KABINET MINUS HARAPAN

Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 22 Oktober 2011) Seperti yang diprediksi banyak pihak, kegaduhan reshu...


Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 22 Oktober 2011)
Seperti yang diprediksi banyak pihak, kegaduhan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II hanya memuaskan segelintir elit kekuasaan, tetapi tidak memiliki impresi kuat terlebih memberi harapan baru bagi masyarakat. Prosesi politainment yang gegap gempita, lama, dan mengharubiru tak lebih dari sekedar ‘mainan’ politik representasi di penghujung kekuasaan SBY-Boediono. Benang merah perombakan kian mengukuhkan jati diri kepemimpinan SBY yang sangat kompromistis dan mengedepankan perfeksionisme instrumental daripada perspeksionisme substansial.
Orientasi Perombakan
Kabinet baru hasil perombakan telah diumumkan, Selasa (19/10), dan drama pun mengalami antiklimaks meski jauh-jauh hari sesungguhnya orang awam sekali pun sudah bisa meraba kemana arah kekuasaan SBY diorientasikan. Sejumlah indikator menunjukkan bahwa perombakan KIB II sempurna menjadi kabinet tambal sulam.
Pertama, SBY tidak menyinggung sama sekali komitmen ‘good governance’ dan ‘clean goverment’ dalam memperbaiki kredibilitas pemerintahannya. Padahal, salah satu harapan publik yang terbesar atas perombakan KIB II adalah komitmen pemerintah yang dinahkodai SBY untuk tidak berada dalam pusaran kleptokrasi. Korupsi politik berbentuk suap-menyuap, gratifikasi, persekongkolan dan pemufakatan jahat serta penyalahgunaan pengaruh oleh pejabat publik menjadi perusak utama bangunan sistem pemerintahan ini.
Indikator yang paling menonjol dari lemahnya komitmen SBY dalam hal tatakelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah tidak dirombaknya mentri-mentri yang jelas-jelas turut bertanggungjawab atas terjadinya praktik korupsi politik yang terjadi di institusi yang dipimpinnya. Mentri Pemuda dan Olahraga serta Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, melenggang aman mengantongi garansi penuh, padahal di saat bersamaan banyak pihak mengharap matarantai korupsi diusut tuntas hingga ke para aktor utamanya. Bisa saja, menteri-menteri tersebut tidak terlibat, tatapi proses hukum belum tuntas sehingga belum ada jaminan juga mereka bersih atau tidak. Proses hukum ini tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi konsentrasi menteri yang bersangkutan. Wajar, jika banyak pihak menyangsikan komitmen kerja mereka di tiga tahun mendatang. SBY seharusnya ingat, variabel utama yang menyumbang turunnya popularitas SBY hingga di bawah ambang batas psikopolitis legitimasi seorang pemimpin adalah tindakan korupsi yang dilakukan orang-orang dekat di sekitarnya.
Kedua, proses perombakan KIB II merupakan skenario menutupi realitas dasar. Problem awal yang menjadi pertimbangan perlu dilakukannya perombakan adalah produktivitas dan efektivitas kinerja kabinet di tiga tahun terakhir. Untuk itu SBY meminta in put dari Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sekaligus SBY mengevaluasi pakta integritas masing-masing mentri. Sehingga logikanya adalah, perombakan dilakukan untuk mengganti atau memperkuat sejumlah pos yang memang bolong dan berpotensi membahayakan eksistensi pemerintahan. Tetapi faktanya, perombakan dilakukan atas dasar politik representasi berbasis pencitraan. Politik representasi kuat terlihat masih dominannya politisi partai politik dalam kabinet. Tidak hanya representasi partai yang tetap menjadi acuan, melainkan juga representasi daerah, kepentingan donor asing, dan representasi kelompok elit intelektual-teknokrat.
Representasi politik memang tidak salah, hanya saja mendudukan profesionalitas kerja di nomor dua setelah kepentingan politik tentu akan beresiko. Indikatornya, bisa terlihat dari bertahannya komposisi koalisi dari sebaran menteri yang berasal dari parpol meksipun ada yang jumlahnya dikurangi yakni PKS dan Partai Demokrat sendiri. SBY mencoba menutup skeptisme publik terhadap kabinet baru dengan cara melapisi menteri-menteri politisi dengan sejumlah wakil menteri yang profesional. Tercatat 19 wakil menteri yang menjadi wajah pencitraan SBY, seolah ingin menunjukkan ke publik bahwa kabinetnya yang sekaranga adalah kabinet politisi plus (ahli). Tapi jika kita kritisi lebih mendalam, para profesional yang menjadi wamen itu, tidak akan memiliki ruang gerak yang leluasa dalam memberikan dampak signifikan untuk perbaikan. Penyebabnya adalah keterbatasan wewenang. Para wamen itu bukan policy maker di kementrian, mereka juga bukan anggota kabinet, sekaligus dalam praktiknya akan berhadapan dengan tembok tebal politik representasi yang dibangun para mentri dengan SBY.
Ketiga, pada salah satu pertimbangan perombakan yang disampaikan SBY dalam pidato pengantar pengumuman nama-nama menteri hasil perombakan, eksplisit dinyatakan faktor ‘right man on the right place’. Praktiknya, publik terhenyak saat Jero Wacik direposisi ke Kementrian ESDM begitu pun saat Maria Elka Pangestu di pasang di Kementrian Pariwisata. Tambahan label ekonomi kreatif dalam Kementrian Pariwisata tidak lebih dari sekedar tempelan absurd untuk diidentikan dengan orang yang akan mengisi pos tersebut. Wajar jika publik masih skeptis dengan model distribusi dan alokasi menteri pascaperombakan.
Oligarki Parpol
Satu hal yang pasti adanya dari proses perombakan kabinet kemarin adalah wajah oligarkis parpol yang kian kental. SBY mengambil pilihan obesitas kabinet dan terkesan sulit memunculkan figur menteri (bukan wakil menteri) yang memiliki integritas karena tersandra oleh deal-deal politik dengan para elit partai investor kekuasaan di Pemilu 2009. Oligarki tumbuh karena kecenderungan pemimipin sibuk mengorganisir diri sendiri untuk kepentingan mereka.
Menurut Adam Przeworski dalam bukunya Sustainable Democracy (1999) birokrasi oligarki ini membentuk kartel yang berkewajiban untuk menentang para pesaingnya sekaligus untuk membatasi kompetisi, menghalangi akses, dan mendistribusikan keuntungan kekuasaan politik di antara para anggota kartel. Kalau itu yang menjadi pilihan, maka bahaya lanjutannya adalah kekuasaan menjadi proyek individual para elit parpol beserta asosiasi-asosiasi korporatisnya. Kini, perombakan telah berlalu tanpa harapan.
Untuk kesekian kalinya elit kekuasaan memraktikan prinsip sic volo sic jubeo, inilah kehendakku, dan berdasarkan itulah aku memerintah. Sehingga wajar jika apapun perubahan yang dilakukan selalu berorientasi pada hasrat dan kebutuhan politik kaum elit. Tak sedikit pula elit yang berpikir, biarkan rakyat sekarang teriak, toh mereka bisa kita manipulasi lagi di Pemilu mendatang!.
Ilustrasi Gambar:
www.inilah.com

Related

Opinion 4861851726600580723

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item