ARAH POLITIK KAUM MUDA

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 27/10/2011) AKHIR-akhir ini, gerakan kaum muda perlahan mulai...


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Pelita Online, 27/10/2011)
AKHIR-akhir
ini, gerakan kaum muda perlahan mulai menggeliat kembali seiring dengan meluasnya kekecewaan masyarakat pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski sifatnya masih sporadis dan mengusung tema yang berbeda-beda, alurnya mulai jelas: kaum muda skeptis bahkan pesimis pada pemerintahan SBY yang sudah berjalan 7 tahun.
Bandul kekuasaan SBY lebih mengarah pada politik kaum elit dan menempatkan rakyat pemilik mandat di wilayah pinggiran. Salah satu contoh politik kaum elit yang dijunjung SBY adalah reshuffle yang baru saja dilakukan. Perombakan kian meneguhkan dominasi elit parpol dalam kabinet sehingga wajar jika postur birokrasi-oligarkis berporos pada politik representasi. Dalam konteks situasi politik yang sedang mengalami sumbatan seperti sekarang, kaum muda seyogyanya meneguhkan kembali arah politiknya agar tetap memberi kontribusi pada bangsa dan negara.
Spirit Sumpah Pemuda
Pada momentum Hari Sumpah Pemuda kali ini, ada baiknya kita melakukan refleksi kembali munculnya spirit dan kekuatan politik pemuda yang telah menghantarkan NKRI sperti sekarang. Sedikit flashback sejarah nasional kita, artikulasi semangat pemuda Indonesia tak hanya dengan mengangkat senjata tapi dengan pemikiran dan pencerahan. Caranya, tentu saja melalui konsolidasi kekuatan personal dan organisasional yang memiliki spirit perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa ini tanpa pamrih berlebih.
Pada tahun 1925 para pemuda yang terhimpun dalam Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda, telah melahirkan Manifesto Politik yang intinya menegaskan prinsip perjuangan yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Konggres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 menjadi momentum lanjutan dari artikulasi politik kaum muda yang luar biasa. Sebuah manifesto dari para pemuda menjadi pintu menentukan bagi proses ikrar bersama sebuah masyarakat negara-bangsa (nation-state) yang berslogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa" yakni Indonesia. Momentum ini melahirkan konsolidasi kekuatan politik pemuda untuk sama-sama memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan negara yang dicita-citakan. Kohesivitas kebangsaan dalam bingkai kepemudaan saat itu, mampu melintasi fragmentasi kepentingan primordial, etnis, dan ideologi. Singkatnya, para pemuda bisa menyatu dalam keberbedaan.
Proses berdemokrasi yang dinamis di setiap era yang bangsa Indonesia lalui, kerapkali melahirkan situasi krisis. Sejarah pun mencatat, setiap krisis muncul dan setiap perubahan era politik di negeri ini, senantiasa membutuhkan kontribusi politik kaum muda.
Presiden Soekarno sempat berujar “Berikan kepadaku 10 pemuda, maka akan ku ubah dunia”. Sebuah pernyataan retoris yang menekankan optimisme, jika kaum muda mau dan mampu membangun kapasitas individual mereka, tentu para pemuda ini akan menjadi sebuah harapan bagi berbagai perbaikan bangsa dan negara ini.
Politik para pemuda kerapkali mengalami dilema antara perjuangan idealisme dengan fakta politik yang berkembang. Biasanya ada 3 faktor yang kerap mereduksi idealisme para pemuda. Pertama, menguatnya kembali referent power yakni banyaknya politisi muda di partai politik, DPR maupun di birokrasi yang muncul ke permukaan karena menyandarkan dirinya ke kekuataan politik kerabat, patron politik dan nepotisme. Menguatnya kembali fenomena ini bisa kita amati di Pemilukada, Pemilu legislatif 2009, hingga proses regenerasi di tubuh parpol. Kekuataan “garansi” berbasis geneologi politik seolah mengingatkan kita pada saat Orde Baru sedang berjaya.
Kedua, dorongan rasionalitas instrumental yang kian mengental. Hal ini dipicu oleh banyaknya para petualang politik yang sudah kadung dilabeli “aktivis” atau “mantan aktivis” yang justru meruntuhkan citra politik pemuda yang idealis menjadi machieavellist. Migrasi vertikal mantan aktivis masuk ke DPR maupun ke birokrasi ternyata bukannya mengubah kondisi menjadi lebih baik, melainkan kian meneguhkan wajah buram politik di level suprastruktur. Bahkan ada kecenderungan politisi muda di DPR maupun di birokrasi, tak berbeda dengan politisi tua-kawakan yang juga menyandarkan kiprah politiknya pada persekongkolan jahat dengan cara ‘bancakan’ uang rakyat. Kasus Nazaruddin menjadi potret buram kiprah politisi muda.
Ketiga, kian marginalnya politik kerja dilakukan oleh para politisi muda dan banyak beralih ke politik citra yang kerap melahirkan disonansi kognitif di masyarakat. Tak dinafikan, di era industri media yang gegap gempita sosok politisi muda menjadi icon yang layak dijual. Kita bisa melihat, hampir setiap hari politisi muda kita live talkshow di televisi, radio, berkomentar di koran dan internet. Tetapi berapa banyak politisi muda yang memilih jalan hening bekerja untuk rakyat pedalaman, mengagregasi kepentingan politik di basis konstituennya?
Revitalisasi Politik
Kiprah politik kaum muda tak hanya diukur dari kuantitas melainkan kualitas kerjanya. Saat ini, kita butuh revitalisasi gerakan politik kaum muda untuk menghidupkan kembali semangat pencerahan yang belakangan tertutupi pekatnya politik transaksional.
Pertama, kita harus merevitalisasi kembali asketisme politik yang saat ini sudah dianggap utopia oleh banyak pihak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna. Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah wertrationalitat atau rasionalitas-bernilai. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius.
Kedua, arah politik kaum muda harus selaras dengan denyut kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Artinya, kaum muda harus menjadi katalisator perubahan yang pro rakyat, meski pun harus berhadap-hadapan dengan rezim berkuasa. ***
http://www.pelitaonline.com/read-analisis-berita/9348/arah-politik-kaum-muda/
Sumber gambar:
www.budiutomo.com

Related

Opinion 8967787382111101904

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item