Variabel Komunikasi Dalam Penanganan Konflik Pilkada

  Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2015 ) Penyelenggaraan Pilkada ser...



 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2015)

Penyelenggaraan Pilkada serentak memasuki tahapan menentukan. Setelah gonjang-ganjing pendaftaran karena masih adanya calon tunggal di beberapa daerah, perhatian publik kini beralih ke sejumlah pasangan calon yang ditetapkan lolos oleh KPU menjadi pasangan kandidat yang akan bertarung pada 9 Desember. Merujuk ke data KPU (25/08), terdapat 62 pasangan bakal calon yang dinyatakan tak memenuhi syarat serta  784 pasangan calon memenuhi syarat di 261 daerah yang akan menggelar Pilkada.

Pasangan calon yang lolos, kini telah mengidentifikasi dirinya dengan atribut pertarungan elektoral. Nomor kandidat, style berpakaian,  retorika sloganistik, dan beragam wacana kampanye untuk memersuasi pemilih seolah menandai perang citra dimulai. Pilkada serentak sejatinya merupakan ikhtiar bangsa ini untuk melakukan transformasi kesejarahan melalui konsolidasi demokrasi yang berlangsung tak hanya di pusat melainkan juga di daerah. Oleh karenanya, Pilkada seharusnya menghadirkan politik kerelawanan dan partisipasi politik warga. R.A Dahl, dalam bukunya Dilemas of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) memberi penekanan bahwa demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi.

Dengan demikian, kualitas demokrasi di pilkada serentak tak hanya ditentukan oleh pasangan calon yang bertarung melainkan juga oleh partisipasi masyarakat. Partisipasi mewujud secara konvensional lewat kemauan memilih di bilik suara dan non konvensional seperti tumbuhnya sikap kritis dan keterlibatan warga dalam pengawasan penyelengaraan pilkada.

Satu hal yang harus dipahami semua pihak adalah pentingnya variabel komunikasi  dalam mengantisipasi secara dini konflik pilkada serentak. Pertama, baik KPU, Bawaslu/Panwas maupun pasangan calon yang tak lolos harus berkomunikasi dengan intens dan berpegang pada asas komunikasi yang paling hakiki yakni pemahaman bersama (mutual understanding). Mereka yang tak lolos tahap pencalonan pasti kecewa dan marah. Tetapi ekspresi kekecewaan dan kemarahan harus disalurkan lewat kanal aturan sesuai hukum dan perundang-undangan. Misalnya, sikap koperatif untuk melakukan protes dan pembelaan melalui mekanisme sengketa pencalonan. Bukti dan argumentasi menjadi hal utama dalam persengketaan.

Bukan sebaliknya pasangan calon memprovokasi masyarakat sehingga menyulut konflik dan perbuatan kriminal. Sebaliknya, penyelenggara pemilu juga harus imparsial dan menggunakan komunikasi yang mudah dicerna,  verifikatif, transparan, dan konsisten merujuk ke aturan. Kesenjangan komunikasi bisa memicu konflik.

Kedua, pasca penetapan pencalonan ada tahap kampanye mulai dari 27 Agustus hingga 5 Desember yang di dalamnya juga terdapat debat publik antar pasangan calon.  Kampanye hakikatnya tindakan komunikasi persuasif kepada pemilih. Dalam praktiknya, tak hanya kampanye positif yang dilakukan para kandidat melainkan juga kampanye negatif yakni menyerang kandidat lawan dengan data, maupun kampanye hitam yang menyerang dengan isu, gosip ataupun  rumor.

Realitas kampanye kerap bertemali dengan propaganda, sehingga suasana politik biasanya memanas. Dalam konteks inilah variabel komunikasi harus berperan. Kampanye bukan semata taat aturan, tetapi juga harus mengembangkan pesan-pesan persuasif berbasis program, logika, orientasi pemecahan masalah, responsif akan kebutuhan masyarakat dan berbalut etika serta keadaban publik. Agresivitas verbal berlebihan terlebih dengan cara membunuh karakter orang lain secara kasar, hanya menghadirkan jiwa-jiwa petarung yang gersang hingga mudah dibakar!.

Ketiga, dalam tahap pemungutan suara dan proses-proses  politik setelahnya termasuk tahap sengketa hasil pemilu, komunikasi juga harus menjadi prioritas dalam penyelsaian masalah. Peran-peran informasi yang melekat dalam tatakelola komunikasi organisasi penyelenggara pilkada harus optimal selain juga media massa yang turut berpartisipasi menjaga suasana kompetitif tapi tetap kondusif. Media wajib menjadi partisipan demokrasi, bukan provokator konflik horisontal. **

Related

Opinion 1284512113905155890

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item