Wajah Propaganda Media

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto ( Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Republika, Kamis 17 Juli 2014 ) Pemilu Presiden 2014...



 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Republika, Kamis 17 Juli 2014)


Pemilu Presiden 2014 menjadi ujian nyata bagi banyak pihak. Selain rivalitas antar kedua pasangan, pilpres juga telah menyedot media massa, lembaga survei, dan kaum intelektual ke pusaran pertarungan. Bukan lagi semata-mata kompetisi, tapi sudah menjadi pertaruhan etika, profesionalitas bahkan regulasi yang sudah disepakati. Media massa sebagaimana juga para lembaga survei, kaum intelektual dan masyarakat awam, terbelah menjadi dua kubu, ada yang berafiliasi ke Prabowo-Hatta ada juga yang ke Jokowi-JK. Inilah momentum kritis media di tengah demokrasi yang kian terbuka pascareformasi.

Intervensi Pemilik   
Ada sejumlah paradoks peran media dalam kaitannya dengan kerja jurnalistik yang menjadi hal fundamental eksistensi media sebagai ruang publik. Ilmuan John Hartley dalam Politics of Picture : The Creation of the Public in the Age of Popular Media (1992), menegaskan televisi, koran, majalah, dan media lainnya merupakan domain publik, tempat dimana publik sering diciptakan, oleh karenanya mengandung pemahaman public sphere. Saat media lebih mengedepankan kepentingan politik pemilik, maka faktanya urusan dan harapan publik terpinggirkan dengan sendirinya.

Selama pilpres berlangsung, media massa arus utama dan terhubung ke grup media besar memperlihatkan wajah pongah para pemiliknya. Hasil riset lembaga Remotivi yang merupakan program inisiatif warga untuk memantau tayangan televisi memperkuat asumsi bahwa pemilik memang melakukan intervensi. Setelah bos MNC Group, Harry Tanoe, resmi bergabung dengan koalisi merah putih, berita Prabowo di RCTI meningkat 41 persen dan seluruhnya bernada positif, tren sama terjadi di MNCTV dan GlobalTV.  Jokowi adalah figur yang paling banyak diberitakan negatif di TVOne, yakni 80 persen. Seluruh berita Jokowi di ANTV bernada negatif.  Frekuensi berita negatif Jokowi di Global TV mencapai 43 persen dan di RCTI mencapai 100 persen. Masih merujuk ke data Remotivi, Metro TV juga sama. Setelah ada kesepakatan koalisi antara Partai Nasdem dan PDIP terjadi peningkatan pemberitaan Jokowi dari 12 persen menjadi 74,4 persen. Pemberitaan dibuat dengan nada positif sebesar 31,1 persen. Hal ini pun terjadi di berbagai redaksi media cetak, baik pada level nasional maupun media lokal.

Data yang disampaikan Remotivi semakin mengukuhkan bahwa hierarki pengaruh memang nyata adanya di media, bahkan menembus hingga ruang redaksi yang semestinya independen. Soal hirarki pengaruh ini, Pamela J Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam bukunya Mediating the Message : Theories of Influence on Mass Media Content (1991), menyebutkan ada lima faktor yang biasanya membentuk hirarki pengaruh dalam media yakni individu pekerja media, rutinitas media,  level organisasional yakni ownership dan terakhir ideologi. Jika kita perhatikan seksama, saat pilpres berlangsung kepemilikan medialah yang paling signifikan mempengaruhi pemberitaan media.

Bahaya peran ganda media sebagai jurnalis sekaligus corong salah satu kekuatan sebenarnya terprediksi jauh-jauh hari. Pertama, struktur pasar media kita memang sudah memasuki struktur oligipolistik. Media lebih banyak berafiliasi ke grup-grup besar sehingga para pebisnis yang menguasai banyak media di tanah air sudah bisa dihitung jari. Struktur pasar media ini bertemu dengan politik oligarki parpol. Sehingga, pengendalian politik sempurna dilakukan oleh para pengusaha-politisi yang menjadi aktor-aktor menentukan dalam pertarungan pilpres 2014.

Kualitas pemberitaan kerapkali harus tunduk pada agenda politik para politisi-pengusaha media yang menjadi tim pemenangan capres. Sehingga, sering kita menemukan kekacauan kerja jurnalistik dalam muatan pemberitaan isi media yang tersaji dan menjadi asupan bagi khalayak luas. Contoh paling konyol dan memalukan tentu saja pemberitaan seputar hitung cepat (quick count) usai pencoblosan, 9 Juli.

Distorsi Informasi 
Hal lain yang paradoks dengan nilai fundamental media sebagai ruang publik adalah pergeseran peran jurnalis menjadi propagandis. Dari profesionalitas kerja mengabarkan menjadi mengaburkan data atau fakta. Ketidakadilan penggunanaan media kerap mendistrosi informasi yang diterima publik. Kondisi ini, dengan mudah memosisikan media dalam pelanggaran seperti pernah diingatkan Paul Jhonson dalam artikelnya The Media and Truth : Is There a Moral Duty? (1997:103), tentang Seven Deadly Sins.  Di antara pelanggaran tersebut, adalah penyalahgunaan kekuasaan (abuse of the power) dan dramatisasi fakta palsu. Media menyalahgunakan kekuatannya untuk memengaruhi opini publik dalam praktik  pembohongan massa.

Rakyat Indonesia sudah menunaikan hak konstitusionalnya untuk memilih salah satu di antara kedua pasangan. Selang beberapa jam kemudian, publik dibombardir beragam pemberitaan quick count yang saling bertentangan di beberapa media. Kandidat pun saling klaim kemenangan, seraya merujuk pada lembaga hitung cepat yang menguntungkan mereka. Suasana ini diperkeruh oleh beragam klaim pihak lain misalnya lembaga-lembaga survei yang mengatakan hasil hitung cepatnyalah yang paling presisi dan lembaga survei lain tidak kredibel.

Media-media partisan yang menayangkan hitung cepat pun lebih banyak memosisikan pemberitaanya sebagai upaya glorifikasi, wajar jika hal ini bukan semata membingungkan tapi juga bisa memantik keresahan, pertentangan dan konflik di masyarakat akar rumput. Modus propagandanya lebih banyak menggunakan teknik testimonial. Caranya menaikan semata-mata komentar tokoh entah itu ilmuan, pakar, lembaga survei atau sosok dikenal lainnya untuk memperkuat klaim kemenangan tanpa memberi ruang yang memadai  pihak-pihak yang berbeda pandangan. Teknik lain misalnya card stacking dengan memilih pernyataan yang memiliki efek domino di masyarakat  dan teknik name calling atau pemberian label negatif untuk mendelegitimasi pihak lawan.  

Media massa sepatutnya tidak memerankan diri sebagai propagandis, karena terlalu besar hal yang harus dikorbankannya di masa mendatang. Media wajib memiliki keajekan peran sebagai pemberi kabar kebaikan dan kebenaran, bukan sebaliknya propagandis yang mendramatisasi fakta sedemikian rupa! ***

Related

Opinion 2168735085547760373

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item