Memaknai Kemenangan
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 10 Juli 2014 ) Rakyat Indonesia sudah menunaik...

http://www.gungunheryanto.com/2014/07/memaknai-kemenangan.html
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
( Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 10 Juli 2014)
( Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 10 Juli 2014)
Rakyat
Indonesia sudah menunaikan haknya untuk memilih presiden yang akan memimpin bangsa
besar ini lima tahun ke depan. Antusiasme masyarakat mengikuti pilpres kali
ini, sudah terasa sejak masa kampanye
terbuka bergulir. Beragam bentuk dukungan digulirkan segenap elemen masyarakat
melalui deklarasi komunitas, organisasi, ekspresi simbolik di media massa
maupun media sosial. Pemilu presiden kali ini memang menjadi pemilu paling
kompetitif karena sejak awal menghadirkan hanya dua pasang kandidat. Wajar jika
secara faktual masyarakat terpolarisasi ke dalam dua arus utama dukungan.
Quick
Count
Usai waktu
pencoblosan, hal yang banyak mendapatkan sorotan adalah hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei
yang difasilitasi oleh televisi dan radio. Bukan hal baru, jika media mempublikasikan hitung cepat karena
sejak Pemilu 2004 dan 2009 fenomena ini sudah menjadi bagian yang lumrah
dilakukan sejumlah lembaga survei.
Tetapi kali
ini beda! Lembaga survei terbelah dalam publikasi hitung cepatnya, ada yang
memenangkan kubu Prabowo-Hatta, banyak juga yang mengunggulkan pasangan
Jokowi-Kalla. Hingga tulisan ini dibuat, Pasangan Jokowi-JK menang di quick count CSIS-Cyrus 52,1 persen
sedangkan Prabowo-Hatta 47,9 persen. Saiful Mujani Research & Consulting
(SMRC) dengan 52,76 persen untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta 47,24 persen.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Jokowi-JK
53,35%, Prabowo Hatta 46,65 persen. Litbang Kompas, Jokowi-JK mendapat 52,26
persen suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 47,74 persen.
Indikator Politik Indonesia melansir Jokowi-JK mendapat 52,74 persen suara,
sedangkan Prabowo Hatta 47,26 persen.
Di sisi lain
ada empat lembaga Survei yang memenangkan Prabowo-Hatta. Jaringan Survei
Indonesia (JSI) menempatkan Prabowo-Hatta 50,36 persen dan Jokowi-JK 49,64
persen. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan angka 52,05 persen dan Jokowi-JK 47,95
persen. Di hitung cepat LSN, Prabowo-Hatta 50,54 persen dan Jokowi-JK 49,46
persen. Indonesia Research Center (IRC) menutup hasil hitung cepat dengan
perolehan pasangan Prabowo-Hatta mencapai 51,11 persen dan pasangan Jokowi-JK
mencapai 48,89 persen.
Perbedaan ini
menjadi perdebatan panas para netizen
di media sosial, di diskusi-diskusi
grup akademisi dan obrolan banyak masyarakat awam. Di kalangan kelompok
terdidik dikusi bergulir dalam hal kredibilitas lembaga survei, kepentingan
ekonomi dan politik di balik sejumlah lembaga hitung cepat, dan penyajiannya di
media massa yang mulai menuai keresahan pasca pencoblosan. Lantas bagaiaman
seharusnya kita menyikapi perbedaan hasil hitung cepat sejumlah lembaga?
Quick count atau hitung
cepat adalah penghitungan hasil Pemilu berdasarkan hasil yang diperoleh dari
beberapa TPS sebagai sampel. Dengan
mempergunakan perhitungan/metodologi tertentu, hasil yang diperoleh pada
sampel-sampel tersebut akan memberikan gambaran perolehan suara secara
keseluruhan secara akurat dan cepat. Secara teknis, quick count hanya menghitung sampel data dari TPS. Misalnya, dari
12000 TPS, data yang diambil hanya dari 1200 TPS. Penyelenggara Quick Count biasanya lengkap dengan tim
yang disebarkan ke semua sample TPS. Penyelenggara hitung cepat hanya melaporkan data total,
tidak bisa data detail per TPS.
Hitung cepat ini tentu saja merupakan pendekatan ilmiah
yang lazim digunakan dalam praktik demokrasi elektoral modern. Biasanya dipakai
untuk dua hal, pertama memprediksi kemenangan lebih cepat dari hitungan nyata (real count). Kedua, bisa menjadi alat
kontrol dalam pengawalan rekapitulasi suara berjenjang yang akan dilakukan oleh
KPU. Keberadaan hitung cepat diakui UU No.42 tahun 2008 pasal 186 ayat 2
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilpres.
Kedewasaan Politik
Ada beberapa
catatan kritis terkait dengan hitung cepat sejumlah lembaga survei dalam
kaitannya dengan proses literasi politik di masyarakat. Pertama, seluruh
lembaga survei memang perlu menjaga integritas dan profesionalitas dalam
melakukan hitung cepat. Sebagaimana kita ketahui, eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh
tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai
istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa
mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan
sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini
kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik. Survei,
hitung cepat maupun exit poll bukan
semata membutuhkan kemampuan teknis tetapi juga nilai luhur marwah akademik.
Kedua,
hitung cepat ini harus dipahami bukan sebagai justifikasi kemenangan resmi.
Rekapitulasi suara sah nasional yang akan diumumkan KPU pada 22 Juli lah yang
menjadi real count. Basis real count itu menghitung data dari semua TPS, maksudnya data 100 persen dari semua TPS,
bukan diambil dari sample. Basis data
real count tentu saja berjenjang dari
TPS, ke kelurahan, kecamatan, hingga
nasional. Dalam konteks itulah, semua masyarakat harus memahami bahwa di tengah
situasi yang serba sensitif dan rawan gesekan di antara para pendukung dari dua
kubu berbeda sebaiknya hati-hati melakukan klaim kemenangan. Bisa saja masing-masing
kandidat mengumumkan dan menjadikan data hasil hitung cepat beberapa lembaga survei,
tetapi harus dengan tegas dan jelas dinyatakan bahwa kemenangan yang dimaksud
adalah versi lembaga survei yang merilis hitung cepat dan masih harus menunggu serta
menghormati pengumuman resmi KPU.
Ketiga, media juga
harus turut berhati-hati saat mempublikasikan informasi hitung cepat ini. Harus
tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik, jangan memancing di air keruh.
Misalnya tidak menjadikan hitung cepat sebagai upaya glorifikasi, propaganda,
pengaburan fakta, dramatisasi fakta palsu, atau provokasi di tengah masyarakat.
Saatnya para kandidat dan masyarakat lebih bijak dalam
memahami dan memaknai fenomena ini. Jangan sampai karena kesimpangsiuran
informasi hitung cepat dan arogansi masing-masing pasangan dalam mengklaim
kemenangan prematur, menciptakan situasi tidak kondusif dan merangsang konflik
horisontal di masyarakat. Kemenangan dan kekalahan pada akhirnya akan datang dan semua harus
siap menerimanya. ***