AWASI KETAT POLITIK DINASTI

Awasi Ketat Politik Dinasti Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Artikel ini telah dipublikasikan di Media Indonesia, Sabtu, 11 Juli 2015) PU...

Awasi Ketat Politik Dinasti

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto

(Artikel ini telah dipublikasikan di Media Indonesia, Sabtu, 11 Juli 2015)



PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah menuai kontroversi. MK menilai aturan pembatasan calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana melanggar konstitusi. Dalam konteks politik dinasti itu, kita harus membahas dua hal pokok, yakni soal moralitas politik dan konstitusionalitas.Dalam putusannya, MK fokus pada aspek konstitusionalitas terutama saat meletakkan aturan UU Pilkada dengan semangat UUD 1945. Sementara itu, problem utama politik dinasti terletak pada moralitas politik para politikus saat berburu kekuasaan di banyak daerah.Birokrasi kartel Jika diselisik, sejak reformasi hingga sekarang, banyak sekali kepala daerah yang dipertukarkan dari, oleh, dan untuk keluarga kepala daerah petahana. Karena melihat gejala tersebut, UU Pilkada secara progresif mengatur soal pelarangan keluarga kepala daerah petahana mencalonkan diri. Caranya ialah mengatur keluarga petahana baru boleh mencalonkan diri setelah terhalang satu periode jabatan atau lima tahun.

Hal tersebut dinilai tepat karena dapat menghadirkan proses pilkada yang lebih demokratis. Praktik politik dinasti di Indonesia menunjukkan preseden buruk bagi regenerasi kepemimpinan di daerah. Politik dinasti secara faktual telah menciptakan sistem feodal, bersifat patron-client, dan membentuk hierarki kekuasaan berbasis struktur sosialtradisional. Dampaknya yang pertama ialah akses integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas.

Warga kerap dipaksa masuk ke pilihan politik yang terbatas. Pasalnya, akses dikendalikan sedikit elite yang membentuk sistem protektif keluarga, kerabat, dan teman dekat. Hal yang sangat mencederai moralitas politik ialah saat politik dinasti menyuburkan birokrasi oligarki. Menurut Adam Przeworski dalam bukunya Sustainable Democracy (1999), birokrasi oligarki membentuk kartel yang berkewajiban menentang para pesaingnya sekaligus membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara sesama anggota kartel.

Bahaya birokrasi kartel ialah kekuasaan menjadi proyek individual para elite keluarga yang mengendalikan parpol beserta asosiasi-asosiasi korporasinya. Kedua, dinasti politik juga kerap menjadi `penjaga setia' kekuasaan korup sebelumnya. Artinya, penguasa daerah yang korup bisa menyelamatkan jejak kekuasaannya yang buruk lewat pengendalian orangorang yang berkuasa setelah turun dari jabatannya. Politik dinasti di Indonesia memang masif dan eksesif di berbagai daerah. Yang sangat mencolok mata, misalnya, dinasti Ratu Atut Chosiah di Banten dan Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan.

Namun, di sejumlah daerah, praktik politik dinasti pun lazim kita temukan.Misalnya, Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin (menantu mantan Bupati Bekasi), Bupati Kendal Widya Kandi (istri mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro), Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari (anak mantan Bupati Kukar Syaukani HR), Bupati Lampung Selatan, Ryco Mendoza (putra Gubernur Lampung Sjahruddin ZP), Bupati Pesawaran, Aries Sandi Dharma (anak Bupati Tulang Bawang), Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti (anak Bupati Tabanan sebelumnya), Bupati Kediri Haryanti Sutrisno (istri bupati sebelumnya), Bupati Bantul Sri Suryawidati (istri bupati sebelumnya, Idham Samawi), Bupati Indramayu, Anna A Sophanah (istri bupati sebelumn Irianto MS Syafiuddin), dan Wali nya Kota Cilegon, Imam Aryadi (anak wali kota sebelumnya).

Politik dinasti di Indonesia sering merusak sistem akibat hasrat kekuasaan keluarga yang tak mengindahkan kapasitas dan kapabilitas orang yang didukung untuk menjadi pemimpin.Banyak calon yang tidak siap, tetapi karena diinjeksi kemudahan, kekuatan jaringan lokal, pamor keluarga yang menjadi petahana, dan seabrek fasilitas yang telah disiapkan untuk memuluskan estafet kekuasaan, akhirnya keluarga petahana sukses menjadi kepala daerah. Proses yang asal jadi serta manajemen birokrasi kartel itulah yang menjadi wajah buruk politik dinasti di Indonesia sehingga mendapat resistensi dan minta dibatasi.Konstitusionalitas Dari perspektif konstitusionalitas, memang ada masalah saat keluarga petahana dilarang mencalonkan diri.Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Jadi, dapat dipahami, setiap WNI memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah asalkan memenuhi persyaratan.Pelarangan seseorang untuk mencalonkan diri sebagai kandidat memiliki nuansa diskriminatif dan dianggap MK bertentangan dengan Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945. Bunyi pasal tersebut ialah setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Politik berbasis kekerabatan secara prinsip sulit diamputasi karena hasrat berpartisipasi dalam politik melekat pada tiap individu. Seorang anak atau kerabat kepala daerah yang memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai kepala daerah tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat politiknya.

Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan pilkada di banyak daerah sekarang ini lebih disebabkan banyaknya keluarga inti yang menjadi kandidat karbitan! Mereka tidak memiliki histori berjenjang sebagai politisi atau pengelolaan urusan publik, tapi tiba-tiba menjadi kandidat. Proses publisitas dan politik uang menjadi dominan untuk memenangkan keluarga inti yang diusung petahana. Risikonya, politik menjadi sangat transaksional, high cost, dan menempatkan suara rakyat dalam skenario manipulasi sistemis.

Oleh karena itu, mekanisme mendesak yang perlu diperbaiki dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang kandidat di Pilkada ialah pengetatan dan penguatan bobot syarat-syarat pencalonan menyangkut kapasitas, kapabilitas, dan rekam jejak calon kepala daerah. Jangan sampai hanya karena mereka seseorang anak, ipar, besan, mertua, atau pun kerabat dekat lain dari petahana, mereka bisa melenggang dengan mudah menjadi kandidat. Harus ada upaya memperkuat sistem pengawasan, mempertegas sanksi, dan mekanisme pemberian sanksi saat proses pilkada berlangsung.

Parpol wajib bertanggung jawab, sebab salah satu penyumbang suburnya politik dinasti ialah parpol yang tidak menjalankan fungsifungsi dengan baik. Selain itu, dibutuhkan peran aktif dan kritis dari pemilih. Jangan sampai pemilih hanya menjadi objek dan pelengkap penderita dari gurita politik dinasti di daerahnya.
 

Related

Opinion 2129928258957128650

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item