Arah Konsolidasi Kekuata Elite
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran-Rakyat, Senin, 22 September 2014) Hal menarik dari kon...
http://www.gungunheryanto.com/2014/09/arah-konsolidasi-kekuata-elite.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran-Rakyat, Senin, 22 September 2014)
Hal menarik dari konstelasi
politik nasional saat ini adalah arah pergerakan para elite partai politik
jelang tinggal landas pemerintahan Jokowi-JK pada 20 Oktober. Ada dua faktor
yang akan mempengaruhi perubahan bandul konsolidasi kekuatan elite.
Pertama, sukses tidaknya
komunikasi politik yang dilakukan oleh pihak Jokowi-JK pada beberapa kekuatan
lain di luar partai-partai mitra koalisi yang mengusungnya saat pencapresan. Di
Rapat Kerja Nasional PDIP IV, yang digelar 19-21 September di Semarang, PDIP
secara sadar mengirim pesan kuat pada PPP dan PAN untuk menjajaki kemungkinan
kerjasama politik. Pesan tidak selalu terucap, konteks kehadiran para elite
partai yang tergabung di koalisi merah putih pun menjadi komunikasi bertujuan
untuk saling mengembangkan pemahaman bersama.
Dalam public relations politik,
yang dilakukan PDIP ini merupakan pendekatan Grunigian, yakni bagaimana
menciptakan pemahaman bersama, tentu antara PDIP dengan kekuatan potensial yang
mau bergabung. Menurut Grunig dan Hunt dalam Managing Public Relations (1984), tindakan pokok pendekatan ini
adalah mengembangkan mutual benefit
(keuntungan bersama), maklum salah satu motif koalisi parpol itu tiada lain
adalah benefit of office yakni
keuntungan menikmati kekuasaan.
Sebelum Rakernas, pesan politik
untuk memengaruhi Koalisi Merah Putih (KMP) pun telah dilancarkan oleh Jokowi
saat mengumumkan postur kabinetnya yang terdiri dari 34 pos kementerian. Jokowi
menawarkan 18 pos kementrian yang akan diisi oleh profesional non partai dan 16
pos kementrian yang akan diisi oleh profesional partai politik. Jokowi seolah
hendak mengatakan 16 pos kementrian untuk profesional partai tersebut masih
terlalu banyak jika hanya dibagi untuk PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura. Artinya,
ada peluang keuntungan yang bisa diambil oleh partai seperti PAN, PPP atau
partai lain yang berminat turut dalam koalisi pembentukan pemerintahan.
Sifat alamiah partai politik
memang pada dasarnya adalah keinginan berkuasa. Oleh karenanya, saat akses
terhadap kekuasaan dibuka oleh partai pemenang pemilu, biasanya banyak yang
tergoda untuk mengubah sikap politik mereka. Tradisi koalisi partai politik di
Indonesia itu berpola ko-opsi dimana partai politik pada akhirnya sering
bergonta-ganti pasangan, bukan dalam keajegan basis ideologi. Dalam situasi
semacam ini, partai-partai pengusung kandidat yang kalah, biasanya tak
seluruhnya mau ambil resiko dalam pilihan zero-sum
game alias bertempur habis-habisan tanpa mendapatkan apa-apa.
Memang ada kebutuhan Jokowi-JK
untuk menambah kekuatan di DPR. Koalisi Jokowi-JK secara faktual hanya 207
kursi, sementara KMP ada 292 kursi dengan asumsi 61 kursi partai Demokrat
bersifat swing karena memosisikan di
tengah. Jika PAN dan PPP menyebrang ke kubu Jokowi-JK, tentu melampaui zona
aman minimum dukungan di atas 50 persen. Meskipun demikian, skema ini juga
bukan tanpa resiko terutama dalam menjawab harapan publik soal keberbedaan yang
ditawarkan Jokowi dalam wajah kekuasaannya. Banyak publik berharap Jokowi-JK
bukan semata mengelola zona nyaman kekuasaan dengan mengurus pola hubungan
elitis sebagai dampak gemuknya koalisi parpol yang mengharuskan Jokowi-JK
kembali terjebak pada model politik akomodasi.
Kedua, perubahan bandul juga
akan sangat ditentukan oleh daya tahan koalisi permanen yang digagas KMP. Jika
ditarik garis tegas, maka partai-partai yang benar-benar berada di kutub
ekstrem bersebrangan dengan PDIP itu hanyalah Gerindra dan PKS. Sementara PAN,
PPP, Golkar dan Demokrat akan sangat ditentukan oleh ada tidaknya agenda
bersama yang kongkrit dan memberi insentif kekuasaan sesama mereka. Jika agenda
bagi-bagi kekuasaan di daerah melalui pilkada lewat DPRD gagal akibat tidak
disetujuinya RUU Pilkada yang mengubah pilkada langsung, maka alarm penanda
bahaya untuk KMP sudah berbunyi nyaring. Sulit membangun kohesi politik di
antara mitra koalisi, terlebih jika mereka berada di luar kekuasaan! ***