Pemimpin Kita
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Opini Suara Pembaruan, Kamis 24 Juli 2014) Satu tahap men...
http://www.gungunheryanto.com/2014/07/pemimpin-kita.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Opini Suara Pembaruan, Kamis 24 Juli 2014)
Satu tahap menentukan dalam
prosesi pemilu presiden 2014 sudah kita lalui, yakni pengumuman rekapitulasi
suara sah nasional dan penetapan pemenang pilpres. Seperti diprediksi banyak
pihak usai pencoblosan 9 Juli, pasangan Jokowi-JK unggul atas Prabowo-Hatta.
Merujuk ke data resmi KPU yang sampaikan pada rapat pleno terbuka, Selasa
(22/7), pasangan Prabowo-Hatta mengantongi 62.262.844 (46,85 persen) suara dan pasangan
Jokowi-JK 70.633.594 (53,15 persen) suara dari total
suara sah 132.896.438. Meskipun Prabowo Subianto
menarik saksinya dan menolak proses serta keputusan KPU soal hasil suara
pilpres 2014, Jokowi-JK tetap ditahbiskan secara sah sebagai pemenang pilpres
dan segera menjadi pemimpin kita lima tahun ke depan.
Basis Kekitaan
Penting bagi kita memaknai dan
memberi refleksi atas kemenangan Jokowi-JK sekaligus menitipkan harapan pada
kekuasaan yang mereka pegang lima tahun ke depan. Setiap pemimpin senantiasa
dilahirkan dari rahim kesejarahannya. Saat sosok calon pemimpin mampu menghadirkan
kekitaan yang teraba dari kesehariannya, maka kemenangan pun akan bergerak
tanpa diminta-minta.
Jokowi-JK mampu menghadirkan positioning yang tepat saat
mengidentifikasi diri sebagai kita. Tagline
“Jokowi-JK adalah kita” bukan hanya menarik dalam konteks pemasaran politik
selama masa kampanye tetapi juga tepat secara sosiopolitik. Bangsa Indonesia
secara sosiologis adalah masyarakat paguyuban dengan ciri semangat kekitaan
yang menonjol. Sudah lama rakyat memiliki jarak sangat lebar dengan
pemimpinnnya. Praktik kekuasaan selama ini lebih banyak merepresentasikan
kepentingan elite yang sudah bertransaksi sejak mencalonkan diri. Kekuasaan
menjadi zona nyaman elite parpol yang seolah-olah menjadi pemegang saham dalam keterpilihan presiden berkuasa. Konsep power sharing sejak dini itulah yang menyandera presiden terpilih sehingga
kekuasaan sempurna menjadi taman labirin
yang menyesatkan.
Di tengah kekecewaan masyarakat
atas praktik kepemimpinan elitis tadi, Jokowi-JK tampil membawa harapan. Wacana
kekitaan didukung oleh koherensi karakterologis yang melekat pada mereka
sendiri. Ada titik kesamaan Jokowi-JK dalam kesehariannya, mereka kerap tampil
bersahaja, spontan, tidak terlalu protokoler dan berorientasi pada hasil akhir.
Di situlah letak menariknya, ada kecocokan antara pesan dengan karakter si pembawa
pesan, sehingga menimbulkan resonanasi dan impresi signifikan di masyarakat. Dampak
positif kekitaan ini adalah dukungan rakyat Indonesia di bilik suara yang
melampaui identifikasi kepartaiannya. Kemenangan Jokowi-JK mematahkan asumsi
selama ini bahwa koalisi besar parpol menjadi salah satu garansi kemenangan.
Koalisi merah putih yang kerap diidentifikasi sebagai koalisi tenda besar,
ternyata tak bisa memenangkan Prabowo-Hatta. Ini pun terjadi waktu Pilkada DKI,
saat Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli yang didukung koalisi gemuk parpol dikalahkan
oleh Jokowi-Ahok yang hanya didukung PDIP dan Gerindra.
Sebagai sosok yang punya
pengalaman menjadi elected official dari sejak
Walikota Solo, Gubernur DKI dan kini Presiden RI, Jokowi semakin menunjukkan ke
rakyat Indonesia bahwa poletik otentik komunitarian dengan gaya dan pendekatan
humanis menjadi kunci kemenangan utama. Hal ini juga menjadi pesan nyata adanya
ketidakpercayaan publik terhadap parpol terutama yang diberi amanah berada di
kekuasaan.
Nampak ada benang merah
munculnya symbolic convergence yang
dihadirkan Jokowi dalam Pilpres kali ini. Merujuk pada pendapat Jhon F Cragan
dalam Understanding Communication Theory:
The Communicative Forces for Human Actions, bahwa konvergensi simbolik ini
merupakan kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum (realitas
simbolik) yang disebut visi retoris. Visi ini menyediakan cara pandang,
ideologi dan paradigm berpikir.
Jokowi-JK mampu mengikat
simpul-simpul dukungan rakyat melalui tindakan emansipatorisnya selama ini.
Visi retoris yang mereka tawarkan saat berkampanye adalah revolusi mental yang
tentu harus mewujud dalam cara pandang demokrasi yang mendengarkan rakyat atau
demokrasi partisipatoris. Wajah elitisme birokrasi harus didekonstruksi dan
memberi peluang kelahiran kabinet ahli
atau kabinet kerja (zaken cabinet). Reputasi dan pengalaman Jokowi sebagai kepala
daerah, turut memberi pembobotan baginya
di mata pemilih. Jokowi dan JK memang bukan orator yang baik, tapi keajekan
sebagai pemimpin pengambil resiko (risk
taker) menghantarkan mereka pada cerita sukses masing-masing.
Persistensi Demokrasi
Seharusnya setelah hasil pilpres
ditetapkan KPU, maka Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK bersama-sama membangun
ulang dan merekatkan kohesi sosial terutama di basis massa pendukung
masing-masing. Kompetisi merupakan hal lumrah dalam praktik demokrasi. Kedua
pasangan kandidat harusnya konsisten dengan ucapan dan janjinya untuk siap
menang dan siap kalah.
Larry Diamond dalam Developing Democracy toward Consolidation
(1999), mengungkapkan konsolidasi demokrasi itu adalah soal bagaimana merawat
stabilitas dan persistensi demokrasi. Dalam konteks konsolidasi demokrasi
itulah, para kandidat harus memastikan beragam manuvernya di tengah kompetisi
untuk menang tidak membawa Indonesia mundur ke era kegelapan. Daya tahan
keindonesiaan harusnya melampaui kepentingan indvidu, kelompok dan pertarungan
musiman ini.
Dalam konteks itulah banyak
pihak menyesalkan tindakan Prabowo Subianto yang menarik diri dan menolak hasil
pemilu. Di tengah harapan publik yang membuncah atas prosesi pemilu damai siap
kalah siap menang, prilaku elite yang menarik diri di penghujung acara,
memantik polemik baru di tengah masyarakat. Padahal rekapitulasi bukan sebuah
proses yang instan melainkan telah dilakukan secara masif dan berjenjang dari
mulai level panitia pemungutan suara, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
Langkah penolakan atas keseluruhan hasil pemilu, seperti menihilkan proses panjang
dan penuh pengorbanan dari banyak pihak terutama para penyelanggara pemilu.
Rakyat Indonesia secara umum tentu membutuhkan kepastian
informasi perihal siapa yang memenangi kontestasi. Hal ini bisa dimaklumi,
mengingat hitung cepat (quick count)
sejumlah lembaga survei saat itu mengalami kontroversi karena terbelah hasil
hitung cepatnya. Ada 8 lembaga yang memprediksi kemenangan Jokowi-JK dan 4
lembaga yang memenangkan Prabowo-Hatta. Kubu Prabowo saat itu menghimbau agar
masyarakat menunggu real count resmi
KPU. Lantas kenapa saat hitungan resmi KPU hampir mencapai garis finish,
Prabowo menarik diri? Langkah ini tentu memicu ketidakpastian baru mengenai
proses politik yang serasa belum tuntas di antara kedua pasangan meski KPU
tetap memastikan pemenang pilpres adalah Jokowi karena sebagaimana di atur
Pasal 155 Ayat 3 UU 42 Tahun 2008 dalam hal terdapat saksi dari pasangan calon
yang tak bersedia menandatangani, maka berita acara rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan
perolehan suara pasangan calon ditandatangani oleh anggota KPU dan saksi
pasangan calon yang hadir yang bersedia menandatangani.
Dalam konteks mengelola stabilitas
dan daya tahan demokrasi, sangat penting bagi para kandidat untuk memaknai diri
mereka di tengah kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan bangsa dan
negara. Bagi pihak yang kalah sudah selayaknya memosisikan diri sebagai
negarawan bukan pecundang. Caranya menghormati kemenangan pihak lain, jika pun
masih penasaran dan ingin menggunakan hak konstitusionalnya bisa menggugat
hasil penetapan KPU ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara yang menang, sudah
saatnya mulai fokus menyiapkan diri untuk mengemban mandate kekuasaan rakyat. Tak
salah jika mulai memikirkan pembentukan kabinet dan prioritas program kerja
yang prorakyat sehingga bisa sesegara mungkin merawat harapan publik. **