PANGGUNG POLITAINMENT

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 21 Oktober 2011) Drama reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KI...


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 21 Oktober 2011)

Drama reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II mencapai klimaksnya pada Selasa (19/10). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah mengumumkan siapa saja menteri yang akan membantunya hingga 2014. Sebuah prosesi politik yang panjang, gegap gempita serta berbalut seribu satu cerita. Sisi lain dari kegaduhan reshuffle tersebut, semakin kokohnya Cikeas sebagai kutub kekuasaan di era SBY. Di Cikeaslah SBY menyusun strategi reshuffle untuk menjaga citra perombakan yang ‘aman’ bagi rezim kekuasannya. Pertemuan dengan para wakil menteri serta negosiasi ulang dengan para elit partai yang menjadi investor politik, lebih banyak di lakukan SBY di Cikeas. Oleh karenanya, Cikeas tak hanya populer, tetapi juga menjadi titik episentrum berita maupun gosip.
Kegaduhan Reshuffle
Puri Cikeas Indah yang terletak di Jalan Letda Natsir, Cikeas, Bogor, Jawa Barat, telah menjelma menjadi panggung politik. Sejumlah peristiwa besar yang melibatkan SBY, Partai Demokrat dan para mitra koalisinya kerap diselsaikan ‘secara adat’ di panggung Cikeas ini. Saat memberi keterangan pers, Senin (10/10) Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Politik, Daniel Sparingga, mengatakan SBY sejak awal berkeinginan untuk menjaga agar proses reshuffle tidak menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Menurutnya, ini bukan infotainment juga bukan politainment melainkan peristiwa kabinet biasa.
Namun faktanya justru berbeda, prosesi reshuffle KIB II telah sempurna menjadi politainment di berbagai media massa. Cerita reshuffle tak semata terkait hak prerogatif presiden untuk memilih para pembantunya, melainkan sudah berbaur dengan drama dan gosip, sehingga peristiwa politik tersebut sangat mirip komodifikasi yang biasanya tersaji di dunia hiburan. Kalau meminjam perspektif interaksionis Erving Goffman, Cikeas telah menjadi panggung depan (front stage) dari proses dramaturgi yang dibangun SBY. Dalam konteks drama, tindakan selalu dipahami sebagai penampilan (performance) atau penggunaan simbol yang menghadirkan cerita dengan segala pesonanya.
Jörg-Uwe Nieland di The International Encyclopedia of Communication (2008) mendefinisikan Politainment sebagai bauran politik dan hiburan dalam komunikasi politik. Seperti halnya infotainment, yang digunakan sebagai label program televisi tertentu, istilah politainment menunjukkan pelibatan aktor politik, topik, dan proses dengan format budaya hiburan. Keduanya mengambil keuntungan, yakni potensi media massa untuk menarik penonton secara luas dan menciptakan ruang bagi para selebritas.
Sementara Natascha Fioretti dalam tulisannya di European Journalism and Observatory (2010) menyimpulkan, saat politik dikombinasikan dengan hiburan, maka melahirkan politainment yang substansinya adalah ‘politik pop’. Dalam konteks ini, akan terjadi proses saling menguntungkan, aktor politik mendapatkan publisitas sekaligus mengkonstruksi realitas sesuai citra yang diinginkannya, di sisi lain media mendapatkan keuntungan dengan memiliki sejumlah topik hangat bahkan sensasional untuk memalingkan perhatian khalayak.
Indikasi kuat bahwa proses reshuffle kali ini telah menjadi politainment bisa kita amati dari sikap SBY yang sukses menghadirkan mekanisme simulasi realitas melalui skenario “seolah-olah”. Reshuffle seolah-olah diorientasikan bagi penataan kabinet untuk efektivitas kerja hingga 2014, tetapi kenyataannya justru memprioritaskan keterjagaan politik representasi. Sejumlah aktor mulai presiden, juru bicara, staf khusus, hingga mereka yang dipanggil ke Cikeas dan ke Istana untuk menjadi menteri maupun wakil menteri membangun narasi bahwa perombakan adalah demi perbaikan !
Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra memaknai simulasi realitas sebagai tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi palsu yang seolah-olah mewakili kenyataan. Pidato SBY saat menyampaikan hasil pertemuan dengan sejumlah ketua umum partai politik, Kamis (13/10/2011), eskplisit mengatakan bahwa kenyataan politik mengharuskan SBY memerhatikan aturan, mekanisme, prosedur serta komunikasi dengan mitra koalisi jika ada pengurangan, penambahan atau pergeseran menteri. Dengan demikian, wajah KIB II pascaperombakan sesungguhnya akan tetap memperlihatkan cara-cara kompromistik. Munculnya pengangkatan sejumlah wakil menteri dalam konteks ini bisa dimaknai sebagai upaya menutup realitas dasar yakni ketidaktegasan SBY menggunakan hak prerogatifnya untuk menataulang para politisi partai yang masuk di kabinet.
Akhir Drama?
Indikasi lain reshuffle telah menjadi politainment adalah rentang waktu yang panjang sejak isu ini bergulir hingga pengumuman resmi. Seluruh energi dan perhatian publik terutama sebulan belakangan terhisap oleh pusaran diskursus reshuffle. Nyaris tak tersedia ruang utama media untuk menghadirkan perhatian kita pada sejumlah isu penting seperti kasus Nazaruddin, pergantian Ketua KPK dll. Proses yang panjang ini telah memproduksi sejumlah gosip bahkan bumbu-bumbu cerita media yang mengarah pada individu-individu para menteri, antaralain soal perselingkuhan, poligamy dan isu-isu pribadi lainnya.
Tentu, jika tidak dimaksudkan menjadi drama, SBY akan merombak kabinet ini sesingkat-singkatnya. Pemerintahan tidak memiliki waktu lama untuk mengubah cara pandang kebanyakan orang yang sudah muali lelah. Seharusnya orientasi utama SBY dalam reshuffle ini adalah memaksimalkan kabinet guna menjamin kinerja bukan sekedar skenario politik representasi dan menciptakan panggung simulasi realitas. SBY telah mengambil keputusan siapa-siapa saja yang masuk ke dalam line-up baru kabinetnya, tapi sepertinya drama belum berakhir seiring dengan laju kapal KIB II di tengah rivalitas menuju 2014.
Menurut SBY, salah satu penjelas mengapa dia tetap kompromistik dengan partai-partai karena dia menghormati kontrak politik. Namun, jangan sampai hanya karena itu, seluruh peluang optimalisasi kerja menjadi sia-sia karena mengakomodir politisi yang tak memiliki kecakapan bekerja. Para elit parpol mungkin saja meniru ucapan Don Corleone ke Johnny Fontane tentang Woltz dalam film Godfather "I am gonna make him an offer he can't refuse!" . Andai ini yang terjadi pada SBY, maka perombakan kabinet tambal sulam tak akan menghasilkan banyak perubahan, karena drama diskenariokan banyak orang.
Sumber Karikatur:
www.inilah.com

Related

Opinion 4781214040246456448

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item