Memetakan Sosok Capres 2014

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 16/09/2013 ) Jalan panjang menuju ...


Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 16/09/2013)

Jalan panjang menuju Pemilu 2014 semakin memasuki fase-fase menentukan. Selain sibuk memanaskan mesin partai dari pusat hingga daerah, para politisi juga sibuk tebar pesona ke basis-basis pemilih untuk memperbesar peluang kemenangan di pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Hal menarik yang menjadi sorotan publik belakangan ini adalah pemetaan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Bagian ini, menonjol dalam perbincangan publik termasuk pada bingkai pemberitaan media massa. Terlebih, kini SBY tak lagi bisa menjadi “petarung” untuk jabatan RI-1 dan memungkinkan partai-partai lain untuk melakukan penjajakan serta bongkar pasang nama ideal versi mereka.


Tipologi Capres


Saat ini, sejumlah nama digadang-gadang sebagai bakal calon presiden. Sebut saja nama Jokowi, Prabowo, Hatta Radjasa, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Wiranto, Mahfud MD, Megawati, deretan nama di “etalase” konvensi Demokrat dan sejumlah nama lain. Sebagian di antara mereka sudah mendeklarasikan diri, sebagian lain sibuk melakukan loby dan negosiasi.


Jika diamati dari dimensi prosesnya, bisa terpetakan empat tipologi sosok capres yang berpotensi maju di 2014. Pertama, capres elite sentral, yakni mereka yang sedari awal seolah-olah mendapat “hak khusus” secara organisasional untuk menjadi capres partainya masing-masing. Contoh figur yang masuk tipologi ini adalah Aburizal Bakrie (ARB), Hatta Radjasa, Prabowo Subianto, Wiranto dan Megawati Soekarnoputri. Saat ini, mereka mengendalikan struktur utama partai dari pusat hingga daerah. Penguasaan mereka atas akses otoritatif di internal partai, mengharuskan elite-elite lain memberi legitimasi pada keinginan dan keputusan elite sentral ini. Bisa jadi sebagian di antara mereka tak sepenuhnya merepresentasikan aspirasi arus bawah, tetapi memelihara batasan afiliatif melalui kuasa hadiah (reward power) atau kuasa rujukan (referent power).


Batasan afiliatif berarti bawa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil resiko ditolak. Pengaruh dominan Megawati di PDIP, Prabowo di Gerindra, Wiranto di Hanura dan ARB di Golkar menyebabkan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh mereka. Pencapresan mereka nyaris tanpa kompetitor. Jika pun ada orang atau kelompok yang berkeinginan berkompetisi dengan mereka di internal, biasanya distigmatisasikan sebagai penyimpang dan penyebab konflik internal.


Namun demikian, sangat mungkin dari deretan nama elite sentral tadi, tidak seluruhnya jadi nyapres di 2014. Misalnya, Megawati masih sangat mungkin mengubah peran dari aktor menjadi kingmaker dengan mendorong Jokowi sebagai Capres. Pun demikian dengan Hatta Radjasa dan ARB, bisa saja pascapemilu legislatif mereka berhitung cermat dan mengambil opsi lain entah sebagai calon RI-2 atau ‘investor politik’ yang berafiliasi dengan kekuatan lain guna mendorong sosok lain yang lebih berpotensi mendulang kemenangan.


Kedua, capres asosiasional, yakni figur yang lahir dari suatu mekanisme organisasional dan biasanya akan sangat terhubung erat dengan mekanisme pencapresan yang diselenggarakan partai pengusung. Misalnya capres hasil konvensi. Pemilihan capres ditentukan melalui sebuah kanal pencarian yang diinisiasi oleh partai sehingga sosok capres yang bersangkutan lebih bersifat terseleksi, bertujuan khusus dan asosiatif. Praktik konvensi yang sudah melembaga dalam aturan organisasi akan memiliki daya ikat yang kuat bagi orang-orang di struktur organisasi maupun basis konstituen partai. Jika konteksnya pemilihan dilakukan melalui konvensi, maka siapapun capres Demokrat tentunya masuk tipe ini.


Hanya masalahnya, apakah konvensi Demokrat memiliki daya ikat yang kuat? Tentu, akan sangat ditentukan oleh kualitas konvensi mereka saat ini. Sebagaimana kita ketahui, konvensi Demokrat yang selenggarakan kurang lebih 8 bulan itu, terkesan hanya menjadi etalase citra politik Demokrat daripada kanalisasi SDM terbaik partai. Di lihat konteks politiknya,  konvensi Demokrat tak berbeda dengan Golkar di tahun 2004, yakni penyelamatan partai dari masalah elektabilitas, popularitas, kesukaan dan penerimaan pemilih. Demokrat masih belum mengurusi konvensi dalam sebuah aturan main yang menjamin regularitas penyelenggaraan mekanisme ini. Konvensi baru semata “exit strategy” jelang Pemilu 2014. Selain itu, muncul skeptisme banyak kalangan terhadap cara, transparansi anggaran, dan penerimaan basis struktur partai terhadap siapapun pemenang konvensi. Wajar jika aroma konvensi Demokrat kurang menggairahkan banyak kalangan meski dikemas dengan jor-joran!


Ketiga, capres figur kontesktual. Maksudnya adalah capres potensial yang memiliki dayatarik karena kerapkali bersentuhan dengan berbagai dinamika kekinian. Rekam jejak mereka menjadi arus utama pusaran opini baik di media massa maupun sosial media. Figur seperti Jokowi, Mahfud MD, Jusuf Kalla bisa kita masukan ke dalam tipe ini. Mereka bukan figur sentral dalam jajaran partai tetapi kiprahnya masih memiliki dayatarik elektoral, sehingga sangat mungkin dipertimbangkan oleh banyak kekuatan politik yang bertarung di 2014. Masalahnya adalah belum tentu semua figur kontekstual ini mendapatkan “kendaraan” yang pas dan bisa menghantarkan mereka pada rivalitas RI-1. Meskipun rata-rata mereka adalah politisi partai, tetapi bukan pembuat kebijakan (decision maker) sehingga harus meyakinkan figur sentral di partai masing-masing untuk mendapatkan kendaraan.


Keempat, capres periferal yakni sosok pinggiran yang “jeblok” dalam perangkingan persepsi publik, tidak memiliki basis kekuatan nyata di partai politik, bukan pula orang yang memiliki basis solid di kantung-kantung pemilih. Namun demikian, mereka sangat percaya diri dan sejak awal memproklamirkan diri siap menuju RI-1. Contoh tipe ini sebut saja Rhoma Irama, Farhat Abbas dan akan banyak lagi orang yang pede nyapres meski hanya “penggembira” di sekeliling panggung utama persaingan.


Kekuatan Pemenang


Dalam tulisan R.A Dahl, Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Tentu, pemilu sebagai instrumen penting demokrasi idealnya bukan semata-mata menunjukkan wajah pongah kontestasi politik elite melainkan harus memberi impresi dan mampu menggerakan partisipasi politik warga biasa. 


Sebelum pencapresan, sebaiknya kita membaca dinamika pemilu legislatif yang menyokong capres dan cawapres. Butuh konsistensi dan persistensi partai untuk mempertahankan eksistensi mereka di Pemilu sekalipun partai bersangkutan memenangi Pemilu sebelumnya. Sebagai gambaran, pada Pemilu 1999 Golkar meraih 22,4 persen, pemilu 2004 turun menjadi 21,58 persen dan Pemilu 2009 hanya 14,45 persen. Begitupun yang dialami PDIP yang menjadi petahana seusai memenangi Pemilu 1999 dengan mengantongi 33,74 persen. Di Pemilu 2004, suara PDIP turun menjadi 18,53 persen dan di Pemilu 2009 hanya 14,03 persen. Artinya, menjadi petahana bukanlah jaminan mudahnya memenangi kontestasi. Demokrat juga berpotensi kalah telak di Pemilu 2014.

Pertarungan capres memang sedikit berbeda karena biasanya aspek figur sangat menentukan. Misalnya dalam kasus Demokrat di Pemilu 2004, meski partainya hanya memperoleh suara 7,45 persen atau 57 kursi dari 550 kursi yang disediakan di ‘Senayan’, SBY ternyata terpilih sebagai capres pemenang Pemilu. Rivalitas 2014 diprediksi akan menjadi arena pertarungan sengit, karena setiap capres memiliki peluang sama untuk mengkapitalisasi sumberdaya mereka di tengah ketiadaan figur yang benar-benar kuat seperti SBY di Pemilu 2009.


 Memang ada tren pergeseran persepsi publik tentang sosok calon pemimpin ke depan. Jika kemenangan SBY di 2004 dan 2009 lebih dikarenakan suksesnya pencitraan politik melalui berbagai simulasi realitas, kini calon pemimpin yang diharapkan adalah problem solver dan pengambil resiko yang diharapkan menjadi antitesa dari gaya kepemimpinan SBY yang nyaris tak menghasilkan banyak perubahan.

Situasi sekarang secara faktual melahirkan disonansi kognitif yang kian meluas di masyarakat. Leon Festinger dalam buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonance (1957) menyebutkan disonansi kognitif sebagai perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang tidak konsisten. Kian hari harapan untuk perubahan kian menipis sebaliknya tingkat disonansi (magnitude of dissonance) meningkat pesat, kondisi ini memunculkan harapan adanya sosok baru pembawa perubahan bagi bangsa ini. Bukan lagi sosok pesolek yang hanya pandai berwacana dan bersenandung perubahan tanpa rekam jejak memadai untuk menjadi pemimpin asketis, transformatif dan komunitarian.


Pada akhirnya, kita berharap siapapun yang akan maju ke gelanggang pertarungan 2014, adalah mereka yang pandai mengukur diri. Pantaskah mereka maju dengan modal sosial dan modal politik yang mereka miliki selama ini?  Jangan hanya semata-mata karena “syahwat” berkuasa dan egoisme pribadi mereka lari tungganglanggang ke medan perang, meski rasionalitas dan hati mereka mengatakan rakyat sama sekali sudah enggan bahkan muak berpaling kepadanya apalagi memilihnya di bilik suara! ***

Related

Opinion 7721979093101838321

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item