SBY dan Opera Politik Demokrat
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 29 September 2014) Dinami...

http://www.gungunheryanto.com/2014/10/sby-dan-opera-politik-demokrat.html
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 29 September 2014)
Dinamika politik di DPR telah
menghantarkan Demokrasi ke titik nadir! Kuasa rakyat kembali diambil alih para
elite parpol dalam menentukan kepala daerah melalui DPRD. Drama Sidang
Paripurna DPR, Jum’at (26/9) dini hari menjadi elegi kekuasaan. Rakyat tuna
kuasa dalam menentukan para pemimpin daerah yang mereka kehendaki di kemudian
hari. Ironisnya, Sidang Paripurna tersebut menjadi panggung opera sabun SBY dan
Demokrat dalam rangkaian cerita melodramatis yang dipertontonkan sebelum maupun
sesudah Sidang Paripurna DPR. Sangat penting menelaah potongan drama politik
SBY dan Demokrat serta mengkritisi posisi mereka dalam kontelasi politik saat
RUU Pilkada diputuskan.
Alur Drama
Ada beberapa rangkaian cerita
yang jika dianalisis menunjukkan plot drama SBY dan Partai Demokrat. Sepanjang Mei hingga September, Demokrat tiga
kali hadir di rapat panja RUU Pilkada. Pada Mei 2014, Demokrat bersikap
pemilihan gubernur secara langsung dan pemilihan bupati/walikota melalui DPRD. Pada
3-9 September Demokrat mengehendaki pemilihan gubernur, bupati maupun walikota
melalui DPRD. Drama simulasi realitas
kian terasa saat SBY mengunggah pernyataannya melalui Youtube. Lewan pesan Youtube
inilah SBY memberi harapan sekaligus menjadikan pidatonya sebagai panggung
depan (front stage) pencitraan
politik.
Skenario berjalan mulus dengan
hadirnya peran Edhie Baskoro Yudhoyono pada 17 September yang mendukung
pernyataan SBY bahwa partainya mendukung Pilkada Langsung. Pernyataan ngambang
dan normatif SBY serta Ibas soal dukungan Demokrat terhadap pilkada langsung,
dioperasionalisasikan lebih teknis oleh Syarief Hasan pada jumpa pers 18
September. Ini merupakan gimmick
politik Demokrat dengan mengulang janji dukungan terhadap pilkada langsung dengan
10 syarat perbaikan diakomodasi di RUU Pilkada. Drama pun bergulir di panggung
Sidang Paripurna DPR, sikap seolah-olah mendukung Pilkada langsung diperankan
oleh para “aktor pemeran pembantu” dari fraksi Demokrat saat perdebatan-perdebatan di awal sidang.
Drama berakhir antiklimaks! Demokrat
meninggalkan gelanggang alias walk out
dengan argumen yang terkesan dipaksakan yakni 10 koreksi tak diakomodasi.
Benarkah? Tentu yang tahu konstelasi proses lobi di panggung belakang (back stage) saat sidang paripurna para
politisi, ya mereka sendiri. Pengakuan dari beberapa elite koalisi Indonesia
Hebat yang saat Pilpres mendukung Jokowi-JK, bahwa di injury time 10 syarat yang
dikehendaki Demokrat sebenarnya disetujui PDIP, PKB dan Hanura. Hanya saja
muncul syarat lanjutan, 10 koreksi Demokrat
tersebut harus diakomodasi dan disepakati secara musyawarah dan mufakat, suatu
hal yang teramat sulit direalisasikan saat itu.
Terlepas dari realitas di
panggung belakang yang memang kerap tak terakses publik, faktanya 124 anggota
DPR dari Demokrat walk out meskipun
masih ada 6 orang yang tetap di dalam ruang sidang. Artinya, ketidakhadiran Demokrat
dengan sendirinya memuluskan Koalisi Merah Putih (KMP) memenangi pertarungan. Sudah bisa ditebak, yang setuju Pilkada
langsung hanya 135 orang terdiri dari PDIP (88), PKB (20), Hanura (10) dan
pembelot dari Golkar (11) serta Demokrat (6). Sementara yang mendukung Pilkada
lewat DPRD berjumlah 226 terdiri dari Golkar (73), PKS (55), PAN (44), PPP (32)
dan Gerindra (22). Skenario drama ini sukses memuluskan langkah mundur
demokrasi Indonesia ke era Orde Baru, saat koorporatisme politik elite parpol
begitu dominan dalam menentukan kepala daerah. Drama pun belum usai,
seolah-olah kaget dan tak tau apa-apa SBY menyatakan kecewa dengan hasil voting RUU Pilkada. Sebuah ekspresi
miskin impresi, karena gelombang kecaman sudah mengalir deras tertuju pada SBY.
Simulasi Realitas
Rangkaian proses sikap SBY dan
Demokrat tersebut mirip opera sabun. Kecenderungan
drama bersambung yang mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam
tulisannya The Precession of
Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada
dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan
membentuk persepsi palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan. Wajar, jika
politik pencitraan ala Demokrat dan SBY pun dipandang banyak kalangan sebagai
wujud hiperealitas. Dalam pandangan Baudrillard hiperalitas dimaknai sebagai
simulasi suatu hal yang sesungguhnya tidak pernah nyata adanya. Sementara Umberto Eco menyebutnya
sebgai The authentic fake atau
kepalsuan otentik.
Wajar jika reaksi publik
sangat keras mengkritik SBY dan Demokrat baik melalui media mainstream maupun media sosial. Di Twitter misalnya hashtag #ShameOnYouSBY (malu
pada diri Anda SBY) heboh dan menjadi trending topic dunia. Sementara di media
massa baik dalam maupun luar negeri secara umum menurunkan kritik tajam atas
keputusan DPR meloloskan UU yang mengembalikan pilkada ke DPRD. The New York Times, The Guardian, Time
Magazine, The Sydney Morning Herald
dan sejumlah media asing lainnya memberi ruang pemberitaan cukup besar
dan rata-rata menyebut pengesahan UU Pilkada ini sebagai kemunduran besar bagi demokrasi
Indonesia.
Sebelum sidang paripurna DPR, SBY
dan juga Demokrat menyuguhkan skenario reality
by proxy. Skenario ini biasanya digunakan untuk mengaburkan
antara realitas dan fantasi. Banyak mimpi indah dibangun dan membentuk
kesan di masyarakat seolah-olah Demokrat pro Pilkada langsung tapi dalam
praktiknya mereka membiarkan kelompok yang pro pilkada DPRD leluasa memenangi pertarungan.
Stok cerita Demokrat
sepertinya belum usai. Kini seolah-olah antar elite Demokrat saling curiga, siapa
dalang di balik skenario walk out.
Mungkinkah SBY tidak tau apa yang hendak dilakukan oleh para anggota DPR di
Sidang Paripurna? Jika melihat rekam jejak Demokrat dan SBY rasanya sulit dipercaya
jika SBY tidak tahu dan tidak memberi lampu hijau untuk langkah walk out.
Benar, SBY memang sedang di
luar negeri. Tapi, teknologi komunikasi memfasilitasi keterhubungan SBY dengan
para anggota DPR dari Demokrat terlebih ini menyangkut agenda strategis. Mayoritas anggota DPR dari Demokrat keluar
ruangan dan hanya menyisakan 6 orang saja di sidang paripurna. Artinya, secara
mayoritas anggota DPR dari Demokrat melakukan manuver politik yang memiliki
konsekuensi pada lolosnya RUU Pilkada. SBY tentu saja berkepentingan memantau
dari kejauhan apa dan bagaimana proses yang berlangsung di persidangan.
Harus dicatat, bahwa Demokrat
hingga saat ini masih memiliki ketergantungan pada figur SBY. Dalam tradisi
partai yang menyandarkan diri pada kekuatan figur sentral, dinamika politik
yang terbangun biasanya bermuara pada gejala groupthink. Dalam bukunya
Irving Janis, Groupthink: Psychological Studies
of Policy Decisions and Fiascoes (1982) salah satu ciri utama gejala groupthink
adalah para kader organisasi akan menghindari pemikiran dan sikap berlawanan
dengan elite utamanya. Geneologi partai
Demokrat memosisikan SBY sebagai figur utama sekaligus pusat pergerakan sistem
organisasi. SBY bukan semata Ketua Umum Demokrat, melainkan juga ruh dan
penggerak partai ini sejak awal. Mungkinkah SBY tidak merestui keputusan yang
diambil para anggota DPR dari Demokrat? Beranikah para anggota DPR dari Demokrat
itu walk out tanpa izin dari SBY?
Resiko Lanjutan
Langkah SBY dan Demokrat ini
tentu saja sangat beresiko. UU Pilkada
yang disahkan menjadi warisan buruk rezim SBY di penghujung kekuasaan.
Sebagaimana kita rasakan, arus utama opini publik sangat resisten dengan pengembalian
pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Perlawanan simbolik dan prosedural kini
dilakukan oleh masyarakat. Secara simbolik muncul teknik name calling atau pemberian label buruk pada SBY di banyak sosial
media dan beragam alat peraga di ruang publik. Misalnya beredar luas pelabelan
SBY sebagai “Bapak Pilkada Tak Langsung”. Tentu saja ini merupakan satire yang ditunjukkan pada SBY dan
sikap Demokrat yang secara tak langsung turut memuluskan pengesahan UU Pilkada.
Secara prosedural, kelompok masyarakat kritis dan publik berperhatian (public attentive) akan mengajukan upaya judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Secara substantif, memang
terdapat sejumlah kerancuan argumentasi para pengusung usulan Pilkada oleh
DPRD. Pilkada langsung dianggap terlalu berbiaya tinggi, tak hanya biaya finansial
tetapi juga biaya sosial. Atmosfir pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai
salah satu sebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain
itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial
seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain.
Benarkah mengembalikan pilkada
ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat
dan penyelenggara? Bisa jadi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD justeru akan
memapankan ulang tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti yang
menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa di
DPRD, bisa jadi setara atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung
seperti sekarang. Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari
sekedar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada
adalah koreksi terhadap praktik oligarki
dan koorporatisme politik di era Orde Baru. Salah satu buah hasil reformasi
tentunya adalah kebebasan warga dalam memandatkan kekuasaan yang mereka miliki.
Pilkada oleh DPRD, bisa
menyuburkan kembali kartelisasi Politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir
elit sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka.
Menurut Dan Slater dalam tulisannya Indonesia’s
Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic
Transition (2004), menyatakan Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel
yang melahirkan demokrasi kolusif (collusive
democracy).
Kekhawatiran juga muncul menyangkut motif pengesahan UU Pilkada tersebut.
Benarkah UU tersebut disahkan untuk memperkuat konsolidasi demokrasi, atau
semata-mata manuver elite pascapilpres. Bagi Koalisi Merah Putih, momentum ini sangat
mungkin dijadikan pintu masuk menciptakan agenda bersama jangka panjang
terutama prospek power sharing di daerah-daerah,
sehingga diharapkan menjadi insentif bagi para mitra koalisi KMP sekaligus
menjadi alat tekan untuk koalisi Jokowi-JK. Kondisi ini bisa saja melahirkan
tendensi mayoritas (majoritarian tendency)
tidak semata di legislatif melainkan juga di eksekutif. Penyakit ini biasanya
adalah winner takes all karena ada
pemanfaatan suara dominan untuk memuluskan seluruh agenda mereka dan menutup
segala akses kompetitor.
SBY tentu sangat memahami
resiko-resiko lanjuta pengesahan Pilkada oleh DPRD ini. Kita masih harus
menunggu seperti apa sikap lanjutan SBY dan Demokrat pascapengesahan UU
Pilkada. Akankah tetap mengelola hiperealitas politik citra dengan memainkan
opera sabun lanjutan? Inilah ujian sejarah yang harus dijawab sendiri oleh SBY
di penghujung kekuasannya. ***