PELUANG KANDIDAT INDEPENDEN

Oleh: Gun Gun Heryanto ( Telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 11/2/2012 ) Ada yang menarik dari fenomena rivalitas politik jelang pemi...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 11/2/2012)
Ada yang menarik dari fenomena rivalitas politik jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI, yakni terus melajunya pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen. Di tengah dominasi partai politik, pasangan jalur independen ini membuktikan keseriusan untuk terus melangkah menuju DKI 1. Fakta politiknya, pasangan Faisal Basri Batubara-Biem Benjamin (FB) berhasil menghimpun dukungan 547.359 Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga guna memenuhi persyaratan pencalonan perseorangan.
Memang dalam ketentuannya, pasangan calon perseorangan disyaratkan bisa mengumpulkan dukungan empat persen dari total 10 juta (sekitar 400.000) penduduk DKI Jakarta. Ini artinya, pintu awal bagi calon independen sudah terbuka, tinggal mendesain langkah lanjutan agar peluang tetap terjaga. Mengumpulkan dukungan publik berbentuk KTP tentu berat dalam kondisi skeptisis mepublik atas kualitas demokrasi elektoral di negeri ini.
Terlebih, di DKI ini masyarakatnya plural, baik dari sudut strata ekonomi, pendidikan, agama, etnis, maupun aliranaliran ideologi pun politik. Sejarah Pilkada DKI setelah era reformasi menunjukkan kandidat sangat terbiasa difasilitasi parpol yang menjadi mesin utama peme nangan setelah mereka melakukan serangkaian proses lobi dan negosiasi dengan elite partai.
Tentu, hal yang dilakukan calon independen berbeda sekali karena harus berjibaku meyakinkan dukungan awal dari publik. Sebenarnya, dalam konteks dinamika politik kekinian, calon independen itu memiliki ciri pembeda dengan kandidat parpol. Sebab saat ini warga DKI-sepertinya halnya bangsa Indonesia-secara umum sedang dilanda disonansi kognitif dalam memilih pejabat publik yang diusung parpol.
Disonansi kognitif biasanya muncul akibat perbedaan pikiran dan realitas yang ditemukan para pemilih. Parpol hingga sekarang tidak memberi impresi memadai sebagai institusi yang mau dan mampu mengagregasi kepentingan politik rakyat. Bahkan, ada kecenderungan menguatnya gejala ketidakpercayaan publik atas peran dan fungsi parpol. Apatisme publik ini semakin menjadi saat parpol ramai-ramai melibatkan diri dalam kekuasaan yang korup dan tidak memberi ruang sedikit pun bagi perjuangan politik prorakyat.
Partai apa pun nyaris sama, yakni lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya, sekaligus mengamankan berbagai akses mereka atas aset negara yang setiap saat bisa mereka korup. Oligarki Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Dalam maha karyanya, Republic, Plato pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai sekelompok elite.
Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol. Para politisi partai pasca-Soeharto terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru melalui partaipartai yang struktur kepemimpinannya merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosiokultural lokal yang cenderung patrimonial dan feodalistis. Kejenuhan dalam merespons caloncalon gubernur parpol itulah, calon independen mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan.
Kemudian, pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya finansial, juga biaya sosial. Setiap pilkada, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfer pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai sebab demokrasi berlangsung tak sehat. Salah satu simpul yang membuat Pilkada DKI mahal karena tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol.
"Mahar" pencalonan kandidat parpol atau gabungan parpol ini tentu akan diposisikan sebagai "investasi" politik kandidat, sehingga jika menang, agenda utamanya adalah mengembalikan modal plus bunga atau keuntungan. Semakin parah, jika "investasi" yang ditanam hasil guyuran pengusaha akan menagih konpensasi saat kandidat berkuasa. Dengan demikian, residu logika ekonomi akan jauh lebih dominan dibanding logika pelayanan.
Calon dari jalur independen tentu memiliki peluang untuk mendeklarasikan diri sebagai kandidat yang tak terlilit tradisi upeti. Ini akan membuat mereka lebih percaya diri berjanji bekerja optimal melayani warga DKI. Pemilih DKI heterogen dan cair. Sebagai ibu kota negara, DKI berpenduduk masyarakat urban terdidik. Secara umum, pemilih di DKI memiliki marjin memadai untuk jumlah pemilih rasional (rational voter). Tersedia cukup banyak peluang massa mengambang (fl oating mass) dan swing voter.
Tipologi-tipologi pemilih ini menjadi peluang calon independen karena ikatan pemilih dengan parpol sangat cair. Sentimen negatif dari publik atas kinerja parpol secara umum di level nasional maupun daerah seharusnya bisa dimanfaatkan calon independen dengan menawarkan platform, program-program dan kinerja yang berbeda, sekaligus membawa perubahan.
Ada tantangan nyata yang akan ditemui calon independen. Misalnya, sokongan dana untuk membiaya tahapan pilkada. Calon independen berporos pada partisipasi publik termasuk pendanaan. Ini masih menjadi tradisi cukup asing dalam peta politik karena sistem dan logika berpikir pemilih telah lama dirusak parpol, dalam bentuk money politic. Dampaknya, pilkada tak ubahnya pa sar pertaruhan atau pasar lelang yang diatur hukum penawaran dan permintaan, juga desain strategi dan saluran implementasi dalam proses komunikasi persuasif.
Jika kandidat yang diusung parpol atau gabungan parpol sudah memiliki struktur mesin partai yang cukup lama di panaskan menuju DKI 1, calon independen harus berjibaku membentuk sistem pemenangan baru hingga ke simpul-simpul pemilih. Namun demikian, jika membaca peluang-peluang tadi, rasanya kandidat jalur independen memiliki peluang menjanjikan.
Sumber Tulisan di Web Koran Jakarta:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/83306

Related

Opinion 7448206079288207459

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item