Memahami Motif Pencalegan

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si (Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 6/5/2013) Pola distribusi dan alokasi orang un...

 

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 6/5/2013)

Pola distribusi dan alokasi orang untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) diIndonesia belum berubah. Pendekatan rekrutmen berbasis struktur sosialtradisional masih dominan dibanding mekanisme keorganisasian modern. Partaimirip “mobil omprengan” yang secara acak mengangkut banyak orang untuk majunyaleg di pemilu 2014. Kita masih mendapati jalur kekerabatan, politik patron-client dan modus transaksional dominan mewarnai manuver partai dalam penetapan daftar caleg.

Tipologi Caleg  
Jika dibuat tipologi mereka yang mencalegan diri di DPR maupun DPRD paling tidak kita bisa menemukan lima kelompok caleg berdasarkan motif keikutsertaannya. Pertama, mereka yang mencari prestisedari jabatan sebagai wakil rakyat. Tak dimungkiri, meski citra DPR buruk,tetapi masih dianggap jabatan membanggakan bagi sebagai kalangan yang inginmeneguhkan identitas sosialnya. Label sebagai anggota dewan dianggap sebagaieksistensi sosial yang menunjukkan integrasi vertikal dirinya ke kelompok elitedalam struktur masyarakat foedal. Jenis caleg ini, kalau lolos menjadi anggotaDPR atau DPRD akan sangat menikmati segala hal yang sifatnya simbolik berlabelanggota dewan. Dengan demikian, motif mereka sesungguhnya adalah eksternalisasidiri. Sebagian besar kelompok artis yang rame-rame mencalegkan diri, bermotifini. Meskipun caleg berlatarbelakang profesi lain juga banyak bermotif sama.

Kedua,  caleg yang mencari perlindungan. Mereka yang masuk kategori ini biasanya adalah sejumlah orangyang sedang bermasalah dalam konteks hukum. Dengan merapat ke partai politik terlebih jika lolos menjadi anggota dewan, mereka berharap memiliki jejaring sekaligus ‘bunker’ untuk kasus-kasus yang mereka hadapi. Kelompok ini, bukanhanya diisi oleh caleg bermasalah secara hukum, melainkan juga diisi olehmantan pejabat, birokrat, purnawirawan TNI maupun Polri yang sudah turun darijabatannya, dan punya potensi masalah saat mereka memanfaatkan jabatan di masalalunya.

Ketiga,para pencari kerja dan petualang politik. Kita bisa identifikasi kelompok inidari latarbelakang profesi sebelumnya yang tidak jelas. Jabatan sebagai anggotadewan menjadi “lahan” potensial bagi mereka untuk menghidupi diri, keluarga dankelompoknya. Tentu, bukan semata dari gajinya sebagai anggota DPR yang tidakseberapa melainkan karena kuasa jabatannya yang bisa dikapitalisasi. Motif pencalegan bukan untuk dedikasi diri sebagai wakil rakyat, tetapi investasidengan logika M-C-M (money-commodity-moremoney). Jabatan sebagai anggota DPR diposisikan sebagai komoditi. Saatmereka berinvestasi tentu harus menguntungkan di masa mendatang. Inilah cikalbakal praktik korupsi politik dengan beragam modus dan implementasinya.

Keempat,proteksi dan ekspansi bisnis. Biasanya kelompok ini diisi oleh sejumlah pengusaha yang masih mengandalkan sandaran kekuasaan politik seabagai motorpenggerak bisnisnya. Mereka mencari kekuatan politik untuk memproteksi bisnisnya sekaligus juga memiliki akses atas sejumlah regulasi dan kebijakanpublik lainnya yang berpotensi menguntungkan bisnis mereka. Tak mengherankanjika kita temukan sebaran pengusaha di sejumlah partai dan pencalegan 2014.

Kelima,motif perjuangan untuk pelayanan. Meskipun minoritas, kita juga masih bisa menemukan sejumlah orang yang mencalegkan diri karena landasan ideologi dan nilai-nilai politik yang dianut. Biasanya, politisi ideolog ini bukan karbitan. Mereka mengikuti penjenjangan dan secara bertahap bertransformasi menjadi politisiprofesional. Mencalegkan diri dimaknai sebagai jalan perjuangan politik untukmengartikulasikan nilai dan orientasi politik yang dimilikinya.

Dinastidan Patron
Hal lain yang patut dikritisi dalam skema pancalegan di Indonesia adalah politik dinasti dan patron-client. Politik dinasti menunjukkan preseden buruk bagi regenerasikepemimpinan. Hal ini, menciptakan sistem feodaldan membentuk hirarki kekuasaan berbasis kekuatan figur. Dampaknya, integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya. Warga terpaksa masuk kedalam pilihan politik yang sangat terbatas karena akses dikendalikan sedikit elit yangmembentuk sistem protektif dari-oleh-untuk keluarga. Namun demikian, politik dinasti tidak seluruhnya salah. Terlebih jika keluarga yang mencalegkan diriatau mewarisi referent power dari keluarga tersebut memiliki kapasitas, profesionalitas dan historisitas memadaisebagai politisi.

Sesungguhnya, praktik dinasti politik dalam kekuasaan, merupakan realitas yang kerap kita temukantak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahandunia lain melintasi budaya, sistem maupun wilayah politik. DiIndia misalnya ada dinasti Gandhi yang diawali Jawaharlal Nehru (1889-1964)dilanjutkan Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri perempuan pertama diIndia. Dinasti Gandhi dilanjutkan putra Indira, Rajiv Gandhi (1944-1991)setelah itu estapet dinasti politik dilanjutkan putra Rajiv, Rahul Gandhi.

Di Pakistan kitamengenal dinasti Bhutto yang dimulai Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) dandilanjutkan Benazir Bhutto (1953-2007) yang mencatat sejarah sebagai perdanamenteri perempuan pertama di Pakistan. Di Filipina, kita mengenal Cory Aquinoperempuan presiden pertama yang memerintah Filipina 1986-1992 setelah suaminya,Benigno Aquino, dibunuh rezim Presiden Ferdinand Marcos. Masih di Filipina,kita juga mengenal Gloria Macapagal-Arroyo putri Presiden Diosdago Macapagal(1961-1965). Di Singapura, kita mengenal Dinasti Lee, mulai dari Lee Kuan Yewhingga kini Lee Hsien Loong. Di Myanmar, tokoh demokrasi Aung San Suu Kyimerupakan putri dari pejuang nasional Jenderal Aung San (1915-1947). Di Suriah,Presiden Bashar al-Assad meneruskan Presiden Hafez al-Assad (1930-2000). DiArgentina, Cristina Kirchner mantan istri Presiden Nestor Kirchner menjadipresiden. Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il (1966), putra Kim Il Sung(1912-1994). Di Indonesia sendiri kita mengenal dinasti Soekarno dalamkepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Politik dinasti dengan demikian tak mungkin diamputasi, karena hasrat untuk berpartisipasi dalam politik melekat pada individu-individu. Seorang anak ataukerabat elitepartai yang memilikikapasitas dan kapabilitas sebagai caleg tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat politiknya. Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan kitadalam pencalegan yang marak sekarangini, lebih disebabkan banyaknya keluarga inti dan kerabat yang menjadi caleg karbitan! Mereka tak memiliki historis sebagai politisi danpengelolaan urusan publik, tiba-tiba menjadicaleg. Dampaknya,proses injeksi publisitas danpolitik uang menjadi dominan guna memenangkan keluarga yang diusung. Diinternal partai pun kerapkali menjadi masalah serius, karena proses pencaleganyang memprioritaskan keluarga menerabas sistem pelembagaan politik. Mekanismedistribusi dan alokasi kader ke jabatan publik seperti DPR, diambil melaluikeputusan oligarkis. Figur utama mensubordinasikan sistem partai pada dirinya,sehingga partai tak pernah sukses bertransformasi menjadi partai modern.

Sementara skema patron-client biasanya lahir dari tradisi senior-junior, tuan danhamba sahaya, serta sponsor dan yang disponsori. Bukan rahasia, jika banyakcaleg pemilu 2014 yang sesungguhnya disponsori oleh patron mereka di partaiatau di DPR saat ini. Modus kedekatan organisasi kemahasiswaan, ormas,primordialisme dominan dalam pencalegan patron-clientini. Jika ditelisik lebih seksama, ada perbedaan antara modus patron-client dengan kaderisasi. Caleg patron-client, seringkali menempuh jalursuper singkat sebelum didistribusikan. Hubungannya lebih personal dengan eliteutama partai dibanding pertimbangan profesional organisasi.
Dalam jangka panjang,pola patron-client akan merusak kaderisasikarena pertimbangan pancalegan bukan atas pertimbangan performa ritual,organisasional, politis, enkulturasi dan koherensi karakterologis, melainkan karena suka dan tidak sukanya patron. Dengan memahami motif yang dimiliki paracaleg, seyogianya pemilih waspada dalam menentukan pilihan, karena suarapemilih akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. ***

Sumber gambar: www.google.com

Related

Opinion 4277789726398451250

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item