Tahun Harapan dan Ujian Demokrasi Konsensus

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, Senin 5 Januari 2015) Tahun 2014 telah ...


Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, Senin 5 Januari 2015)

Tahun 2014 telah kita tinggalkan, lengkap dengan selaksa cerita dan dinamika kesejarahannya. Tahun yang disesaki informasi pencitraan, dan seribu rupa tingkah polah pencarian perhatian serta dukungan masyarakat guna memenangi pertarungan di bilik suara. Hal wajar yang selalu dialami negara demokrasi saat menggelar pemilu reguler dengan gegap-gempita pertarungannya. Tahun lalu, politik mencapai titik didihnya dan di beberapa kesempatan menghadirkan turbulensi yang membuat masyarakat khawatir akankah demokrasi kita cukup memiliki daya tahan di tengah gesekan kekuatan politik yang sangat terfragmentasi. 

Ternyata, kita bisa melewati tahun politik tersebut meski dengan sejumlah pekerjaan rumah yang tak mudah! Tahun 2015, menjadi tahun harapan sekaligus fase ujian model demokrasi konsensus yang masih menjadi ciri dominan praktik politik pascapemilu di Indonesia. Arend Lijhart dalam bukunya Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999) menyebutkan dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya, cenderung akan menggunakan demokrasi model konsensus. Koalisi untuk membangun pemerintahan, merupakan bagian dari konsensus tersebut. Sejak Pemilu pertama pascareformasi hingga sekarang model konsensus inilah yang menjadi pilihan para pihak yang dimandati kekuasaan.   
  
Harapan publik sesungguhnya sederhana meski untuk merealisasikannya butuh kerja luar biasa! Harapan pada pemimpin terpilih adalah bonum commune yakni prinsip mengedepankan kepentingan umum. Jokowi-JK harus optimal bekerja dan mentransformasikan dirinya menjadi kekuatan sistem yang bisa dirasakan kemanfaatannya untuk memperbaiki persoalan-persoalan nyata di masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, toleransi, dan lain-lain. Istilah kerja bukan lagi diposisikan sebagai  “mantra” penarik suara, melainkan wajib mewujud dalam sejumlah indikator capaian nyata untuk memperbaiki bopeng-bopeng wajah kekuasaan yang kerap dirias dan menampilkan dasamuka politik citra! 

Paling tidak ada tiga tantangan utama tahun ini dan ke depan. Pertama, jalan keluar dari kekakuan kubu kekuasaan. Zona elite yang terbelah di Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat akankah tetap menjadi simbol egoisme para elite dan menjadi labirin kekuasaan? Tantangan ini jika tak teratasi akan menjadi jebakan retrogresi politik yakni pemburukan dan penurunan kualitas politik akibat ulah para aktor dan parpol yang bekerja semata-mata mendapatkan jatah kekuasaan.  

Kedua, tantangan untuk menghadirkan komunikasi deliberatif. Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Komunikasi bersifat deliberatif jika prosesnya mampu menghadirkan konsultasi publik, atau diskursus publik. Ada upaya meningkatkan intensitas partisipasi warga dalam proses pebentukan aspirasi dan opini. Proses ini, merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi deliberatif yang berprinsip Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Jangan sampai elite berkuasa berpikir, dirinya adalah kekuasaaan dan apapun yang menjadi keinginan serta kepentingannya menjadi hukum yang harus ditaati dan dijalankan tanpa memberi ruang aspirasi dan partisipasi. Ketiga, menghadirkan produktivitas kinerja.

Pada akhirnya, publik akan mengkonfirmasi janji dengan realisasi kerjanya. Jika ingkar, maka kuasa pasti tak lagi mengakar! Kekuasaan yang tercerabut dari akar harapan publiknya, ibarat membangun istana di atas pasir. ***

Related

Opinion 4099152277489456376

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item