Ruang Publik dan Eksistensi Pemerintahan SBY

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 11/7/2013) Akhir-akhir ini, SBY kian rajin men...




Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 11/7/2013)

Akhir-akhir ini, SBY kian rajin menebar jejaring di dunia virtual. Setelah Twitter, kini SBY juga mulai menggunakan Facebook, YouTube dan beraktivitas menggunakan fasilitas Google Hangout. Data terakhir, Selasa (9/13), akun Twitter @SBYudhoyono sudah memiliki 2,7 juta followers. Pentingkah SBY bermedia sosial?
 
Terlepas dari apapun motif SBY untuk membuka diri di media sosial, langkahnya tetap patut diapresiasi. Selama ini, mapan terpola citra SBY yang elitis dan berjarak dari rakyat. Sepertinya, melalui jejaring sosial ini SBY ingin sedikit menggeser kesan publik yang elitis tadi menjadi populis. Meskipun, dari sudut kepentingan lebih besar yakni reputasi kepemimpinan dan eksistensi pemerintahan SBY tak akan mengubah banyak hal. Bahkan, penggunaan media sosial sebagai saluran komunikasi politik sangat terlambat dimanfaatkan SBY.
  
Pemanfaatan media sosial ini memang menjadi keniscayaan dalam praktik komunikasi politik modern. Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication (2009) menyebut saat ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.

Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal. Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media arus utama (mainstream) seperti tv, koran, radio, majalah dan lain-lain. Sementara generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Inilah yang disebut era media baru.

Dalam beragam situasi, para netizen tidak hanya berbagi pesan, tetapi juga menjadikan internet sebagai ruang publik baru (new public sphere). Terlebih,  setelah terjadinya tren web 2.0 yang memperbaharui kelemahan-kelemahan web 1.0 dalam konteks distribusi pesan secara lebih interaktif.

Dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), Graphical Worlds dll, telah mengubah komunikasi statis menjadi lebih dinamis. Di Indonesia sendiri, menurut data internetworldstats.com pada 30 Juni 2012 pengguna internet sudah mencapai angka 55 juta. Artinya pengguna internet yang oleh akademisi dari Columbia University Michael Hauben disebut sebagai warga internet (a net citizen), sudah bisa digunakan sebagai komunitas-komunitas potensial bukan hanya di ranah bisnis melainkan juga politik. Misalnya komunitas virtual bisa menjadi pengontrol atau kekuatan penekan (pressure group).

Contoh kongkrit gerakan #SAVEKPK di Twitter, Koin untuk Prita dan Gerakan Cicak vs Buaya di Facebook. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan, jika dikelola secara baik dan memiliki interaksi yang intensif, komunitas virtual bisa mendukung dan menggerakan orang di dunia nyata. Fenomena inilah, yang jika meminjam istilah Ernest Bormann (1985), disebut sebagai konvergensi simbolik dimana orang berinteraksi dan berbagi kesadaran bersama melalui cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.

Kalau diidentifikasi dalam perspektif komunikasi politik, netizen itu terbagi menjadi empat tipologi. Pertama, disseminator biasanya  menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan tujuan agar  ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain. Kedua, publicist biasanya mengkonstruksi citra positif untuk tujuan popularitas dalam kontestasi politik misalnya pemasaran politik melalui media sosial. Ketiga, propagandist yang senantiasa mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat, hactivist yang aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situs maupun informasi berbasis internet lainnya. Ada yang meretas dan membobol untuk tujuan kejahatan, mencari sensasi, tujuan intelejen dan juga sebagai ekspresi protes para aktivis cyberdemocracy seperti dilakukan wikileaks.

Mampukah SBY menjadikan media sosialnya sebagai alat komunikasi dengan warga? Sangat tergantung pada peran SBY sendiri sebagai Netizen. Jika tetap dengan gayanya yang formal, linear, subordinatif tentu SBY akan gagal menjadikan media sosial sebagai saluran komunikasi efektif. SBY harus benar-benar menyadari, media sosial itu fleksibel, antar netizen sederajat dan tidak berbatas (borderless).

Hal lain yang menjadi kunci utama media sosial adalah interaktivitas di antara netizen. Kegagalan memahami karakteristik tersebut, menyebabkan media sosial milik SBY lebih bercitarasa media konvensional yang membosankan! Saat ini, merupakan fase akhir jabatan SBY sebagai presiden, sehingga sangat penting bagi SBY membuat semacam pra kondisi yang memungkinkan dia untuk siap kembali menjadi warga biasa (lagi). Media jejaring sosial bisa dimanfaatkan SBY untuk menyingkap sisi lain dirinya di tengah gersangnya gaya kepemimpinan dia selama ini. Syukur-syukur kalau SBY bisa beradaptasi dan menjadikan media sosial sebagai ruang publik baru yang bermanfaat. ***  

Sumber gambar : www.google.com

Related

Opinion 8482237556620742251

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item