Penyadapan dan Perang Asimetris

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 21 November 2013 ) SBY dan sejumlah peja...

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 21 November 2013)


SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia. Sebenarnya  penyadapan bukan hal aneh dalam dunia intelijen, tetapi apa yang dilakukan Australia sudah melampaui kepatutan dalam hubungan diplomatik antar negara. Ironis memang, karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya memiliki banyak persinggungan kepentingan. Langkah SBY menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia menjadi pesan kuat memanasnya hubungan kedua negara.

Perang Informasi

Pidato SBY, Selasa (20/11), merupakan respon aktual dan bisa dibaca dalam konteks merespon sikap pemerintahan Tony Abbot yang tidak mau meminta maaf atas tindakan penyadapan tersebut. Ada tiga butir penting dalam pidato SBY. Pertama, meminta penjelasan dan sikap resmi pemerintah Australia terhadap upaya penyadapan itu. SBY meluncurkan surat resmi dan setelah ada penjelasan serta sikap resmi Australia pemerintah RI akan mengambil sikap resmi berikutnya.

Kedua, presiden RI meminta jajarannya untuk melakukan review  terhadap sejumlah kerjasama dengan Australia, di antaranya kerjasama dalam bidang pertukaran informasi, latihan militer bersama, coordinated military operation, terorisme, dan lain-lain.

Ketiga, presiden RI mendesak penegasan protokol kerjasama antar kedua negara ke depan. Harus ada code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak muncul standar ganda di kemudian hari.


Sebenarnya jika kita melihat substansi yang disampaikan SBY, sudah memadai sebagai pernyataan terukur dalam konteks diplomatik. Hanya saja, tidak cukup pidato yang sifatnya membangun kesadaran diskursif. Indonesia butuh ketegasan di level kesadaran praktis. Artinya, harus ada tindak lanjut kongkrit atas pidato tersebut yang menunjukkan pemerintahan Indonesia memiliki martabat sebagai mitra sejajar Australia.

SBY dalam pidatonya mengaku heran kenapa Australia menyadap Indonesia padahal Indonesia dan Australia tidak berposisi sebagai lawan sehingga tidak perlu diawasi gerak-geriknya. Dalam konteks komunikasi politik apa yang dilakukan Australia terhadap Indonesia harus dipahami dalam konteks perang asimetris! Tak ada kawan dan lawan yang luput dari perang informasi.

Laporan yang dipublikasikan harian Australia, Sydney Morning Herald  (SMH), Kamis (31/10) menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga  melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelejen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak, bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Persekutuan formal antar negara dalam beragam kepentingan mereka, tak menjamin negara tersebut luput dari pengintaian dan penyadapan sekutunya.

Modern ini, perang informasi nyata adanya. Relasi kuasa antar negara serta antar blok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Peta geopolitik dunia bisa dengan mudah berubah. Tak jelas benar siapa lawan dan kawan karena peperangan yang diciptakan juga tak berwajah, tak berbatas waktu, dan tak berpasukan yang mudah diidentifikasi. Perang digital yang penetratif hingga ke kantung-kantung kuasa lintas negara.

Media konvensional  dan media baru seperti internet menjadi alat pengendalian dalam perangkingan isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi” yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.

Dalam laporan SMH tadi diungkapkan, AS bukanlah aktor tunggal dalam prosesi penyadapan informasi khas spionase ini. Muncul istilah “Five Eyes”/FVEY. Ini merupakan sebutan popular jaringan kerjasama intelejen AS bersama-sama Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Kelima negara tersebut hampir memiliki pola yang sama yakni membuat jangkar intelijen mereka pada 6 garapan utama yakni: intelijen sinyal (Sigint); national assessment, intelijen pertahanan, intelijen keamanan, intelijen manusia, serta pusat-pusat kontra terorisme. AS sendiri misalnya punya yang namanya National Security Agency, Central Intelligance Agency (CIA), Defense Intelligence Agency (DIA), National Counter Terrorism Center (NCTC). Beragam unit-unit khusus juga melekat dalam  perangkat kerja badan-badan intelijen tersebut. Dalam praktiknya mereka  kerap berkongsi dengan sesama anggota “Five Eyes” tadi.

Bicara dalam konteks makro, skandal penyadapan oleh Amerika dan Australia seperti terjadi akhir-akhir ini merupakan puncak “kesewenang-wenangan” dalam hubungan diplomasi antar negara berkeadaban. Sebetulnya informasi tentang penyadapan berlebihan ini pun sudah sempat mencuat saat Julian Assange dan Wikileaks meretas kawat diplomatik  AS di berbagai belahan dunia dan mempublikasikannya beberapa waktu lalu.


Metode Perang

 Dalam perspektif komunikasi politik perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui empat metode. Pertama, metode pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Tak dinafikam, praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses menonjolkan isu pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga mempengaruhi persepsi personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan. Sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolah-olah “kepribadian” masing-masing media. Fenomena inilah yang oleh C. Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.

Kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang. Sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. 60 hingga 70 persen berita media di seantero dunia bersumber dari AP (Associted Press), UPI (United Press International), Reuter, dan AFP (Agency France Press). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuter milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Perancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda.

Ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games. Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan. Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm. Kita bisa menyaksikan begitu banyak proganda barat dilancarkan melalui berbagai film Hollywood dari berbagai genre film.

Keempat melalui cyberwar. Fenomena seperti ini, dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks. yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo,  rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelejen tentang konflik di Afghanistan.

Dalam konteks perang informasi, hactivist ini telah digunakan oleh banyak kalangan termasuk intelijen berbagai negara. Ada lima tipologi hactivist yakni yang meretas sekedar mencari kepuasan (thrill seeker), kelompok kejahatan (organized crime) misalnya membobol ATM, kartu kredit, akun bank orang lain, kelompok teroris (terrorist group), intelligence biasanya untuk kebutuhan keamanan dan spionase, tipe terakhir adalah aktivis yang bergerak melalui dunia cyber (cyberdemocracy activist). Semua peretas yang disebutkan tadi, saat ini nyata adanya membentuk jejaring tak hanya dalam skala nasional tetapi juga internasional.

Tindakan Australia dan Amerika dengan penyadapan yang menghebohkan seperti sekarang ini, sesungguhnya sudah masuk kategori perang asimetris. Praktik pengawasan komunikasi elektoronika secara berlebihan ini menjadi ironi dalam demokrasi. Berbagai negara yang terkuak menjadi objek penyadapan AS dan Five Eyes”/FVEY, harusnya bukan semata marah dalam wacana dan retorika, tetapi sudah sepantasnya menggugat keras negara-negara penyadap atas kesewenang-wenangan dalam perang asimetris mereka. Ke depan, untuk mengatur tata informasi baru lintas negara harusnya juga didorong code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi seperti diinginkan SBY dalam pidatonya itu. ***

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item