Tahap Rekapitulasi dan Ujian Demokrasi Indonesia

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 21 Juli 2014) Fase menentukan ...



 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 21 Juli 2014)

Fase menentukan pemilu presiden akan kita lewati, Selasa (22/7). Penetapan rekapitulasi suara sah nasional oleh KPU ini akan memastikan siapa yang memenangi pilpres dan akan menjadi pemimpin nasional lima tahun ke depan. Ini merupakan salah satu ujian terberat dalam tahapan pemilu.

Ada dua momentum ujian demokrasi menentukan dalam perhelatan pemilu presiden kita. Pertama 9 Juli lalu saat rakyat Indonesia masuk ke bilik suara menyalurkan hak konsitusionalnya. Proses itu telah kita lalui dengan aman dan damai. Terlepas dari masih adanya plus minus di berbagai daerah, secara umum rakyat sudah menunjukkan kedewasaan politiknya untuk berpartisipasi dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini. Demokrasi memang mensyaratkan kedaulatan rakyat yang tak bisa ditawar. Oleh karenanya, partisipasi masyarakat untuk datang tanpa tekanan, tanpa mobilisasi dan tanpa kecurangan masif merupakan sebuah catatan positif yang mesti diapresiasi.

Kedua, ujian demokrasi kita saat harus ada pengumuman yang menang di antara kedua pasangan. Sebagai petarung, tentu kedua pasangan sangat memahami bahwa kompetisi selalu menyisakan satu pemenang. Rekapitulasi suara nasional berjenjang telah dilakukan dengan segala macam ceritanya. Sudah tepat jika KPU tak menunda penetapan hasil rekapitulasi, guna memastikan informasi siapa yang memenangi pilpres di tengah ketidaknyamanan masyarakat usai pencoblosan.

Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak elemen masyarakat yang terbelah dalam dua arus besar dukungan. Intelektual, media, lembaga survei, LSM dan tentu masyarakat awam yang menjadi simpatisan. Praktis sejak tahapan pilpres ini berlangsung dan mengalami titik didih di saat kampanye, pencoblosan hingga sekarang, kohesi sosial kita terganggu. Ruang publik kerap terciderai oleh beragam ucapan dan tindakan agresif elite, propaganda tim pemenangan, persuasi timses dan beragam bentuk perang opini di antara sesama simpatisan.

Situasi ini harus segera berganti dengan kepastian, kesejukan dan kebersamaan. Kedua pasangan kandidat harus mampu mengendalikan diri dan seluruh tim mereka menghindari tindakan yang membahayakan demokrasi. Kompetisi merupakan sisi tak terpisahkan dari demokrasi, tapi di saat bersamaan para kandidat harus menjaga daya tahan demokrasi dengan cara merawat harapan rakyat. Larry Diamond dalam Developing Democracy toward Consolidation (1999), mengungkapkan konsolidasi demokrasi itu adalah soal bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Dalam konteks konsolidasi demokrasi itulah, para kandidat harus memastikan beragam manuvernya untuk menang tidak membawa Indonesia mundur ke era kegelapan. 

Semua kandidat sudah pasti menginginkan menang, tapi mereka wajib harus tunduk dan taat pada aturan main serta keadaban publik. Cara paling elegan jika mereka tak puas tentunya melalui koridor hukum misalnya melalui mekanisme sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi. Kita berharap, di hari penetapan rekapitulasi suara tak ada kandidat yang mengerahkan massa dan menempuh cara-cara provokatif di jalanan. Situasi chaos hanya akan menguntungkan para penunggang bebas yang senang memainkan skenarionya di tengah ketidakpastian. Yang menang akan memikul tugas berat mandat kekuasaan dengan harapan yang luar biasa besar, sementara yang kalah tetap bisa terhormat jika bersedia mendedikasikan diri sebagai pengontrol yang efektif. Di situlah letak keindahan sesungguhnya demokrasi. Semoga bangsa kita lulus menghadapi ujian menentukan. ***    

Related

Opinion 6824254352464326263

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item