerintah (governing elite).
Dalam perspektif Vilpredo Pareto The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elit itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respon institusional yang dramatik Sebaliknya, tindakan dan reaksi dalam sistem menunjukkan sebuah proses pengelolaan keteraturan. Sepertinya, gambaran seperti itu pula yang akan kita dapatkan dari proses reshuffle kabinet ala SBY. Pertama, tidak mudah bagi SBY untuk menggeser terlalu banyak orang-orang partai yang dalam fakta politiknya memang menjadi poros utama KIB II. Kedua, SBY bukan tipe pemimpin pengambil resiko (risk taker leader) yang siap berhadap-hadapan dengan situasi yang serba tak menentu. Jadi, formula terbaik yang sepertinya akan dicapai dalam reshuffle kali ini adalah kabinet tambal sulam.
SBY kemungkinan akan menempuh dua cara. Pertama, mereposisi beberapa orang mentri dari satu pos kementrian ke kementrian lain. Sebagian besar publik tentu akan kecewa karena beberapa orang yang hanya direposisi itu jelas-jelas tak lagi memiliki lagi integritas dan produktivitas kerja. Kedua, mengganti beberapa orang menteri yang tingkat resistensi dari partai penyokongnya rendah dengan memasukan orang-orang ‘ahli’ yang memiliki kedekatan dengan partai tersebut. Ini tentunya ‘soft way’ untuk tetap memelihara hubungan homeostatis.
Singkatnya, daripada kecewa untuk kesekian kalinya publik sebaiknya siapkan mental untuk tidak berharap terlalu banyak pada kabinet tambal sulam karena logika perombakan hanya memprioritaskan terjaganya zona nyaman. **
Tulisan ini bisa diakses di web Seputar Indonesia:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/432996/

Related

Opinion 3212875244812121663

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item