Kisruh DPT dan Ruang Gelap Penyelenggaraan Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 24 September 2013) Pemilihan umum (pemilu) meru...


 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 24 September 2013)

Pemilihan umum (pemilu) merupakan peristiwa reguler yang digelar lima tahunan. Selalu muncul rivalitas antar kekuatan yang bersumber dari upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan yang sah (legitimate power). R.A Dahl, dalam bukunya Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.  Partisipasi juga penting untuk mengukur legitimasi dan political performance kekuasaan yang dimandatkan lima tahunan.

Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di banyak pemilihan kepada daerah. Trauma itu bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu.


Publik wajar terhenyak untuk kesekian kalinya, saat Ketua KPU Husni Kamil Malik, Jum’at (20/09) menyebutkan temuan KPU tentang adanya kesalahan data pemilih yang masif. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung 65 juta data! Data pemilih bermasalah tersebut ditemukan saat jajaran KPU melakukan sinkronisasi daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) Kementrian Dalam Negeri (kemendagri) yang berjumlah 190 juta data dengan daftar pemilih sementara hasil perbaikan KPU yang berjumlah 181 juta data.


Bisa digarisbawahi, jika diibaratkan tubuh maka daftar pemilih inilah yang menjadi motorik yang akan menggerakan seluruh aktivitas pemilu kita. Jika motoriknya tak berfungsi baik atau bahkan lumpuh maka kita mendapatkan pemilu yang cacat tak berdaya. Betapa signifikannya daftar pemilih untuk menjamin penyelenggaraan pemilu yang sehat dan berwibawa.


Kisruh daftar pemilih memang seolah “penyakit menahun” yang diwariskan dari pemilu ke pemilu. Sejak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi kita kerap berkutat di persoalan yang itu-itu saja. Bedanya, kini kekisruhan itu mampu membuat gaduh publik karena semakin bebasnya akses masyarakat pada informasi serta kian menguatnya fungsi kontrol media dan kekuatan civil society. Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.


Jika kita setuju mengatakan: tidak! pada kecurangan pemilu, maka mulailah kita menuntut pertanggungjawaban KPU dan pemerintah untuk segera mengatasi masalah elementer ini. Seharusnya koordinasi KPU dan Kemendagri terkait daftar pemilih ini sudah optimal jauh-jauh hari. Terlebih, rakyat sudah menggelontorkan dana begitu besar untuk proyek prestisius bernama e-KTP yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang.


Dalam perspektif komunikasi politik, harus disadari salah satu titik panas penyelenggaraan pemilu adalah mentahnya information roles yang dimainkan KPU. Guna mengatasinya, komisioner dan seluruh staf KPU  wajib independen, profesional dan bermartabat. Peranan ini sangat penting dimiliki KPU guna menghindari lemahnya kredibilitas penyelenggara pemilu. KPU memerankan diri sebagai institusi yang terjun menangani masalah (distrub handler). Dalam tugasnya ini, KPU harus memiliki legitimasi memadai. Selain itu, KPU juga harus piawai memainkan peran resource allocator. Seluruh potensi baik internal maupun ekternal KPU diarahkan untuk ditempati oleh sumber daya manusia yang tepat dan memiliki kemampuan mengurai persoalan.


Sudah saatnya masalah daftar pemilih itu diurai dan diselsaikan. Publik juga harus memberi tekanan karena pemilu 2014 yang sudah di depan mata bukan pemilu biasa. Pemilu kali ini bisa dikatakan sebagai pertaruhan transformasi demokrasi kita dari fase transisi ke konsolidasi. Momentum ini jangan lagi dibajak oleh penguasa ruang kegelapan yang bersembunyi di balik kekisruhan DPT. Kita tentu bukan bangsa keledai yang jatuh dan jatuh lagi untuk kesekian kalinya pada lubang yang sama. Pemilu bukan instrumen manipulasi tetapi mekanisme demokratis untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini ke depan.***

Sumber gambar : www.google.com

Related

Opinion 7163919103338364559

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item