Merawat Harapan Rakyat

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah Geo TIMES, Edisi 14-20 Juli 2014) Pertarungan baru saja dimula...

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah Geo TIMES, Edisi 14-20 Juli 2014)


Pertarungan baru saja dimulai! Ujar salah seorang tim hukum dan advokasi salah satu capres saat bertemu penulis jelang mengisi salah satu dialog. Dia sangat yakin, meski jumlah lembaga survei yang mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) lebih banyak yang mengunggulkan capres satunya, tidak berarti capresnya kalah. Inilah babak baru pertarungan opini yang bergulir usai pencoblosan. Semua kandidat mengklaim kemenangan atas dasar data hitung cepat dari beberapa lembaga survei yang mereka jadikan rujukan. Bisa jadi benar, pertarungan sesungguhnya dimulai usai rakyat Indonesia menyalurkan haknya di bilik suara. Masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui untuk menasbihkan sosok pemimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Siap Kalah?
Pertanyaan mendasarnya, siapkah para capres dan cawapres yang menjadi petarung itu menerima kekalahan? Di situlah letak rumitnya ujian demokrasi kita usai pemilihan. Rakyat sudah sangat siap menerima dan menjalankan konsensus demokrasi yang mengharuskan sirkulasi elite melalui mekanisme pemilu lima tahunan. Tidak halnya dengan para elite beserta tim horenya. Hingga saat ini, belum ada satu pun dari dua pasangan kandidat yang mau menerima kekalahan. Artinya, pertarungan pilpres ini masih akan berlanjut hingga 22 Juli saat KPU mengumumkan hasil rekapitulasi suara bahkan sangat mungkin urusan kemenangan ini bergulir hingga sengketa Pemilu di Mahkamah Konsitusi.   

Tak dimungkiri, inilah pilpres paling kompetitif dalam penyelenggaraan sejarah pemilu presiden langsung di Indonesia. Dua faktor yang menyebabkan suasana kompetisi yang panas ini terasa. Pertama, karena dukungan terpolarisasi di dua pasangan yakni Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Masyarakat pun terbelah di dua kubu dan secara masif berupaya mengembangkan dukungan ke berbagai simpul pemilih. Wajar jika suasana rivalitas terasa hingga ke ruang-ruang keluarga. 

Kedua, makin komplitnya saluran komunikasi politik yang digarap tim pemenangan masing-masing kandidat. Saluran tatapmuka informal, organisasi, struktur sosial tradisional, media arus utama dan kian intensifnya penggunaan media sosial.  Praktis sejak tahapan pilpres ini bergulir, isi media massa dan media sosial menjadi jagat pertarungan opini yang luar biasa. Media massa seperti tv, koran, radio terlebih yang dimiliki grup-grup besar yang berafiliasi ke salah satu pasangan, sangat berani keluar dari pakem jurnalis dan menjadi propagandis bahkan agitator di ruang publik. Pertarungan di dunia maya juga sama. Perang tidak lagi simetris antar cyber army kedua pasangan, melainkan sudah asimetris karena juga melibatkan banyak orang yang tidak selalu terhubung dengan tim pemenangan resmi kandidat.   

Kini, perang opini bergeser pada hitung cepat yang membuat kedua pasangan sama-sama mendeklarasikan diri sebagai pemenang. Ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan nomor 1 Prabowo-Hatta. Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Prabowo-Hatta dengan perolehan 50,36% dan Jokowi-JK 49,64%. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan angka 52,05% dan Jokowi- JK 47,95%. Di hitung cepat LSN, Prabowo-Hatta 50,54% dan Jokowi-JK 49,46%. Indonesia Research Center (IRC) menutup hasil hitung cepat dengan perolehan pasangan Prabowo- Hatta mencapai 51,11% dan pasangan Jokowi-JK mencapai 48,89%.  
  
Di sisi lain, pasangan nomor 2 Jokowi-JK menang di quick count CSIS-Cyrus 52,1%, sedangkan Prabowo-Hatta 47,9%. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dengan 52,76% untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta 47,24%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Jokowi-JK 53,35%, Prabowo Hatta 46,65%. Litbang Kompas, Jokowi-JK mendapat 52,26% suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 47,74%. Indikator Politik Indonesia melansir Jokowi- JK mendapat 52,74% suara, sedangkan Prabowo Hatta 47,26%.

Menjaga Suasana
Di tengah ketidakpastian ini seharusnya kedua pasangan mampu menjaga suasan. Tugas para calon pemimpin bangsa ini adalah merawat harapan rakyat yang telah disalurkan melalui bilik suara 9 Juli lalu. Antusiasme rakyat Indonesia untuk memilih, digerakan harapan agar Indonesia lebih baik. Dalam kondisi turbulensi ini, ada tiga hal yang mesti kita garis bawahi. 

Pertama, media mainstream harus hati-hati membawakan diri jangan sampai tampilan vulgar media dalam pemberitaan pasca pencoblosan menjadi instrumental conditioning sejumlah prilaku tak patut yang ditiru masyarakat. Dalam perspektif teori reinforment imitasi dari seseorang bisa belajar menyamai tindakan orang lain terlebih saat ada instrumen yang mengkondisikan prilaku imitasi mereka seperti medi massa misalnya.  Berita provokatif dan insuniatif  yang terus dikembangkan oleh media massa bisa memancing kebencian antar pendukung kandidat dan memicu konflik menjadi aktual. Media harus turut berhati-hati saat mempublikasikan informasi hitung cepat ini. Harus tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik, tidak menjadikan hitung cepat sebagai upaya glorifikasi, propaganda, pengaburan fakta, dramatisasi fakta palsu, atau provokasi di tengah masyarakat. 

Kedua, para kandidat dan elite yang berada di lingkaran utama kandidat. Terutama, mereka yang kerap menjadi bahan berita media. Usai pencoblosan,  seyogianya mereka mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri terlibat dalam agresivitas verbal dan tindakan.  Kelompok elite ini biasanya menjadi role model sekaligus stimulan positif maupun negatif bagi khalayak akar rumput. Jangan karena syahwat politik atau kepanikan dalam membaca hasil pemilu, terus menerus mengembangkan komunikasi kebencian. 

Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan atau pun simpatisan harus mengedepankan rasionalitas di tengah situasi acak dan penuh tekanan seperti sekarang. Tak salah jika berasumsi banyak cara menuju kemenangan, tetapi tentu cara-cara tersebut harus tunduk pada aturan main dan menghormati keadaban publik. Pendukung harus melek politik hingga ekspresi dukungannnya tidak membahayakan diri mereka dan demokrasi itu sendiri. ***

Related

Opinion 7849669557105081184

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item