Reshuffle untuk Siapa?

Reshuffle untuk Siapa? Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Artikel ini terbit di Republika Online, Selasa, 7 Juli 2015) Isu yang selalu hadir d...

Reshuffle untuk Siapa?

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto

(Artikel ini terbit di Republika Online, Selasa, 7 Juli 2015)

Isu yang selalu hadir dan bertiup kencang setiap ada evaluasi kabinet adalah reshuffle sejumlah menteri yang dianggap minim prestasi dan mendapat resistensi sejumlah kalangan. Kini isu reshuffle pun dirasakan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Jokowi-Kalla.

Sejak evaluasi enam bulan pertama pemerintahannya hingga kini, tekanan demi tekanan datang menghantam pemerintahan Jokowi dan belakangan semakin memanas dengan riuh rendahnya pernyataan para politisi dan elite opini lainnya. Pertanyaan mendasarnya, reshuffle itu untuk siapa? Jika akhirnya perombakan hanya untuk menyenangkan para pemburu kekuasaan, bukan perbaikan kinerja yang didapatkan, melainkan zona nyaman kekuasaan elite.

Bangunan kekuasaan Jokowi dihadapkan pada realitas politik yang dikendalikan sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi dukungan rakyat cukup signifikan, Jokowi berpotensi tersandera politik representasi yang bisa membuatnya gagal mengoptimalkan peran Kabinet Kerja.

Meski hak prerogatif berada dalam genggaman Jokowi, sesungguhnya kekuasaan berpotensi dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai. Sejumlah pengambilan kebijakan di fase awal pemerintahan Jokowi tampak masih gamang dan terbebani kuasa para elite partai yang merasa menjadi "investor" kekuasaannya. Kesan kuatnya gaya lama tawar-menawar posisi dalam kekuasaan masih dirasakan termasuk dalam penyusunan Kabinet Kerja.

Jika Jokowi tak mampu keluar dari tekanan para elite partai dalam perombakan kabinet, dampak seriusnya adalah kembali menguatnya birokrasi oligarki. Menurut Adam Przeworski dalam bukunya, Sustainable Democracy (1999), birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara sesama anggota kartel. Kalau itu yang menjadi pilihan, maka bahaya lanjutannya adalah kekuasaan menjadi proyek individual para elite parpol beserta asosiasi korporatisnya.

Kurang impresifnya fase awal Kabinet Kerja bukan karena Jokowi tak memiliki modal politik. Kita tentu ingat, dukungan pada Jokowi pada pilpres signifikan dan memberi mandat kepadanya untuk tampil menjadi pemimpin sejati. Masalah mengemuka sejak pola distribusi dan alokasi kekuasaan yang tak mendukung efektivitas kinerja.

Pihak yang merasa menjadi "investor" di kekuasaannya menjadi pangkal utama melemahnya peran Jokowi. Relasi kuasa Jokowi dengan elite utama partai penyokong, menyumbang buruknya performa politis sekaligus menggerus produktivitas kabinet.

Tantangan terbesar Jokowi dalam reshuffle kali ini, mampukah dia keluar dari sandera politik representasi? Jika Jokowi tetap mendahulukan keterwakilan politik daripada produktivitas kerja kabinet, seribu kali reshuffle dilakukan pun tetap tak akan mengubah keadaan.

Pergantian orang bisa saja menjadi perubahan simbolis, tetapi substansi reshuffle sesungguhnya ada pada kontinum sirkulasi elite berbasis kredibilitas dan akuntabilitas sosok yang menggantikan. Orientasi perombakan seharusnya merujuk pada indikator kinerja para menteri, bukan semata-mata tambal sulam kekuasaan.

Sejak dilantik hingga sekarang, pemerintahan Jokowi nyaris berjalan tanpa kesan. Meski sejumlah kerja telah dilakukan di hal-hal mikro dan sektoral, citra dan kinerja pemerintahan Jokowi masih jauh dari memuaskan. Misalnya saja menteri-menteri di bidang ekonomi yang kinerjanya kedodoran.

Pelambatan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu indikator tidak optimalnya kinerja menteri bidang ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi 4,71 persen di semester I 2015 jelas di bawah target capaian 5,5 persen sebagaimana dicanangkan pemerintah. Belum lagi sejumlah blunder yang dilakukan deretan menteri Jokowi mulai dari level menko hingga menteri teknis.

Reshuffle mutlak diperlukan! Sinyal Jokowi pun kian terang bahwa tak ada pilihan lain selain perombakan. Tapi, beranikah Jokowi keluar dari sandera politik representasi untuk mengefektifkan kebinet? Rasanya ini yang lebih menarik untuk kita simak.

Beragam respons para menteri saat dikonfirmasi wartawan soal rencana reshuffle. Ada yang santai ada juga yang verbal agresif. Tentu tak mudah bagi Jokowi mengurusi sirkulasi elite yang memerintah. Hal fundamental dalam disain perombakan adalah independensi Jokowi dalam memilih siapa saja yang menjadi para pembantunya.

Menurut Samuel Huntington dalam Political Orders in Changing Societies (1968), semakin tinggi independensi, semakin tinggi tingkat kelembagaan. Keutuhan organisasi juga penting dalam tingkat pelembagaan.

Sebuah institusi politik harus memiliki kewenangan yang kuat, transparan, dan merepresentasikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Tingkat kelembagaan sistem politik dapat ditentukan dari cara beradaptasi, kompleksitas, otonomi, kemampuan organisasi, dan tata cara atau prosedur dalam implementasi kebijakan. Dengan demikian, tergambar bahwa perombakan bukan semata-mata menggantikan orang, terlebih hanya mengakomodasi orang-orang pesanan, melainkan ujian independensi Jokowi sekaligus pertaruhan kredibilitas dan daya tahan pemerintahan yang dipimpinnya.

Jokowi kemungkinan akan menempuh dua cara. Pertama, mereposisi beberapa orang menteri dari satu pos kementerian ke kementerian lain. Publik tentu akan kecewa, jika beberapa orang yang dianggap tak berprestasi hanya direposisi guna mempertahankan politik representasi.

Kedua, mengganti beberapa orang menteri dari kalangan profesional atau dari kalangan parpol yang tingkat resistensi dari partai penyokongnya rendah dengan memasukkan orang-orang baru yang tetap memiliki kedekatan dengan partai tertentu. Ini tentunya soft strategy untuk tetap memelihara hubungan homeostatis dalam kekuasaan.

Pada akhirnya, semua kembali ke Jokowi karena dialah pemilik hak prerogatif. Tak mudah memang mengayuh kekuasaan di tengah tekanan banyak kepentingan. Inilah ujian sejarah sesungguhnya bagi kepemimpinan Jokowi untuk menjawab keraguan banyak kalangan.

Related

Opinion 6982636279717790309

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item