Tanggung Jawab Partai Politik
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Tempo, 20 Agustus 2015 ) Pilkada serentak mendapat ujian...

http://www.gungunheryanto.com/2015/08/tanggung-jawab-partai-politik.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Tempo, 20 Agustus 2015)

Saat membangun koalisi dalam
memajukan kandidat, partai politik kerapkali
terlalu nyaman dengan perspektif elite bukan dalam kesadaran penguatan dan
konsolidasi demokrasi. Dalam utak-atik koalisi parpol perspektif elite, yang
menjadi pertimbangan prospek mengusung kandidat biasanya adalah strategic entry yang lazim dikenal dengan istilah struktur
peluang. Meminjam analisis Gary W Cox
dalam bukunya Making Vote Count soal strategic
entry biasanya dihitung tiga
pertimbangan penting kalkulasi politik.
Pertama, biaya memasuki arena (cost of entry), hal ini terkait dengan siapa
pemodal dan berapa yang harus dikeluarkan salama pilkada berlangsung. Dalam
konteks inilah, kerapkali parpol terjebak ke dalam logika kapitalistik, dan
menjadikan pencalonan dalam formula M-C-M (money-commodity-more
money). Sehingga, istilah mahar politik, dan segala jenis transaksi
berbiaya tinggi dianggap wajar, sah dan apa adanya oleh parpol. Banyak parpol
yang enggan mengusung kandidat meski orang terbaik di internal partainya,
karena logika “jualan” kursi kandidat semacam ini.
Kedua, beragam keuntungan yang
didapat jika duduk di kekuasaan (benefits
of office). Hal ini terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan, jika
kandidat memenangi kontestasi. Tak salah memang partai berburu kekuasaan,
karena sejatinya salah satu tujuan berpartai adalah memperoleh kekuasaan.
Tetapi, pragmatisme partai dalam memilih kandidat yang berpotensi menang inilah
yang menyisakan masalah. Di banyak daerah, partai ramai-ramai berburu petahana
atau orang-orang yang memiliki uang. Dampaknya, terjadi konsentrasi kekuatan
pada satu pasangan kandidat. Rivalitas terbuka belum menjadi tradisi, sehingga
persaingan di banyak daerah melahirkan politik kartel. Politik ditentukan
segelintir elite parpol yang menjadi kolaborator dengan orang atau kekuatan ekonomi
serta menutup akses dari kompetisi yang sehat dan transparan. Akibatnya, di
daerah tersebut sulit mencari kandidat lain, jika pun ada tak lebih dari
sekedar kandidat boneka yang dipasang hanya untuk memuluskan kemenangan
kandidat sesungguhnya.
Ketiga, kemungkinan perolehan
dukungan dari para pemilih (probably of
receiving electoral support). Ini terkait dengan paket figur yang dibuat
apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak. Saat pendaftaran sudah
diperpanjang dua kali, beberapa elite parpol dengan ringan berargumentasi,
mereka tak ingin mengambil resiko memajukan kandidat yang berpeluang kalah.
Logika ini tentu saja dangkal dan menggelikan. Kenapa mereka baru sekarang
mengungkapkan hal tersebut? Bukankah sedari awal harusnya parpol mencari dan
menyeleksi sejumlah orang di dalam maupun di luar parpol yang memiliki basis
dukungan nyata di masyarakat. Tak mudah memang, tetapi sejatinya parpol punya
waktu sangat panjang dan leluasa untuk mengidentifikasi sejumlah anak bangsa
yang memiliki kapasitas, rekam jejak dan memenuhi prasyarat perhelatan
demokrasi elektoral seperti disukai, diterima, popular dan memiliki tingkat
keterpilihan yang tinggi.
Partai susah mendapatkan orang
terbaik yang bisa bertarung karena mereka kerapkali abai dengan proses panjang.
Maunya proses pencalonan berjalan instan, menghasilkan uang dan berpeluang
menang. Wajar jika semua bertumpuk di injury
time. Proses belum berjalan alamiah bergerak dari bawah. Logika elite masih
dominan, sehingga penunjukkan atau rekomendasi berjalan linear, dari pusat ke
daerah tanpa sebuah proses komunikasi timbal balik yang memadai. Dampaknya, di
beberapa daerah ditemukan sejumlah masalah, antaralain susahnya mencari
kandidat kuat yang siap menjadi petarung sejati bukan petarung bayangan.
Saatnya publik membuat perhitungan!
Caranya, identifikasi sejumlah parpol di
daerah yang sesungguhnya punya peluang mencalonkan kandidat tetapi tidak
mengambil peluang tersebut. Publik berhak mempublikasikan sejumlah parpol
tersebut melalui beragam kanal media, sehingga masyarakat tahu siapa saja di
antara mereka yang abai dengan tanggungjawabnya kepada publik. Parpol adalah
pihak paling bertanggungjawab dalam mengawal proses demokrasi kita baik
prosedural maupun substansial.