WAJAH PARADOKS OTSUS PAPUA

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 7/11/2011) Sejak Orde Baru hingga sekarang, Papua seolah tak...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 7/11/2011)

Sejak Orde Baru hingga sekarang, Papua seolah tak pernah berhenti menjadi zona kekerasan. Sekarang pun, beragam bentuk kekerasan terus meningkat berkelindan dengan harapan akan kesejahteraan yang tak pernah kunjung datang. Inilah wajah penuh paradoks dari pemberlakukan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua atau lazim dikenal dengan sebutan UU Otsus Papua.
Apa yang Salah?
Otsus di Papua sudah berusia satu dekade. Substansi UU ini merupakan konsensus untuk mendelegasikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintahan daerah dengan dukungan dana sangat besar. Orientasi awalnya adalah peningkatan kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua. Sumber dana mengucur deras dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus serta dana tambahan infrastruktur. Sebagai gambaran, kita ambil contoh total dana otonomi khusus yang telah dikucurkan ke bumi Cendrawasih sejak 2002 sampai 2011 mencapai 32 triliun rupiah.
Tapi, kesejahtaraan seolah mimpi mahal yang tak pernah bisa dijangkau masyarakat Papua. Merujuk pada laporan BPS Maret 2010, penduduk miskin di Papua mencapai 761.620 jiwa (36,80 persen), sementara di Papua Barat 256.250 jiwa (34,88 persen). Jika ditotal, penduduk miskin di kedua provinsi tersebut pada Maret 2010 mencapai 1.017.870. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2002 saat otonomi khusus mulai dijalankan yang berjumlah 984.000 jiwa (41,80 persen)! Artinya setelah satu dekade otsus, justru ada peningkatan penduduk miskin sebanyak 33.870 jiwa. Yang lebih miris lagi, tingkat kemiskinan Papua melampaui rata-rata nasional sebesar 13, 33 persen.
Apa yang salah dengan otsus? Tentu, bukan pada konsepnya yang menjanjikan angin surga melainkan pada implementasi yang centang-perenang. Kucuran dana Otsus hanya menjadi lahan bancakan kaum elit pusat dan daerah. Contoh kecil, data hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap anggaran otsus periode 2004-2009 menyebutkan ada penyimpangan sebesar 578 miliar rupiah atau 16 persen. Sekitar 70 persen penyimpangan tersebut berupa pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bentuknya proyek-proyek fiktif, penggelembungan nilai proyek, belanja yang menyimpang dan lain-lain. Hasil otsus bukannya kesejahtaraan masyarakat Papua, yang ada justru munculnya prilaku korup para pejabat di daerah yang sangat mungkin berjamaah dengan jejaring pusat.
Kini lampu kuning telah menyala di Papua, otsus yang konsep awalnya menjadi win-win solutions bisa antiklimaks jika dibiarkan dalam pengendalian para pencuri. Presiden SBY pada 20 September 2011 menandatangani dua peraturan presiden (perpres). Pertama perpres nomor 65 tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres nomor 66 tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Lagi-lagi, bagian terpenting dari implementasi kebijakan khusus untuk Papua tersebut adalah benar-benar terwujudnya kesejahteraan, bukan membiarkan matarantai korupsi baru yang menjadi virus mematikan harapan orang-orang Papua. Kekerasan tidak bisa diselsaikan dengan kekerasan terus-menerus. Konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun Orde Baru (Orba) di bumi Papua hanya menambah kesengsaraan, jangan sampai pemerintahan sekarang menempuh cara serupa. Kata kunci penyelsaian konflik Papua bukan pendekatan politik dan keamanan tetapi kesejahteraan. Selama hal itu belum terwujud, jangan heran jika kekerasan akan selalu menjadi menu harian.
Stigma dan Opini
Pemerintah harus berupaya keras untuk mengubah dua stigma yang kini lekat dengan Papua. Pertama, stigma sparatisme yang sudah diidentikan dengan masyarakat Papua sejak Orde Baru. Persoalan ini menyengsarakan rakyat Papua karena selalu berada dalam ketidakpercayaan (distrust). Setiap ekspresi kerap dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari NKRI. Bahwa ada bagian tertentu dari masyarakat Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI benar adanya, namun jumlah mereka tidaklah mewakili keseluruhan masyarakat Papua. Dampak kecurigaan berlebih atas upaya sparatisme, memunculkan relasi antagonistik antara masyarakat Papua dengan pemerintahan pusat. Lebih jauh lagi, membuat posisi Papua termarginalkan di tengah laju pembangunan bangsa Indonesia.
Kedua, stigma Papua sebagi zona kekerasan. Tak dimungkiri, betapa banyak kepentingan yang bermain di Papua dan faktanya memang banyak kekerasan terjadi di wilayah tersebut. Namun jika ditelisik lebih mendalam, matarantai kekerasan sebenarnya berporos juga pada persoalan hulu yakni minimnya tingkat kesejahteraan yang dirasakan mereka. Jika kedua stigma ini terus melembaga dalam kesadaran masyarakat Papua maka tentunya akan merugikan Indonesia.
Ada tiga solusi dalam mengurai persoalan Papua. Pertama, pemerintah pusat maupun daerah sesegara mungkin mewujudkan kesejahteraan di Papua. Butuh langkah cepat, tepat dan terkoordinasi dengan baik. Jangan sampai dana otsus atau alokasi dana lain untuk Papua bocor dimana-mana dan menyebabkan frustasi masif masyarakat Papua yang berhak menerimanya. Upaya mewujudkan kesejahteraan juga harus barengi dengan dialog berkelanjutan antar pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, terutama dengan mereka yang saat ini berada di hot spot konflik Papua.
Kedua, pemerintah harus cekatan membangun hubungan positif dengan media terkait dengan implementasi otsus Papua. Hubungan media (media relations) ini menjadi strategis dalam mengendalikan opini publik terutama yang dikonstruksi oleh media-media nasional, regional maupun global. Bukan dengan cara memberangus kebebasan pers atau sangat protektif terhadap isu Papua, melainkan membangun pemahaman bersama (mutual understanding) di antara pemerintah, masyarakat Papua dan media massa.
Ketiga, pemerintah juga harus terus mengintensifkan kerja-kerja lobi dan diplomasi di dunia internasional. Terutama untuk mengantisipasi kerja-kerja kelompok kecil yang memperjuangkan papua merdeka. Hal ini, bisa dilakukan melalui hubungan baik dengan berbagai negara di dunia. Upaya lobi dan diplomasi ini penting untuk mereduksi efek domino persepsi negatif yang terbangun di dunia karena eskalasi kekerasan di bumi Papua.
Tulisan ini bisa diakses di web:
http://www.pelitaonline.com/read-analisis-berita/9717/wajah-paradoks-otsus-papua/

Related

Opinion 2651675122730150415

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item