REGENERASI MUNGKINKAH?

 ( Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 5 Juni 2012 ) Jika melihat gegap gempitanya media massa memberitakan namanama yang berpelu...

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 5 Juni 2012)

Jika melihat gegap gempitanya media massa memberitakan namanama yang berpeluang menjadi “petarung” di bursa calon presiden (capres) 2014, rasanya pemilu itu sudah sangat dekat.

Nyaris tiada hari tanpa pemberitaan menyangkut siapa yang paling berpeluang menggantikan SBY. Demikian pula seluruh energi kreatif partai politik kini mengacu pada fokus yang sama, yakni gelaran demokrasi elektoral yang pastinya akan berlangsung sangat kompetitif. Terlepas dari itu semua, muncul pertanyaan yang merepresentasikan kegalauan kelompok kritis, mungkinkah Pemilu 2014 bisa menjadi momentum regenerasi kepemimpinan nasional?

Feodal-Oligarkis

Tren kepemimpinan di dunia mulai mengarah ke sosok pemimpin muda. Ambil saja contoh terdekat Yingluck Shinawarta (PM Thailand) yang berusia 45 tahun, David Cameron (PM Inggris) berusia 46 tahun, Barack Obama (Presiden AS) berusia 51 tahun,dan Julia Elleen Gillard yang juga berusia 51 tahun. Apa yang menjadi tren di dunia rupanya tak berpengaruh di Indonesia.

Sebut saja namanama kuat yang beredar di bursa capres saat ini, ada Aburizal Bakrie (66 tahun),Prabowo Subianto (61 tahun),Ani Yudhoyono (60 tahun), Hatta Rajasa (59 tahun), Jusuf Kala (70 tahun), dan sejumlah nama sepuh lainnya seperti Megawati Soekarnoputri dan Wiranto.Betapa masih kesulitannya kita memosisikan tokoh-tokoh muda baik dari partai politik maupun bukan untuk diusung mengisi kekosongan proses regenerasi kepemimpinan.Jikapun ada,sejumlah nama pemimpin muda masih berada di wilayah pinggiran, belum menjadi mainstream, padahal regenerasi sudah menjadi kebutuhan mendesak.

Mengapa kita mengalami kesulitan dalam proses regenerasi itu? Jawaban utama tentu bisa kita alamatkan pada kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi.Tradisi kepartaian di Indonesia masih dominan dengan tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional. Struktur partai belum menjadi partai modern karena dominannya tiga hal tadi. Ciri feodal lekat dengan kuatnya politik figur dan minimnya upaya mentransformasikan politik figur tersebut pada modernisasi partai politik. Partai bergerak sangat sentralistik dan bergantung pada sosok tertentu di puncak hierarki otoritas partai. Ini dialami oleh Demokrat, PDIP, Golkar, dan lain-lain.

Oligarki terjadi karena distribusi dan alokasi SDM ke jabatan-jabatan publik lebih banyak ditentukan oleh segelintir elite partai sehingga formula yang lazim berlaku adalah dari-oleh-untuk mereka yang menjadi elite partai. Sementara praktik transaksional ditandai dengan proses politik yang high cost karena ditentukan oleh siapa yang bisa memiliki kekuatan hadiah (reward power) berlebih. Artinya, mereka yang punya uanglah yang akan mengendalikan seluruh kebijakan partai.Tradisi ini tentu sudah mapan terpola mereduksi pola-pola regenerasi.

Penulis teringat tulisan Benedict Anderson, Old State, New Society (1983), yang menyatakan bahwa kita (bangsa Indonesia) kini berada pada corak masyarakat baru yang kritis dan menuntut perubahan dibandingkan corak masyarakat di era Orde Baru yang “terkungkung”. Namun di sisi lain wajah kekuasaan negara bersama elite-elitenya masih membawa coraklama.

Bisajadi,corak lama yang masih dominan tadi adalah tradisi feodal, oligarkis, dan transaksional.Corak lama juga banyak kita lihat pada para pemimpin muda, yakni skema politik patron-client yang begitu dominan,sehingga politisi muda yang ada saat ini tidak lebih dari sekadar hasil kloning dari prototipe politisi senior yang menjadi role-modelmereka.

Kriteria Ideal

Presiden Indonesia ke depan idealnya mengacu pada empat kriteria. Pertama, merupakan sosok pemimpin transformatif. Artinya selain memiliki kapabilitas dan kapasitas sebagai pemimpin, dia juga mampu memberi harapan kepada masyarakat untuk mendorong terjadinya perubahan- perubahan sistemik yang bukan semata di level wacana, melainkan juga pada kerja nyata.

Pemimpin transformatif itu tidak bisa lagi kita harapkan dari sosok-sosok kandidat yang sudah mengalami titik jenuh popular vote. Sebut saja nama-nama kandidat yang sudah dua kali kalah dalam pilpres terdahulu. Pemimpin transformatif itu selalu menggerakkan khalayak menuju pemecahan masalah dan memiliki public trust yang sangat tinggi dari masyarakat. Kedua, tidak terbebani dosa-dosa politik masa lalu dan kekinian.Ada beberapa nama kandidat capres yang terkait dengan persoalan hukum seperti dugaan korupsi, pelanggaran yang dilakukan kerajaan bisnisnya, kasus pajak, dan sejumlah persoalan lain.

Ketiga, memiliki performa politik yang memadai, termasuk juga performa ritual, sosial, organisasional, serta performa enkulturasi. Dalam konteks inilah track-record dirinya sebagai politisi sekaligus pemimpin menggambarkan orientasi kepemimpinan menjanjikan di masa depan. Keempat, pemimpin Indonesia ke depan sepatutnya juga merepresentasikan terjadinya proses regenerasi kepemimpinan nasional. Pada momentum 2014 jauh akan lebih baik, jika para pemimpin senior bertransformasi dari aktor menjadi king maker.

Beberapa nama yang belakangan masuk bursa pencapresan ada yang memungkinkan menjadi king maker di 2014, sebut saja Megawati, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie,dan Wiranto. Untuk merealisasi kriteriakriteria tadi, partai politik idealnya menerapkan skema demokratis dalam penetapan capres di partai masing-masing. Misalnya, membuat dan menetapkan indikator-indikator kepemimpinan dan mengujikannya secara terukur pada sejumlah nama kader.Tidak hanya diujikan di lingkup internal, melainkan juga di publik, eksternal.

Mereka yang dalam uji elektabilitasnya rendah seyogianya tahu diri untuk tidak memaksakan kehendak menjadi capres meski dia menjabat ketua umum partai bersangkutan. Cara demokratis lainnya adalah menempuh konvensi partai dengan melibatkan segenap tokoh potensial dari dalam maupun luar partai. Jangan sampai penetapan capres itu tetap dalam skema feodal, oligarkis, dan transaksional karena hal ini akan merusak pemenuhan kriteria-kriteria ideal tadi. Dalam jangka panjang, tentu saja langkah kaderisasi menjadi sangat penting dan menentukan.

Kaderisasi harus berjalan simultan melalui tiga tahap.Tahap merekrut orang untuk masuk ke dalam partai, lantas melakukan pembinaan kader menjadi loyalis sehingga lahir politisi yang profesional, baru kemudian mendistribusikan dan mengalokasikan SDM terbaik partai ke jabatan-jabatan publik seperti cepres dan cawapres. Tentu kita sangat berharap Pemilu 2014 menjadi salah satu entry mengatasi kompleksitas persoalan di negeri ini.Jika kita gagal melakukan regenerasi,kita akan terus berada dalam lorong hitam demokrasi prosedural yang tidak mencerahkan!.

Tulisan diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/500629/

Related

Opinion 4676120169248955358

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item