Pesan dari Maracana

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 15 Juli 2014) Sepakbola punya seribu satu cerita, kegemb...


Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 15 Juli 2014)

Sepakbola punya seribu satu cerita, kegembiraan, kesedihan, persaingan, konflik hingga mencapai klimaksnya di Estádio do Maracanã, Rio de Janeiro, Senin (14/7) waktu Indonesia. Partai puncak yang mempertemukan dua tim legenda yakni Jerman dan Argentina. Kini, pesta bola telah usai dan menahbiskan Jerman sebagai kampiun. Cucuran keringat, air mata kesedihan Messi dkk, riuhnya pendukung, serta selebrasi kemenangan punggawa Der Panzer, sudah berlalu. Tinggal sisa-sisa cerita yang akan menjadi topik perbincangan warga dunia beberapa hari ke depan. Sebulan lamanya, kita turut larut dalam kebanggaan warga global. Kini, saatnya kita kembali mengurusi Ibu Pertiwi, seraya mengambil banyak pelajaran dari spirit fair play kompetisi paling diminati sejagat tersebut.


Pelajaran pertama, di luar teknik bermain bola yang menonjol dari perhelatan Piala Dunia adalah prinsip komunitarian. Prinsip ini, berupa kesepakatan untuk menciptakan moral kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan. Nilai penting prinsip ini, mengimbangi nilai keakuan dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Kekitaan yang memahami keseimbangan antara hak dan kewajiban. 


Sepanjang Piala Dunia 2014 ini, kita melihat skill individual saja tak cukup untuk menjadi pemenang. Nama-nama mentereng seperti Cristiano Ronaldo, Lionnel Messi, Wayne Rooney dan Arjen Robben, tak sukses mengangkat tropi digerus oleh kekuatan tim yang semangat komunitariannya lebih solid. 

Ini tentu saja menjadi pembelajaran bagi bangsa kita. Di saat kita harus berkompetisi dengan berbagai negara di Asia maupun di dunia maka sesungguhnya kita butuh simpul pengikat kesadaran bersama dalam hal ini adalah semangat komunitarian. Presiden, para mentri, para politisi partai politik, hingga kekuatan di kantong-kantong gerakan civil society tak akan mampu memajukan negeri ini jika menafikan prinsip kekitaan. Tentu saja untuk mewujudkan prinsip kekitaan itu dibutuhkan proses integrasi yang memadai.  

Tak salah jika kita mencontoh  Jerman di Piala Dunia 2014 yang dengan semangat, sistem dan kegairahan memainkan prinsip kekitaan sehingga menjadikan permainan mereka mengalir indah sekaligus mematikan dan menjadi kekuatan luar biasa. Sementara Argentina pun padu karena punya cita-cita bersama yang ingin membuktikan tim mereka juga pantas menang karena diisi oleh generasi emas seperti Messi. 

Pelajaran lain yang bisa kita ambil dari pesta Piala Dunia adalah prinsip multikulturalisme. Prinsip ini merupakan pengakuan terhadap kebinekaan identitas agama, ras dan etnik. Kita bisa melihat orang berkulit hitam, putih, kuning langsat maupun sawo matang berkumpul bersama dalam pesta bola tanpa diskriminasi.  

Para pemain beragama Islam seperti Mesut Ozil, Sami Khedira (Jerman), dan sejumlah pemain muslim lain di berbagai tim yang berkompetisi di Piala Dunia  dengan nyaman bermain untuk tim-tim mereka. Mereka berdampingan dengan para pemain lain yang mayoritas beragama berbeda tanpa dipersoalkan keberbedaannya itu.  Begitu pun mereka yang punya latarbelakang kaum imigran, tak pernah menjadi warga kasta kedua di dalam tim. Malahan diantara mereka menjadi bintang lapangan yang sangat menentukan. Sejumlah pemain andalan Der Panzer saat ini adalah warga keturunan. Keluarga Miroslav Klose dan Lukas Podolski berasal dari Polandia, Mesut Oezil keturunan Turki, ayah Sami Khedira berasal Tunisia, ayah Jerome Boateng dari Ghana. 

Piala Dunia di Brasil ini sukses menjadi etalase multikulturalisme  untuk warga dunia. Jutaan warga dunia  tentu telah mengakses pesta ini dari berbagai media massa. Kalimat “Say No to Racism” yang senantiasa hadir di awal pertandingan, memberi pesan kuat akan perlunya semangat multikulturalisme dipraktikkan oleh seluruh bangsa di dunia.  

Sebulan penuh perhatian kita tertuju ke Brasil. Khalayak penonton kita dimanjakan oleh siaran live, rerun, serta supporting program yang disiarkan dua stasiun tv swasta kita. Kini pesta telah usai, saatnya kembali fokus memikirkan Indonesia kita. Realitanya, kita ibarat kesebelasan yang tak lagi diperhitungkan karena tak kunjung menunjukkan permainannya yang gemilang. Kita butuh komposisi para pemain yang mumpuni untuk bekerja keras dan membangun Indonesia menjadi lebih baik. Dengan motivasi yang tinggi, prinsip komunitarian, serta respek dengan kebinekaan bukan mustahil suatu saat kita akan memperoleh kegemilangan. 

Agenda terdekat kita yang harus bersama-sama mengusung prinsip fair play tentu saja adalah rekapitulasi suara hasil pemilu presiden yang akan diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli 2014. Akankah semua pasangan mau dan mampu mengembangkan semangat fair play seperti tim Argentina dan Jerman di laga puncak Piala Dunia?  

Persaingan dan adu strategi sah-sah saja dilakukan, tapi tentu harus tunduk pada aturan main yang sudah dikonsensuskan. Ibarat final Piala Dunia, di penghujung permainan hanya menyisakan satu pemenang. Semua kandidat harus siap menang dan siap kalah tanpa merusak kegembiraan pesta. Itulah pesan penting dari Maracana!***

Related

Opinion 3788377884114941231

Post a Comment

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Comments

Connect Us

Contact Us

Name

Email *

Message *

item