Variabel Komunikasi Dalam Penanganan Konflik Pilkada
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2015 ) Penyelenggaraan Pilkada ser...

http://www.gungunheryanto.com/2015/08/variabel-komunikasi-dalam-penanganan.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 27 Agustus 2015)

Pasangan calon yang lolos, kini
telah mengidentifikasi dirinya dengan atribut pertarungan elektoral. Nomor
kandidat, style berpakaian, retorika sloganistik, dan beragam wacana
kampanye untuk memersuasi pemilih seolah menandai perang citra dimulai. Pilkada
serentak sejatinya merupakan ikhtiar bangsa ini untuk melakukan transformasi
kesejarahan melalui konsolidasi demokrasi yang berlangsung tak hanya di pusat
melainkan juga di daerah. Oleh karenanya, Pilkada seharusnya menghadirkan
politik kerelawanan dan partisipasi politik warga. R.A Dahl, dalam bukunya Dilemas
of Pluralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) memberi penekanan bahwa
demokrasi melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi.
Dengan demikian, kualitas
demokrasi di pilkada serentak tak hanya ditentukan oleh pasangan calon yang
bertarung melainkan juga oleh partisipasi masyarakat. Partisipasi mewujud
secara konvensional lewat kemauan memilih di bilik suara dan non konvensional
seperti tumbuhnya sikap kritis dan keterlibatan warga dalam pengawasan
penyelengaraan pilkada.
Satu hal yang harus dipahami semua
pihak adalah pentingnya variabel komunikasi dalam mengantisipasi secara dini konflik pilkada
serentak. Pertama, baik KPU, Bawaslu/Panwas
maupun pasangan calon yang tak lolos harus berkomunikasi dengan intens dan
berpegang pada asas komunikasi yang paling hakiki yakni pemahaman bersama (mutual understanding). Mereka yang tak
lolos tahap pencalonan pasti kecewa dan marah. Tetapi ekspresi kekecewaan dan
kemarahan harus disalurkan lewat kanal aturan sesuai hukum dan
perundang-undangan. Misalnya, sikap koperatif untuk melakukan protes dan
pembelaan melalui mekanisme sengketa pencalonan. Bukti dan argumentasi menjadi
hal utama dalam persengketaan.
Bukan sebaliknya pasangan calon
memprovokasi masyarakat sehingga menyulut konflik dan perbuatan kriminal.
Sebaliknya, penyelenggara pemilu juga harus imparsial dan menggunakan
komunikasi yang mudah dicerna,
verifikatif, transparan, dan konsisten merujuk ke aturan. Kesenjangan
komunikasi bisa memicu konflik.
Kedua, pasca penetapan
pencalonan ada tahap kampanye mulai dari 27 Agustus hingga 5 Desember yang di
dalamnya juga terdapat debat publik antar pasangan calon. Kampanye hakikatnya tindakan komunikasi persuasif
kepada pemilih. Dalam praktiknya, tak hanya kampanye positif yang dilakukan
para kandidat melainkan juga kampanye negatif yakni menyerang kandidat lawan
dengan data, maupun kampanye hitam yang menyerang dengan isu, gosip ataupun rumor.
Realitas kampanye kerap
bertemali dengan propaganda, sehingga suasana politik biasanya memanas. Dalam
konteks inilah variabel komunikasi harus berperan. Kampanye bukan semata taat
aturan, tetapi juga harus mengembangkan pesan-pesan persuasif berbasis program,
logika, orientasi pemecahan masalah, responsif akan kebutuhan masyarakat dan
berbalut etika serta keadaban publik. Agresivitas verbal berlebihan terlebih
dengan cara membunuh karakter orang lain secara kasar, hanya menghadirkan
jiwa-jiwa petarung yang gersang hingga mudah dibakar!.