"Politisi Wakil" di Panggung Pilkada Serentak

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2015 ) Satu tahapan Pilkada serent...



 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2015)

Satu tahapan Pilkada serentak yang sudah dilalui adalah pendaftaran calon kepala daerah. Beragam cerita mengemuka, mulai dari deretan nama para “petarung” yang siap berlaga dengan aneka jenis gayanya, hingga fenomena calon tunggal di beberapa daerah. Khusus untuk 13 daerah yang saat pendaftaran 26-28 Juli hanya ada satu pasang kandidat, KPU pun memberi perpanjangan waktu pendaftaran 1-3 Agustus. Kini, masih ada tujuh daerah yang memiliki hanya satu pasangan kandidat. Atmosfir politik pun memanas dan gaduh seiring dimulainya jalan panjang pemenangan.

Hal menarik dicermati adalah fenomena umum kandidat di banyak daerah pemilihan. Keterbelahan koalisi partai di level pusat, tak berimbas pada peta di daerah. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) luntur berbaur seiring menguatnya pragmatisme parpol dan jaringan yang dimiliki para kandidat di daerah. Untuk kesekian kalinya, praktik politik kita tak menunjukkan pilihan oposisi yang tegas dan konsisten.

Pilihan partai politik mengusung paket pasangan calon kepala daerah masih dominan ditentukan oleh keberadaan politisi wakil bukan politisi ideolog. Banyak calon tanpa harus berkecimpung dan berkeringat dalam mekanisme kerja kepartaian bisa dengan nyaman dan aman tampil menjadi kandidat. Ada yang sebelumnya berprofesi artis, mantan petinggi TNI/POlri, pengusaha, tokoh agama, dokter akademisi dam lain-lain. Tak ada yang salah dalam konteks konstitusionalitas karena semua orang sama di muka hukum dan pemerintahan. Hanya saja terjadi lompatan politik sehingga partai terkesan tak mengindahkan historisitas berjenjang kaderisasi internal mereka sendiri.

Ada dua tipe politisi. Pertama, politisi wakil dimaknai sebagai politisi yang menjadi perwakilan artikulasi politik individu maupun kelompok. Biasanya, mendapatkan keuntungan hak istimewa untuk menjadi kandidat tanpa keringat. Modalnya yang sering terjadi adalah transaksi, partai menukar tiket yang diberikan kepada politisi wakil dengan sejumlah “mahar politik”. Orang baik dan bersih pasti terkendala dalam pencalonan akibat praktik politik uang seperti ini.  Kedua, politisi ideolog merepresentasikan nilai-nilai normatif dan loyalitas individu atas perjuangan politik kolektif yang diusung partai politik bersangkutan. Meskipun politisi wakil dan ideolog membawa label partai yang sama, substansi dan pembobotan aktivitasnya tentu sangat berbeda.

Tentu saja, mencalonkan diri sebagai bentuk partisipasi patut diapresiasi. Hutington dan Nelson dalam buku lawasnya No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries (1976), menyebutan fokus utama partisipasi politik adalah usaha mempengaruhi alokasi otoritatif nilai-nilai masyarakat. Hanya saja, keberadaan politisi wakil dalam partisipasi politiknya melahirkan gejala tak sehat. Politik sudah pasti berbiaya tinggi, karena pola hubungan transaksional antara kandidat dengan partai pengusungnya. Dalam jangka panjang melemahkan institusionalisasi politik di parpol. Harusnya proses alamiah kaderisasi politisi itu wajib melalui tiga level. Ketiga proses itu adalah rekrutmen,  penguatan kapasitas kader dalam rentang waktu memadai, dan distribusi serta alokasi kader potensial ke sejumlah jabatan publik di internal maupun eksternal organisasi, termasuk di pemerintahan dan legislatif. 

Gejala buruk lainnya adalah kesenjangan antara kandidat dengan konstituennya. Di beberapa daerah, kita menyaksikan partai secara pragmatis menyodorkan nama selebriti maupun tokoh popular dan berduit lainnya ke  daerah yang sesungguhnya mereka sendiri jarang bersentuhan. Kesenjangan ini menimbulkan praktik politik berbiaya tinggi yang penuh paradoks dengan nilai-nilai ideal demokrasi. Hal menyakitkan lagi, politisi wakil bisa saja dijadikan komoditi, pelengkap penderita, dan dieksploitasi secara ekonomi oleh para pengusungnya. Pilkada bagaimana pun momentum penting yang menentukan nasib banyak rakyat di daerah, oleh karenanya partai harus serius menyiapkan kader terbaiknya bukan sebaliknya menjadikan partai sekedar “mobil rentalan”. ***

Related

Opinion 5116275483291029006

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item