SMI DAN PEMILU 2014

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 10/09/2011) Pemilu 2014 masih lama, tetapi atmosfir rivalitas antar k...


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 10/09/2011)
Pemilu 2014 masih lama, tetapi atmosfir rivalitas antar kekuatan politik sudah gegap gempita. Segala teknik dan strategi menjual pesona kandidat sekaligus mengganjal lawan terpapar dalam bentuk halus hingga kasar. Demokrasi elektoral mewujud dalam ‘pasar pertaruhan’ masa depan Indonesia yang disesaki ragam publisitas, propaganda hingga uji coba ektabilitas partai dan calon presiden (capres). Bongkar pasang line-up kandidat utama maupun bayangan (shadow candidat) dijajaki lewat opini publik. Fase ini, seolah tak terhindarkan dalam konteks pemasaran politik, perang urang saraf, unjuk kekuatan, memperkuat percaya diri sekaligus determinasi para kontestan.
Memosisikan SMI
Sri Mulyani Indrawati (SMI) merupakan satu diantara kandidat yang sudah ‘berbunyi’ nyaring di media dan perbincangan publik. Belakangan, berbagai forum diskusi mulai dari kampus hingga warung kopi mulai menyebut peluang dan tantangan SMI menuju 2014. Dia baru diusung oleh Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) yang memasarkan SMI sebagai icon sekaligus magnet baru dalam bursa pemilihan capres 2014. Tentu, jika SMI maju, maka dia dan partai pengusungnya harus bekerja keras dalam meramu strategi untuk memosisikan dirinya agar diperhitungkan.
Banyak harapan muncul agar SMI di Pemilu 2014 tampil dalam kapasitasnya sebagai penantang. Tentu, syarat bagi seorang penantang tidaklah mudah, karena harus mengidentifikasi dirinya sebagai sosok berbeda yang membawa harapan sekaligus menggerakan.
Pengalaman dari tradisi pemilu di Amerika, sosok penantang yang sukses biasanya berporos pada tawaran perubahan. Pada tahun 1976 Jimmy Carter memenangi rivalitasnya atas Gerald Ford karena mampu mengkapitalisasi citranya sebagai penantang melalui slogan “A Leader, for a Change”. Pada tahun 1992, Bill Clinton yang saat itu Gubernur Arkansas menjadi penantang utama George W Bush lewat mantra “Hope, Change, and Unity”. Pola serupa juga dijual Obama pada Pemilu 2008. Secara impresif Obama tampil dengan formula sang penantang “Change, We Believe in!”. Dalam salah satu kampanyenya di Ohio, Obama berucap “jangan lengah, kita akan mengubah sejarah. Warga lelah dengan orang yang sama dan tak punya ideologi yang pas untuk mengatasi masalah...”.Bukan slogan dan ucapan retoris yang semestinya kita jadikan pelajaran, melainkan cara membangun impresi yang kuat, solid dan menggerakan.
Untuk menjadi sosok penantang butuh karakter kepemimpinan yang kuat, tegas, bersih dan program-program transformatif sehingga bisa menghimpun dukungan yang dibutuhkan untuk membentuk kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness). Oleh karenanya, penantang harus piawai menghimpun kepercayaan publik (public trust) dan menyolidkan harapan akan perubahan. Visi retoris yang dibangun bukan gugusan konsep normatif dan abstrak melainkan sesuatu yang terjangkau, operasional dan terasa dekat dengan orientasi kebutuhan khalayak.
Peluang dan Tantangan

Saat ini, sebenarnya para penantang memiliki panggung di tengah frustasi masyarakat atas orientasi kepemimpinan yang ada. Menarik membaca beragam jajak pendapat yang telah dipublikasikan lembaga-lembaga riset opini publik. Garis merahnya hampir senada, bahwa trend memudarnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara negara tidak terlepas dari melemahnya kepemimpinan di negeri ini. Tidak ada sosok yang mampu menjadi simpul pengikat kekuatan masyarakat, sehingga bangsa ini mengalami krisis orientasi. Banyak masyarakat yang menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Setelah permerintahan SBY periode kedua berusia 21 bulan, tingkat kepuasan publik pada SBY merosot tajam hingga di bawah angka psikologis 50 persen. Turunnya tingkat kepuasan masyarakat pada kepemimpinan SBY, tak terlepas dari adanya disparitas antara harapan dan kenyataan yang ada.
Situasi ini, secara faktual melahirkan disonansi kognitif yang kian meluas. Leon Festinger dalam buku lawasnya, A Theory of Cognitive Dissonnace (1957) menyebutkan, disonansi kognitif sebagai perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh sikap, pemikiran dan prilaku yang tidak konsisten. Kian hari harapan untuk perubahan kian menipis, sebaliknya tingkat disonansi (magnitude of dissonance) meningkat pesat. Kondisi ini, memunculkan harapan adanya sosok baru yang lebih baik dan menjanjikan.
Nama SMI disebut banyak pihak sebagai salah satu kandidat berpeluang menuju RI-1. Rekam jejak di birokrasi pemerintahan dianggap cukup memadai mulai dari Mentri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bapennas, Mentri Keuangan dan Plt. Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). SMI juga relatif bisa diterima dalam pergaulan internasional terlebih posisinya saat ini sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia memungkinkan SMI mengembangkan jejaring yang lebih luas. Modal politik SMI semakin diperhitungkan karena secara psikopolitis kerap diposisikan sebagai orang yang dikorbankan dari KIB II akibat ketegasan SMI mengusik kelompok kuat mitra penguasa. Kita tentu ingat faktor hampir serupa pernah dialami SBY. Dia mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam pada 11 Maret 2004. Hal tersebut, melahirkan simpati yang meluas dan turut menyumbang peningkatan popularitasnya.
Tapi jika melihat sejumlah tantangan di depan, sulit rasanya bagi SMI memenangi Pemilu 2014. Pertama, dalam jangka pendek Partai SRI yang mengusung SMI harus melampaui aturan keparpolan seperti diatur UU Nomor 2 tahun 2011. Jika pun lolos, Partai SRI masih dihadang sejumlah regulasi lain misalnya ambang batas parlemen (parliamentary treshold) dan terpenuhinya syarat untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres. Proses-proses itu membutuhkan jejaring yang tidak sederhana.
Kedua, SMI pasti dihadang lagi kasus Century yang akan dihidupkan lawan politiknya. Apakah skandal Century ini akan menghabisi langkah pencapresan SMI, atau sebaliknya membawa berkah popularitas yang tak pernah dibayangkan banyak pihak, yakni icon tokoh yang dikorbankan. Ketiga, SMI akan kesulitan membangun basis massa pendukung dan menerjemahkan figurnya agar tak elitis dan hanya diterima kalangan menengah terdidik. Pemilih di Indonesia 44 persen berpendidikan rendah, sementara visi retoris dan tema fantasi yang dibangun SMI masih bercitarasa kelompok mapan, perkotaan dan terdidik. Keempat, SMI juga harus bisa menepis stigma yang kini melekat kuat pada dirinya, bahwa pencalonan SMI disponsori pihak asing. Semoga saja tidak benar! ***
Tulisan ini bisa diakses di web SINDO:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/426557/

Related

Opinion 5262725482081289374

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item