Jebakan Demokrasi Prasangka
T ulisan ini telah dipublikasikan di Majalah Geo TIMES, Edisi 29 Desember 2014-11 Januari 2015 Praktik politik sepanjang tahun ...

http://www.gungunheryanto.com/2014/12/jebakan-demokrasi-prasangka.html
Tulisan ini telah dipublikasikan di Majalah Geo TIMES, Edisi 29 Desember 2014-11 Januari 2015
Praktik politik sepanjang tahun
2014 diwarnai kebisingan, keterbelahan dukungan, ekspresi persaingan dan
keberlimpahan hasrat kekuasaan. Wajar, karena banyak pihak menyadari rangkaian
tahapan demokrasi elektoral di tahun politik ini telah memberi ruang aktualnya
panggung para politisi dengan beragam motif kekuasaanya. Hampir seluruh energi
masyarakat tahun ini tersedot pada penyelenggaraan pemilu legislatif dan
mencapai titik kulminasinya pada pemilu presiden.
Meminjam istilah yang digunakan
James P Carse, dalam Finite and Infinite Games
(1987), Pemilu bisa dikategorikan sebagai finite game atau
permainan yang memiliki awal dan akhir khususnya tentang kekuasaan, yang
kecenderungannya menjadi mekanisme memenangi kekuasaan belaka untuk kepentingan
pribadi dan golongan semata. Istilah-istilah demi rakyat, untuk kepentingan
rakyat, wakil rakyat, mengabdi pada rakyat menjadi “mantra-mantra” yang
berlimpah memenuhi beragam saluran komunikasi dan menjadi simulasi realitas
dalam memersuasi bahkan memanipulasi kesadaran masyarakat. Situasi ini sudah sangat terbiasa
menghadirkan finite player, yakni para politisi yang secara optimal
menyalurkan hasratnya semata-mata untuk mendapatkan piala kekuasaan.
Bonum Commune?
Tak salah jika banyak
masyarakat berharap banyak setiap ada perubahan rezim kekuasaan. Secara
prosedural, mekanisme sirkulasi elite lewat pemilu yang dilakukan secara
reguler memang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan, kepastian, dan
keterjagaan sistem pemerintahan. Namun regularitas waktu penyelengaraan saja
tak cukup, butuh pendekatan yang lebih substantif yakni praktik demokrasi
deliberatif.
Kata deliberatif berasal dari
kata Latin deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau
menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses mampu
menghadirkan konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif
berupaya meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses
pebentukan aspirasi dan opini. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus
publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung
der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Dengan demikian ada
kemauan dan kemampuan untuk membentuk konsensus dengan basis rasionalitas warga
masyarakat.
Jika kita membaca perjalanan
politik kita sepanjang tahun 2014, secara umum ada catatan positif dan catatan
negatif yang bisa penulis kemukakan. Untuk catatan positif, hal yang patut diapresiasi adalah menguatnya
politik kerelawanan dalam pemberian dukungan pada kandidat maupun dalam menyalurkan partisipasi politik non konvensional. Selama
pilpres misalnya, kita bisa melihat adanya gairah dari banyak masyarakat baik
awam, publik berperhatian maupun elite untuk mendukung dua pasangan kandidat
baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK. Fenomena pilpres 2104 memang lebih menarik
dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Para relawan, banyak memberi dorongan pada
partisipasi masyarakat tentu dengan beragam basis rasionalitasnya. Kemenangan
Jokowi-JK pun tak bisa lepas dari dukungan masif para relawannya. Mereka
bergerak tanpa partai dan tanpa kepentingan jabatan. Mereka pun tak terlalu
peduli dengan identifikasi kepartaian, karena mendukung dan memberi pilihan lebih
disebabkan adanya ketertarikan rasionalitas mereka pada sosok pembawa harapan.
Pun di luar dukungan pada kandidat, banyak pula relawan yang bekerja mengawal
daya tahan sistem. Misalnya kelompok relawan Kawal Pemilu, yang turut
mengontrol rekapitulasi suara nasional dengan menginformasikan data base yang
mereka miliki untuk menjadi informasi sekaligus pembanding data di KPU dan data
para kandidat yang bertarung menguasai opini melalui media massa.
Peran serta para relawan dalam
politik ini menjadi bagian penting dalam pengarusutamaan literasi politik. Bernard Crick dalam Essays on Citizenship (2000), mencatat literasi politik sebagai senyawa dari pengetahuan, keterampilan
dan sikap. Crick menegasakan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar
pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam
kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam
melaksanakan hak dan kewajiban baik resmi maupun di arena publik yang sifatnya
suka rela.
Fenomena ini tentu saja positif
dalam konteks partisipasi politik masyarakat. Sesuai dengan asumsi Herbert
McClosky dalam Internal Encyclopedia of
the social Sciences (1972) yang mendefinisikan partisipasi politik sebagai
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat dimana mereka mengambil bagian
dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum. Harapan para relawan yang memiliki nilai
kesejatian kerja relawan (voulenteerism)
adalah bonum commune yakni prinsip
yang mengedepankan kepentingan umum. Misalnya keinginan untuk mendapatkan
pemimpin nasional yang mampu memelihara kekitaan dengan rakyat, optimal bekerja
dan mentransformasikan dirinya menjadi kekuatan sistem yang bisa dirasakan
kemanfaatannya untuk memperbaiki persoalan-persoalan nyata di masyarakat
seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, toleransi, dan lain-lain.
Dukungan relawan berbeda dengan
dukungan para elite pengincar jabatan. Perspektif yang biasanya digunakan para
elite dalam menentukan dukungan biasanya struktur peluang (opportunity structure). Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count soal strategic
entry menghitung tiga pertimbangan penting yakni: biaya memasuki arena (cost of entry), keuntungan-keuntungan
yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits
of office) dan adanya kemungkinan-kemungkinan perolehan dukungan dari para
pemilih (probably of receiving electoral
support).
Penyakit bawaan yang biasanya
terus menerus menjadi salah satu sumber persoalan dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah soal keuntungan duduk di kekuasaan (benefits of office), karena mengalkulasi dukungan dengan formula
“tak ada makan siang yang gratis!”. Tak sepenuhnya salah memang, tetapi kalau
sampai mitra koalisi sangat dominan dan menentukan kekuasaan melampaui hak
prerogatif presidennya, sudah terprediksi bahwa kekuasaan untuk kesekian
kalinya hanya akan menjadi zona nyaman elite dan bonum commune hanya
tinggalah wacana tanpa tindakan nyata.
Retrogresi Politik
Kini, kedaulatan rakyat telah
dimandatkan kepada Jokowi-JK untuk memimpin. Lantas selsaikah persoalan
kebangsaan kita? Tentu tidak! Ini baru
awal dari sebuah jalan terjal dan bising lima tahun ke depan. Jokowi-JK harus
membuktikan bahwa mereka bisa keluar dari sejumlah jebakan praktik demokrasi
enigmatik (enigmatic democracy).
Eduardus Lemanto dalam Presiden
Manusia Setengah Binatang (2013), mendefinisikan
demokrasi enigmatik sebagai demokrasi yang menimbulkan teka-teki, prasangka,
absurditas, disorientasi dan tanpa navigasi karena dinamikanya tidak jelas. Hal
ini disebabkan oleh ketiadaan aktualisasi prinsip-prinsip fundamental demokrasi
itu. Demokrasi yang ditampilkan tidak subtansial. Sebaliknya, yang ditampilkan
justru demokrasi yang dangkal.
Jika tak hati-hati, Jokowi-JK
masih sangat mungkin terjebak ke dalam praktik demokrasi enigmatik ini karena
beberapa faktor. Pertama, jika
Jokowi-JK tak mampu menghadirkan optimalisasi kerja untuk masyarakat yang
terukur dan dirasakan langsung manfaatnya oleh orang banyak. Pesan kuat selama
kampanye bahwa “Jokowi-JK adalah Kita” butuh pembuktian agar mereka tak
berjarak dengan rakyat yang telah memenangkannya. Jokowi-JK jangan membuat
tembok tebal “kami dan mereka” sebagai pemisah antara pemimpin dengan rakyat.
Dalam konteks ini butuh komunikasi deliberatif yang memosisikan setiap
kebijakan publik Jokowi-JK sebagai konsensus berbasis rasionalitas dan melalui
diskursus publik yang memadai. Jangan terbuai oleh pencitraan politik
berlebihan (imagologism) karena hanya
akan memabukan dan lupa daratan.
Kedua, jebakan retrogresi
politik yakni pemburukan dan penurunan kualitas politik yang diakibatkan oleh
gejala di mana masing-masing elemen politis termasuk parpol bekerja dengan
mekanisme yang semata-mata bertujuan mendapatkan jatah kekuasaan. Jika
Jokowi-JK tak bisa menghadirkan sistem meritokrasi dan lebih mengedepankan
akomodasi para pemburu kekuasaan yang merasa menjadi “investor” dalam
kekuasaannya, tentu nada sumbang akan cepat berulang, rakyat tak merasakan bonum commune dari pemimpin yang
dipilihnya!