Pertarungan di Penghujung Jabatan
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si Anggota DPR Periode 2009-2014 segera berakhir. Di penghujung jabatan bukannya kabar baik yang berhem...

http://www.gungunheryanto.com/2014/09/pertarungan-di-penghujung-jabatan.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
Anggota DPR Periode 2009-2014 segera
berakhir. Di penghujung jabatan bukannya kabar baik yang berhembus dari
Senayan, yang ada justeru kontroversi seputar RUU Pilkada. Jika tak ada aral
melintang, Kamis (25/09) menjadi pertaruhan kredibilitas para wakil rakyat.
Akankah mereka tetap ngotot melawan arus utama opini publik yang masih
menghendaki Pilkada langsung dipertahankan? Ide mengembalikan Pilkada ke DPRD, memiliki
banyak kerancuan logika sekaligus berpotensi memutar bandul perjalanan
demokrasi ke era ketertutupan layaknya era Orde Baru.
Manuver Elite
RUU Pilkada ini menjadi krusial bagi peta politik ke depan terutama dalam
dimensi pertarungan dan manuver elite. Bagi Kubu Jokowi-JK, seandainya pilkada
dikembalikan ke DPRD maka tentu akan mempersulit ruang gerak Jokowi terutama
saat kepala-kepala daerah kemungkinan besar bisa dikuasai oleh Koalisi Merah
Putih (KMP). Sementara bagi KMP, momentum ini tentu juga akan dijadikan pintu
masuk bagi upaya menciptakan agenda bersama terutama prospek power sharing di daerah-daerah, sehingga
diharapkan jadi insentif bagi para mitra koalisi KMP. Kalau mereka gagal
menggolkan pilkada kembali ke DPRD, memang nasib KMP di ujung tanduk dalam
menjaga dan mengelola soliditas partai-partai koalisi di luar pemerintahan.
Oleh karena alasan itulah, KMP ngotot mendorong Pilkada ke DPRD. Buktinya
Rabu (24/09), KMP berkumpul dan menyolidkan
kekuatan di Hambalang. Ini menjadi indikator, RUU Pilkada menjadi top priority agenda mereka saat ini. Namun secara hitung-hitungan matematis, posisi
kekuatan KMP saat ini melemah setelah Demokrat menyatakan dukungan pada pilkada langsung. KMP minus Demokrat jika
voting hanya akan mengumpulkan 270 suara, sementara yang dukung pilkada
langsung jika Demokrat solid di dalamnya akan ada 290 kursi. Suara Demokrat
sendiri ada 150 kursi. Dengan demikian posisi Demokrat bisa jadi faktor
pengubah disahkan atau tidakanya RUU Pilkada.
Jika Demokrat solid dukung Pilkada langsung, maka usulan pilkada lewat DPRD tak akan
terealisasi. Sebaliknya, jika Demokrat main mata sekaligus standar ganda di
balik permainan wacana soal keharusan diakomodasinya 10 perbaikan, maka terbuka
juga peluang pecahnyaa suara Demokrat. Bisa karena anggota DPR dari Demokrat
tak hadir di sidang bisa juga karena memiliki sikap berbeda. Tapi melihat
karakter SBY yang selalu hati-hati dan bermain aman, sepertinya Demokrat tak
akan banyak berubah sikap seperti digariskan SBY. Jika pun ada yang berbeda,
jumlahnya tak akan signifikan.
Kerancuan Nalar
Terdapat sejumlah kerancuan nalar dalam
argumentasi pengusung usulan Pilkada oleh DPRD. Bagi mereka, pilihan pilkada langsung
dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya finansial tetapi juga biaya
sosial. Setiap kontestasi pilkada berlangsung, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfir pilkada berbiaya
tinggi dianggap sebagai salah satu sebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung
tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan
masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain.
Benarkah mengembalikan pilkada ke DPRD
akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat dan
penyelenggara? Bisa jadi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD justeru akan memapankan ulang tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol.
Upeti yang menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa
di DPRD, bisa jadi setara atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung
seperti sekarang. Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari
sekedar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada
adalah koreksi terhadap praktik oligarki
dan koorporatisme politik di era Orde Baru. Salah satu buah hasil reformasi
tentunya adalah kebebasan warga dalam memandatkan kekuasaan yang mereka miliki.
Untuk menekan biaya finansial bisa saja
dibuat perbaikan aturan dalam proses pilkada baik bagi penyelenggara pemilu
maupun para kandidat. Misalnya ditiadakannya kampanye terbuka, dibatasinya dana
kampanye dll. Sementara mengurangi biaya sosialnya, pilkada harus
diselenggarakan oleh orang-orang yang kredibel, independen, aturan yang jelas
dan transparan, serta memfasilitasi adanya saluran
penyelsaian konflik.
Pilkada oleh DPRD, bisa menyuburkan kembali
kartelisasi Politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir elit sehingga
melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka. Menurut Dan Slater
dalam tulisannya Indonesia’s
Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic
Transition (2004), menyatakan Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel
yang melahirkan demokrasi kolusif (collusive
democracy).
Pemilihan oleh DPRD juga bisa memupuk
feodalisasi politik akibat tak terhindarinya restu para pemilik otoritas yang
berada di puncak hirarki kekuasaan parpol. Pilkada langsung oleh warga, jauh
lebih menarik dan lebih menjanjikan demokratisasi dibanding langkar mundur pemilihan
gubernur.
Pemilihan gubernur oleh DPRD mengancam
keberadaan calon-calon independen. UU No.12 tahun 2008 yang merupakan perubahan
kedua dari UU no.32 tahun 2004 memberikan revisi substansial terhadap proses
pilkada dengan mengakomodasi calon independen. Meski di banyak daerah calon
independen kalah, tapi mekanisme ini memberi ruang ekspresi demokrasi bagi
masyarakat. Hal ini, menjadi sangat sulit dilakukan saat pemilihan dikembalikan
ke DPRD yang notabene adalah representasi partai-partai politik. Bisa saja
peluang kandidat independen untuk mendaftar masih terbuka berdasarkan UU baru
nanti, tetapi nyaris mustahil kekuatan fraksi-fraksi di DPRD berminat
memilihnya. Hal ini jelas-jelas kemunduran dalam demokrasi elektoral kita.
Eksistensi kandidat independen
sesungguhnya bagus dan menyehatkan guna memacu partai-partai politik agar lebih
kompetitif. Selain itu, kandidat independen juga menyediakan opsi berbeda bagi
warganegara yang skeptis terhadap peran parpol. Pemilih membutuhkan figur yang didorong
oleh warga sendiri secara bersama-sama. Pilkada DKI bisa menjadi contoh, meskipun
kandidat independen itu tak menang, tetapi memberi literasi politik kepada
partai-partai dan juga warga bahwa harus ada keseriusan dalam pencalonan
kandidat yang akan mengemban amanah sebagai kepala daerah. Memang, dalam
sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia hingga saat ini, tercatat baru
kurang lebih 10 pasang kandidat independen
saja yang memenangi Pilkada.
Kita meraba, apatisme publik kini semakin
menjadi dan merata di hampir seluruh daerah. Kekecewaan publik tersebut dipicu oleh
prilaku parpol yang ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan yang korup
dan tidak memberi ruang sedikit pun bagi perjuangan politik yang benar-benar
pro rakyat. Partai apapun nyaris berprilaku sama yakni mengutamakan kepentingan
diri dan kelompoknya, sekaligus mengamankan berbagai akses mereka ke
sumber-sumber uang rakyat. Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh
oligarki parpol, untuk itu dibutuhkan keberadaan kandidat independen guna
memperbanyak opsi kandidat dalam praktik demokrasi elektoral kita.
RUU Pilkada sebagai kebijakan publik yang
berimplikasi luas pada masyarakat sebaiknya diputuskan tidak semata-mata karena
motif pragmatis sesaat. Terlabih jika sekedar dijadikan manuver untuk power sharing dan agenda bancakan elite
partai di daerah. Oleh karenanya
dibutuhkan kearifan dan cara pandang komprehensif untuk memutuskan kebijakan di
penghujung jabatan. ***