Menolak Kampanye Hitam

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipubikasikan di Harian Suara Pembaruan, Kamis 6 Juni 2014) Pertarungan opini jelan...

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipubikasikan di Harian Suara Pembaruan, Kamis 6 Juni 2014)

Pertarungan opini jelang pemilu presiden 9 Juli kian tak terkendali. Di tengah baragam strategi persuasi yang dijalankan kedua pasangan kandidat, muncul kampanye jahat dan menyesatkan yang dilakukan oleh beragam kelompok. Masyarakat kerap menyebut dan mengidentifikasi strategi ini sebagai kampanye hitam. Hampir setiap saat kita menjumpai kampanye hitam ini beredar di media sosial, lewat smartphone, bahkan tak jarang menyeruak lewat media arus utama seperti di media cetak maupun elektronika. 

Kampanye Menyerang

Jika kita cermati, baik pasangan Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, sudah terkena kampanye yang merugikan mereka. Jokowi misalnya diserang dengan isu hitam etnis orang tuanya, agama yang dianutnya, rumor  soal para pengusaha di belakangnya, dukungan Amerika dan lain-lain. Sementara Prabowo diserang dengan isu seputar keluarga, keterlibatan dengan kasus HAM,dan perusahaan yang dimilikinya. Apakah seluruh kampanye menyerang itu kampanyehitam? 

Dalam perspektif komunikasi politik, ada kampanye positif (positive campaign) dan kampanye menyerang (attacking campaign). Kampanye positif fokusnya pada upaya memengaruhi pemilih dengan mengaitkan persepsi dan emosi khalayak pada hal-hal positif yang terhubung dengan kandidat. Tujuannya, tentu untuk menaikan tingkat popularitas, keterpilihan, kesukaan dan penerimaanpemilih. 

Menurut Michael dan Roxanne Parrot dalam bukunya Persuasive Communication Campaign (1993), kampanye didefinisikan sebagai proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Hal senada juga dikemukakan oleh Roger dan Storey dalam Communication Campaign (1987) yang juga mendefiniskan kampanye sebagai serangkaian tindakan komunikasi terencana yang bertujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu.

Dengan demikian, inti kegiatan kampanye tentu saja adalah persuasi. Berbagai hal biasanya dilakukan oleh para kandidat mulai dari iklan di media lini atas (above the line media), media lini bawah (below the line media), hingga loby dan negosiasi yang langsung penetratif ke simpul-simpul pemilih. Kampanye yang baik, tentu saja adalah kampanye berkonsep dan tepat pada target yang dibidik. Kampanye modern yang positif tersebut lebih banyak menyosialisasikan sekaligus membuka ruang pertarungan gagasan dan program.

Kampanye menyerang, merupakan varian strategi yag fokus untuk melemahkan lawan. Ada dua jenis kampanye menyerang yang sangat biasa digunakan yakni kampanye negatif dan kampaye hitam. Kampanye negatif menyerang pihak lain dengan data atau fakta yang bisa diverifikasi. Artinya, seluruh data atau fakta yang diangkat ke permukaan untuk mendelegitimasi lawan, memungkinkan untuk diperdebatkan, dikritisi, dikoreksi bahkan dipersoalkan di wilayah hukum. Misalnya serangan terhadap program dan capaian Jokowi selama menjadi Walikota Solo ataupun Gubernur DKI. Pun demikian, serangan terhadap fakta-fakta rekam jejak Prabowo selama menjalani karirnya sebagai militer.

Sementara kampanye hitam menyerang pihak lain dengan gosip atau rumor yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Sumber penyebar pesan kampanye tidak jelas, samar bahkan seringkali secara sengaja bergerak dalam operasi gelap dan tak tersentuh proses dialektika. Ada empat teknik kampanye hitam yang sering dipakai dalam perang opini di masyarakat. Pertama, teknik name calling artiya pemberian label buruk pada lawan. Misalnya melabeli Jokowi sebagai capres boneka atau melabeli Prabowo sebagai  pelanggar HAM. Kedua, teknik card stacking yakni dengan mengeluarkan pernyataan yang memiliki efek domino di masyarakat. Misalnya, pernyataan seputar bahaya jika Jokowi atau Prabowo terpilih. 

Gosip yang dikonstruksi biasanya sensitif seperti agama atau ras dan cenderung mengipas-ngipasi kebencian terhadap salah satu kandidat. Ketiga teknik transfer, yakni menyebarkan kampanye hitam lewat lambang-lambang otoritatif. Misalnya menyodorkan ayat suci, lambang-lambang adat, etnis, agama, politik yang diberi penafsiran berbeda dengan konteks sesungguhnya. Keempat, teknik testimonial dengan cara mengutip dan menyebarkan pernyataan orang-orang yang dikenal luas oleh khalayak. Kerapkali pernyataan tokoh tersebut juga sudah diberi polesan menyesatkan dengan tujuan membangun persepsi buruk.  

Kampanye Sehat

Saatnya Kubu Jokowi-JK dan Prabowo Hatta melakukan kampanye sehat. Dalam pandangan Leon Ostergaard, sebagaimana dikutip oleh Klingemann (2002), paling tidak ada tiga tahapan dalam kampanye. Pertama mengidentifikasi masalah faktual yang dirasakan. Syarat kampanye sukses, harus berorientasi pada isu/program (issues/program-oriented),  bukan semata berorientasi pada citra (image-oriented). Kampanye merupakan momentum tepat untuk menunjukkan bahwa kandidat memahami benar berbagai persoalan nyata, faktual, elementer dan membutuhkan penanganan di masyarakat. Sudah bukan zamannya lagi kampanye hanya menawarkan solusi imajiner yang abstrak, tidak memiliki basis pemecahan masalah (problem solving).

Kedua, pengelolaan kampanye yang dimulai dari perancangan, pelaksanaan hingga evaluasi. Dalam tahap ini, lagi-lagi riset perlu dilakukan untuk mengidentifikasi karakteristik khalayak sasaran agar dapat merumuskan pesan, aktor kampanye,  saluran hingga teknis pelaksanaaan  kampanye yang sesuai. Pada tahap pengolalaan ini, seluruh isi program kampanye (campaign content) diarahkan untuk membekali dan memengaruhi aspek pengetahuan, sikap serta keterampilan khalayak sasaran. Ketiga aspek ini dalam literatur ilmiah dipercaya menjadi prasyarat terjadinya perubahan perilaku (voting behavior). Kampanye tak cukup hanya bertumpu pada retorika sloganistik.

 Pemilih kekinian, tak lagi cukup hanya mendengarkan slogan, melainkan butuh indiktor-indikator yang bisa raba sekaligus diadu pada level gagasan dan program. Kampanye harus diterjemahkan dari tema besar yang serba elitis ke real world indicators. Sehingga berbagai rincian program itu dapat menarik dan menjadi bagian utuh kesadaran pemilih atau apa yang Walter Lipman tulis sebagai the world outside and pictures in our head.

Ketiga, adalah tahap evaluasi pada penanggulangan masalah (reduced problem). Dalam hal ini, evaluasi diarahkan pada efektivitas kampanye dalam menghilangkan   atau mengurangi masalah  sebagaimana  yang telah diidentifikasi pada tahap pra kampanye. Kampanye dengan demikian, bukanlah sebuah mekanisme janji palsu atau pembohongan publik. Melainkan sebuah deklarasi komitmen untuk melakukan hal-hal terbaik yang bisa dilakukan. Sekaligus meyakinkan berbagai pihak bahwa para kandidat memiliki berbagai solusi jangka pendek, menengah dan panjang sebagai formula mengurangi masalah yang ada di masyarakat. Saat pasangan capres dan cawapres mampu menunjukkan platform dan solusi berbagai persoalan negeri ini, bukan  tidak mungkin akan muncul dukungan pemilih yang meluas.

Kampanye transformasional bisa mewujud dalam penanda kata, konstruksi gagasan, konseptualisasi penanganan  masalah serta teknik dan strategi yang inspiratif. Kampanye jenis ini biasanya tak hanya menghipnotis pemilih dengan kata-kata, melainkan juga dapat menggerakan minat berpartisipasi dalam politik dan menumbuhkan harapan bersama untuk maju bersama-sama.

Biasanya, sebuah kampanye menjadi transformasional selain memiliki titik simpul gagasan besar juga berbasis pendekatan komunitas. Pemberdayaan politik komunitas, misalnya dilakukan mulai dari level nasional hingga ke daerah melalui tiga kata kunci utama. Pertama, pendekatan community relations yakni membangun komunikasi yang inspiratif dengan kalangan grassroot langsung ke sasaran mereka. Kedua, pendekatan community services, dimana para kandidat dan tim sukses harus mau dan mampu melayani komunitas yang menjadi target kampanye secara tepat dan mengena. Ketiga, community empowerment. Sebuah metode kampanye yang berorientasi pada pemberdayaan jangka panjang. Misalnya, melalui pendidikan politik  atau pelatihan tertentu sehingga komunitas-komunitas tersebut tumbuh menjadi komunitas yang kuat. Kampanye dengan pendekatan komunitas ini seyogianya dilakukan oleh parpol, sehingga prosesi kampanye dapat mewujud dalam bentuk yang lebih transformatif. 

Saatnya parpol-parpol di Indonesia, menggunakan kampanye dengan pendekatan modern yakni berbasis literasi politik. Hal itu dimulai dengan gagasan yang tidak seragam dengan demikian adu gagasan menjadi mungkin terjadi sehingga memberi opsi-opsi dan referensi bagi pemilih. Politik citra bukan semata-mata sukses membentuk hyperealitas melainkan memberi kesempatan pada publik untuk megetahui platform, komitmen, kredibilitas dan orientasi masa depan capres-capres yang ada sehingga memungkinkan munculnya trust yang menjadi penggerak keterpilihan kandidat di bilik-bilik suara. Saatya kita menolak dan mengutuk keras kampanyehitam! ***



Related

Opinion 2514321469313718656

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item