Menguji Pilkada Serentak
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 6 Agustus 2015 ) Fase perpanjangan p...

http://www.gungunheryanto.com/2015/08/menguji-pilkada-serentak.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 6 Agustus 2015)
Fase perpanjangan pendaftaran
pasangan calon kepala daerah di sejumlah daerah sudai usai, Senin (3/8). Saat pendaftaran
pilkada 26-28 Juli, ada sejumlah daerah yang pasangan calonnya kurang dari dua.
Inilah ujian awal daya tahan penyelenggaraan pilkada yang semestinya digelar di
269 daerah pada 9 Desember mendatang. Bagaimanapun, penyelenggaraan pilkada
serentak ini ibarat sebuah pertujunkkan kolosal yang melibatkan banyak aktor,
banyak kepentingan dan tentunya aneka ragam persoalan harian mulai dari teknis
prosedural hingga nilai substansial kehidupan. Banyak pihak menguji pilkada
serentak, mulai dari kandidat, penyelenggara, konsultan, hingga para mafia yang
kasuk-kusuk bergerak di lorong gelap demokrasi tingkat lokal.
Penunggang Bebas
Ada beberapa manuver para
politisi dan “pebisnis’ politik yang wajib diwaspadi dalam tahap pendaftaran
kandidat di pilkada serentak. Skenario permainan politik shadow candidate atau mendorong kandidat bayangan. Belakangan media
membahasnya sebagai kandidat boneka atau calon bohong-bohongan. Paling tidak
teridentifikasi ada tiga manuver skenario yang sepertinya dipakai para
petualang politik di beberapa daerah.
Pertama, memanfaatkan
celah beberapa daerah yang hanya memiliki calon tunggal di masa pendaftaran
awal sebelum perpanjangan waktu yang dibolehkan KPU. Di beberapa daerah krisis
pasangan calon disebabkan oleh keengganan parpol merugi dalam kompetisi karena
adanya pasangan calon yang sangat kuat. Jika
kuatnya kandidat disebabkan kerja nyata di masyarakat sehingga tingkat
popularitas, penerimaan, tingkat kesukaan dan tingkat keterpilihan khalayak
tinggi sekali, bisa dimaklumi. Hal ini, bisa saja menyebabkan pasangan lain menunggu
masa perpanjangan waktu pendaftaran atau mundur teratur.
Yang merusak demokrasi adalah
calon tunggal yang disebabkan praktik politik kartel. Politik dikuasai oleh
segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda
terbuka maupun tersembunyi dari elite lokal dan nasional dengan para
kolaboratornya melalui penguasaaan hampir seluruh partai-partai yang ada di
level daerah tempat dia bertarung. Dan Slater, dalam tulisannya Indonesia’s Accountability Trap: Party
Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004) menyebut
situasi semacam ini sebagai praktik demokrasi kolusif yang disebabkan oleh
jebakan politik kartel.
Politik dinasti yang eksesif
atau pun kekuatan politik transaksional yang sedemikian hegemonik, memosisikan
salah satu pasang melaju sendirian. Tentu biaya “operasi senyap” mencari
dukungan akan sangat tinggi sekali, mengingat mahalnya mahar yang harus
dibayar. Di masa perpanjangan waktu pendaftaran, bisa saja mereka memunculkan
pasangan lain sebagai kandidat bayangan atau boneka yang cost of entry atau biaya pertarungannya ditanggung oleh kandidat
yang sesungguhnya tunggal! Munculnya pasangan lain, sekedar menggugurkan syarat
formal bahwa pilkada baru bisa berjalan
jika ada kandidat lebih dari satu pasangan.
Kedua, kandidat
bersponsor artinya sebagai petarung sedari awal dia menjadi boneka pengusaha
atau “investor” politik yang punya kepentingan atas sejumlah proyek dan
kebijakan publik yang akan dibuat kepala daerah di daerah tersebut. Kita tak
menutup mata, di banyak daerah seperti halnya juga di level politik nasional,
ada peluang bagi para mafia mengusung proses pencalonan. Bahayanya adalah saat
kandidat yang didukung penunggang bebas ini terpilih, maka demokrasi akan
tersandera kleptokrasi.
Kleptokrasi bisa
dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang
berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Praktik
korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang
memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Istilah
kleptokrasi sendiri dipopulerkan dalam tulisan lawas Stanislav Andreski dalam Kleptocracy
or Corruption as a System of Government (1968) yang menggarisbawahi peran penguasa
atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri dan sekutunya.
Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan
pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.
Sebuah institusi kleptokrasi tentu hanya akan menghancurkan masa depan daerah
yang dipimpinnya. Proses pencalonan melakui skema hubungan saling menguntungkan
antara calon penguasa dan pengusaha hitam sejenis ini harus diinvestigasi
banyak pihak dalam rangka mengawal pilkada serentak yang transparan dan
demokratis.
Ketiga, kandidat
yang menjadi boneka penguasa sebelumnya yang tak lagi bisa bertarung karena
sudah menjabat dua periode kekuasaan. Banyak daerah yang kepala daerahnya
bermasalah, dan berupaya menutup akses publik atas sejumlah masalah yang
ditumbulkannya dengan cara mensponsori pasangan yang berpotensi menang. Umumnya
yang diberi dukungan adalah keluarga, kroni atau kader loyalis yang diinjeksi
dengan beragam sumberdaya politik untuk menang dalam pertarungan. Tujuan
utamanya adalah estapeta kekuasaan yang dikendalikan agar kepala daerah baru
yang berkuasa bisa menggaransi keamanan mantan pejabat dan kroninya setelah tak
lagi berada di tampuk kekuasaanya.
Tanggungjawab Parpol
Maraknya fenomena kandidat
boneka atau bayangan ini menuntut tanggungjawab partai politik sebagai
institusi yang harusnya melakukan kaderisasi politik di masyarakat. Saat ini,
nampak sekali parpol banyak yang abai dalam proses pencalonan. Di banyak daerah
kita menemukan parpol masih banyak yang mengusung politisi wakil, bukan
politisi ideolog dari partainya.
Kalkulasi ekonomi dan
kepentingan mahar politik, terasa dimana-mana. Dana internal parpol sangat tak
memadai untuk membiayai pertarungan, sehingga dukungan dari pihak eksternal
antaralain donatur dan para investor politik dianggap sebagai kelaziman.
Praktik ini, melahirkan perselingkuhan abadi penguasa-pengusaha yang kerap
mereduksi kesejatian demokrasi. Hal tersebut juga sering menjadi pembenar bagi
praktik kumulasi ekonomi para politisi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
mereka miliki. Dominannya demokrasi elektoral (electoral democracy) yang
kapitalistik dalam sistem politik kita
menjadi sumbatan nyata pelembagaan politik. Pilkada menjadi komoditi
dalam konsitusi rezim kapital. Konsekuensinya, parpol menjadi “mobil rentalan”
yang siap menghantarkan siapapun asal bisa menyewa dengan memberi mahar yang
mahal. Pemilu pun menjadi pasar lelang suara sehingga ongkos untuk penguasaan
pemilih menjadi sangat mahal.
Jika partai serius menyiapkan
diri menghadapi pilkada serentak, tentu tidak akan pernah ada ceritanya
beberapa daerah hanya memiliki satu pasangan kandidat saja. Sumberdaya manusia
yang punya integritas, kapasitas serta profesionalitas di luar prasyarat
popular, disukai, diterima dan berpotensi dipilih itu banyak sekali tersebar di
berbagai kantong masyarakat.
Di tengah situasi semacam ini,
dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan media massa dalam menelisik,
memberi masukan dan data untuk mengidentifikasi siapa saja di antara kandidat
yang sesungguhnya bayangan atau boneka pihak lain. Pengetahuan saja tak cukup,
butuh keterampilan untuk pengumpulan data dan jejaring publik guna
pengarusutamaan literasi politik di masyarakat.
Penyelenggara pilkada dalam hal
ini KPU dan Bawaslu juga harus memiliki daya tahan di tengah tekanan. Gelombang
protes dan ketidakpuasan akan datang silih berganti. Dibutuhkan sikap
independen dari para penyelenggara pilkada, berdiri di atas semua kepentingan
dan teguh mengacu pada aturan main yang sudah ditetapkan di UU No.8 Tahun 2015
dan diimplementasikan dalam Peraturan KPU (PKPU). Para penyelenggara pilkada di
daerah menjadi titik rawan beragam pelanggaran.
Pilkada serentak kali ini
menjadi ujian nyata proses konsolidasi demokrasi kita. Akankah bergerak
membaik, atau justru menjadi titik kekisruhan politik yang memiliki efek domino
bagi penyelenggaraan pilkada serentak di tahun-tahun mendatang. ***