DEMOKRASI BUTUH LITERASI POLITIK

Judul Buku   :  Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi Penulis          :  Prof. Andi Faisal Bakti, Ph.D,           ...

















Judul Buku   :  Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi
Penulis          :  Prof. Andi Faisal Bakti, Ph.D,
                         Gun Gun Heryanto, M.Si dkk.
Penerbit         : Churia Publishing
Terbitan         : Maret, 2012
Tebal              : iii + 251 hlm.
Harga             : 45.000,-


Runtuhnya otoritarianisme yang ditandai dengan munculnya gerakan reformasi menandai fase demokrasi baru di Indonesia. Memang demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia hingga saat ini belum maksimal berpihak pada rakyat.

Rakyat hanya dijadikan objek yang pasif dalam demokratisasi.Kekuasaan masih bersifat transaksional yang dipertukarkan dari, oleh, dan untuk elit dan sangat sedikit menyisakan ruang bagi rakyat.

Rakyat masih diposisikan sebagai nominal suara dalam pemilu dan sematamata dikapitalisasi untuk memenangkan partai politik maupun kandidat saat mereka berkontestasi dalam demokrasi elektoral yang sangat mahal. Beban demokrasi elektoral yang begitu mahal menyebabkan lemahnya proses demokratisasi di Indonesia.Kemudian, fase konsolidasi tidak digunakan secara seksama untuk mewujudkan demokrasi substantif yang menekankan pada pendayagunaan masyarakat sebaliknya, para elite sibuk menjadikan rakyat sebagai hitungan-hitungan suara. Jelas memang, sejak reformasi, fase demokrasi kita tidak pernah beranjak dari transisi demokrasi.

Keadaan ini seakan berjalan di tempat tanpa perubahan ideal. Seharusnya momentum reformasi bisa menjadi perubahan politik dari otoritarianisme menuju demokrasi dan pelembagaan politik yang baik. Hanya, dalam perjalanannya proses transisi itu mengalami sumbatan akibat fragmentasi kekuatan politik yang tidak selalu memiliki agenda sama untuk mengonsolidasikan demokrasi.Yang terjadi dan tumbuh besar di panggung politik saat ini justru gelombang pragmatisme di kalangan elit politik yang memiliki akses kekuasaan setelah perubahan terjadi.

Kekuasaan kini sangat rekat dengan konflik elit terkait rangkai Pemilu baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Hampir bisa dipastikan energi demokrasi tersedot ke dalam pusaran konflik dan mekanisme saling sandera antarkekuatan, sehingga lengah untuk memperkuat jati diri bangsa di tengah gerusan kepentingan asing. Seperti yang ditengarai oleh Juan Linz dan Alfred Stephen (1997), terkadang proses transformasi demokrasi yang berlangsung menekankan bahwa transisi dari suatu rezim otoriter ke suatu rezim baru, belum tentu menuju ke suatu pemerintahan demokratis dan masyarakat bermartabat berkeadaban dengan pemerintahan bersih dan berwibawa (good governance).

Dengan kata lain, transisi yang berjalan tidak sempurna dapat membuahkan pola demokrasi yang rentan (unconsolidated democracy) dan masyarakat yang tidak berkeadaban atau tidak bermoral (uncivilized society), dan menciptakan pemerintahan yang amburadul (messy governance).Apalagi bila ada kesalahan rakyat mayoritas dalam memilih pemimpin, sebagai akibat buruk dari demokrasi (democracy risk). Buku yang ditulis oleh Andi Faisal Bakti beserta para aktivis lain di The Political Literacy Institute, menekankan bahwa konsolidasi demokrasi menjadi ajang penting untuk penguatan simpul-simpul komunitas sebagai basis dari demokrasi itu sendiri.

Hanya, kerap terjadi sumbatan yang menghadang proses konsolidasi demokrasi, seperti dalam kata pengantar buku ini yang ditulis oleh Gun Gun Heryanto. Pertama, terjadinya sumbatan dalam kekuasaan eksekutif. Hal ini masalahnya tergambar dari tidak terbentuknya zaken kabinet dalam pemerintahan SBY-Boediono akibat desain koalisi besar yang menyebabkan presiden dan wapres berjalan lamban. Kedua, sumbatan pada tataran legislatif. Jika di zaman Orde Baru yang dominan adalah eksekutif (executive heavy), kini yang terjadi adalah dominannya kekuasaan legislatif (legislative heavy).

Wajar jika hasilnya adalah tren penurunan fungsi legislasi,berubahnya fungsi kontrol menjadi alat sandra politik, serta kerap terjadi praktik mafia anggaran. Ketiga, sumbatan di bidang penegakan hukum. Persoalan negeri ini yang tidak pernah hilang dari pemberitaan media massa adalah kasus korupsi. Kasus berbagai kasus korupsi seakan mendapat hukuman ringan dari lembaga hukum. Kejahatan tingkat atas (top-hot crime) bernama korupsi menjangkiti semua lembaga negara yakni legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes).

Keempat,sumbatan juga kerap terjadi di kantong-kantong kekuatan warga negara, yakni tergerusnya mental dan etika politik masyarakat. Figur di struktur sosial tradisional seperti agamawan, tokoh masyarakat, dan lain-lain, yang di masa lalu mampu mempertahankan diri sebagai filter politik rendahan untuk penetrasi ke individu- individu kini banyak yang menjadi bagian utuh politik pragmatis para politisi.

Peresensi adalah:

Dirga Maulana
Peneliti di The Political Literacy Institute dan aktif di Forum Studi Media (FSM)  

Tulisan bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/488393/

Related

Books 9046367110412462630

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item