Pertaruhan Jokowi-JK

 Oleh. Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, Senin 20 Oktober 2014 ) H ari ini, Jokowi-JK r...



 Oleh. Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, Senin 20 Oktober 2014)


Hari ini, Jokowi-JK resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Seluruh komponen masyarakat, apapun etnis, agama, dan apiliasi politiknya patut mengapresiasi momentum ini sebagai langkah penting dan menentukan perjalanan kesejarahaan Indonesia. Jokowi sebagai presiden ke tujuh diberi mandat sangat dahsyat yakni kuasa dan otoritas memimpin bangsa besar dengan segala kompleksitas persoalannya. Tak mudah, jalan yang akan ditempuh sangat terjal, curam dan berisik! Butuh konsentrasi tingkat tinggi dalam mengendalikan birokrasi di tengah ekspektasi rakyat dan tekanan beragam pihak.

“Oase” Elite

Sebelum pelantikan Jokowi-JK digelar, ada beberapa momentum komunikasi politik para elite  yang patut diapresiasi dan turut melahirkan suasana kondusif. Pertama, langkah simpatik pimpinan MPR yang secara khusus menemui Jokowi-JK (Senin,13/10), kemudian Jokowi berjumpa dengan ARB (Rabu, 15/10) dan tentunya yang paling menyedot perhatian khalayak adalah pertemuan Jokowi dengan Prabowo (Jum’at, 17/10). Perjumpaan para elite yang menjadi kunci dinamika politik nasional saat ini bak oase di tengah kegersangan politik kita sejak rivalitas pilpres bergulir. Polarisasi tajam dan penuh intrik menyebabkan politik Indonesia mencapai titik kulminasinya.

Sempat muncul kekhawatiran akan ada kebuntuan dan tendensi saling menegasikan peran di antara kelompok-kelompok yang bertarung. Hal ini dipicu dari rivalitas koalisi pendukung Prabowo dan koalisi pendukung Jokowi yang sejak tahapan pilpres usai hingga jelang pelantikan terus bersaing menemukan akses   terhadap kuasa dan sumber otoritas bagi mereka untuk lima tahun ke depan. Namun, kekhawatiran tersebut terobati dengan langkah elegan para elite untuk mengembangkan pendekatan public relations politik yang produktif. Langkah para elite ini dikenal dengan pendekatan politik grunigian (the grunigian political paradigm). Menurut Grunig dan Hunt dalam Managing Public Relations (1984), pendekatan ini biasanya berupaya menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) yang tindakan pokoknya mengembangkan mutual benefit. Prasyarat utama pendekatan ini tentunya harus ada two-way symetrical communication.

Perjumpaan Jokowi dengan Prabowo bisa jadi simbolik dan normatif, tetapi memiliki resonansi signifikan dalam perspektif pendidikan politik.  Pesan kuat yang muncul dan impresif bagi khalayak adalah rivalitas memperebutkan kekuasaan tidak harus mengorbankan keindonesiaan. Semangat kekitaan yang wajib melampaui keakuan atau ego pribadi dan golongan. Perjumpaan ini sangat penting memelihara semangat komunitarianisme yang menjadi basis tradisi masyarakat Indonesia, yakni paguyuban (gemeinschaft) bukan patembayan (gesellschaft).  Paguyuban merupakan kelompok sosial yang anggota-anggotanya memiliki ikatan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Sementara patembayan kelompok sosial yang anggota-anggotanya memiliki ikatan lahir yang bersifat jangka pendek.

Perjumpaan Jokowi-JK yang menjadi kompetitor di pilpres 2014 bisa memelihara semangat komunitarianisme. Menurut Etzioni dalam The Spirit of Community (1993), komunitarianisme merupakan kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai kebersamaan, tanpa adanya puritanisme yang menindas. Substansinya, tentu saja keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perjuangan kepentingan pribadi yang harus diimbangi dengan komitmen pada kebersamaan. Saat bicara keindonesiaan, maka ego dan pertentangan harus luruh pada jalannnya agenda bangsa dan negara. Prabowo elegan dan simpatik saat mau menerima Jokowi, pun demikian Jokowi punya kecerdasan tradisional untuk menempuh komunikasi melalui saluran face-to-face informal daripada saluran formal organisasional yang kaku.

Andai SBY, Megawati, Amien Rais, dan sejumlah tokoh lain bisa nyaman duduk bersama dan dipersatukan semangat keindonesiaan maka bukan mustahil  demokrasi kita akan semakin produktif. Perjumpaan bukan jaminan tidak adanya kompetisi di kemudian hari. Sisi utama dalam politik tentu saja rivalitas sepanjang hayat. Hanya saja, rivalitas harus mengedepankan keadaban publik bukan menjadi penghancur keberagaman terlebih memporakporandakan kekitaan Indonesia. 

Dialektika Relasional

Satu hal yang pasti, usai dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK tak punya banyak waktu berleha-leha. Butuh kecepatan, kecerdasan, dan kecermatan dalam menyusun program-program nyata yang bisa membahagiakan rakyat bukan segelintir elite. Bukan waktunya lagi pencitraan, dan berwacana. Fokus Jokowi-JK adalah membawa birokrasi bekerja produktif untuk mengkonfirmasi janji-janji kampanye yang telah berserakan di beragam catatan publik.

Pertaruhan pertama dan  sangat menentukan langkah lanjutan bagi Jokowi-JK adalah pembentukan kabinet. Harapan publik sangat tinggi bahwa Jokowi harus menghadirkan kabinet berbasis meritokrasi. Sederet sosok di kabinet Jokowi-JK akan menjadi impresi awal dari publik terhadap Jokowi.  Ini pertaruhan menjaga public trust karena sejatinya di situlah basis kekuatan Jokowi-JK. Saat DPR dikuasai secara dominan oleh koalisi Prabowo, maka sandaran kuasa Jokowi harusnya dukungan rakyat. Jika wajah kabinet lebih merepresentasikan pragmatisme politik, lewat akomodasi politik secara berlebihan, maka sangat mungkin kekecewaan publik muncul dan berkembang. Jokowi-JK harus serius mengubah wajah birokrasinya dari oligarki parpol ke meritokrasi. 
Pertaruhan berikutnya adalah realisasi program jangka pendek dan menengah yang kerap dijadikan ukuran apakah pemerintahan Jokowi melaju ke arah yang tepat atau tidak. Contohnya, seberapa cakap dan cepat Jokowi merealisasikan program-program pro rakyat yang sudah digadang-gadang sejak kampanye pemilu. Misalnya soal isu kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Terkadang masyarakat tak cukup memiliki kesabaran dalam menilai seperti apa pemerintahan Jokowi-JK merealisasikan program jangka panjangnya, oleh karenanya, beragam program jangka pendek dan menengah menjadi pertaruhan menentukan!

Situasi semacam inilah yang oleh Leslie Baxter dan Barbara Montgomery dalam bukunya Relating Dialogues and Dialectics (1996) digambarkan dapat menghadirkan dialektika relasional. Situasi yang dicirikan oleh ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara impuls-impuls yang kontradiktif. Berbagai isu bergulir dan menjadi dinamika sekaligus indikator untuk mengukur performa pemerintahan Jokowi-JK. Impresi publik menjadi sangat penting bagi perjalanan awal pemerintahan Jokowi-JK karena hal ini akan menumbuhkan harapan, dukungan, sekaligus keterjagaan legitimasi yang telah dikantongi usai Pemilu. Sebaliknya jika pertaruhan ini gagal, maka persoalan berat menghadang di depan mata, kontrol kekuatan non pemerintah di DPR begitu kuat dan dukungan publik akan melemah. Selamat bekerja keras Jokowi-JK! ***

Related

Opinion 3961146302826099301

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item